Bab 34: Bagian yang Tertinggal

2K 401 112
                                    







"Aia ... aku minta maaf, kalau belum bisa jadi suami yang baik untuk kamu, dan sering bikin kamu sedih kayak gini."

Suara itu berhasil menarik Aia untuk meraih kesadarannya. Matanya terasa agak lengket dan sulit dibuka. Selama beberapa saat, ia terdiam. Mengumpulkan ingatannya agar bisa memahami situasi yang sedang terjadi sekarang.

Setelah susah payah membuka matanya, Aia baru sadar kalau suara Edzar tersebut bukan hanya mimpi, tapi sosoknya betulan ada di balik tubuhnya. Pandangan Aia yang buram, langsung bertautan dengan sorot sendu Edzar yang tengah berbaring miring ke arahnya.

Aia termenung lagi. Ia sudah tidur entah berapa lama. Matanya pun terasa sangat mengantuk. Namun, ia merasakan ujung matanya berair. Kepalanya agak pusing seperti baru saja kelamaan menangis. Padahal sebelum tidur tadi Aia enggak menangis sama sekali.

Belakangan ini keberadaan keluarganya di rumah ini berhasil membuat semangat Aia hidup lagi. Mereka semua mengingatkan Aia pada masa-masa remajanya, sehingga ia bisa sejenak melupakan masalah rumah tangganya yang masih menggantung.

Hubungannya dengan Edzar masih sama diamnya. Namun, setidaknya saat ini Aia tidak lagi menyimpan emosi setiap kali menatap Edzar. Hatinya pun terasa sedikit lebih lega usai menangis dipelukan kedua orangtuanya.

"Kenapa, Kak?" Aia memberanikan diri bertanya karena kebingungan dengan sikap Edzar yang tidak kunjung bersuara.

"Dari tadi kamu nangis terus, emang enggak pusing kepalanya?" tanya Edzar pelan, dengan raut yang makin sendu.

Kebingungan Aia menjadi-jadi. Ia bahkan enggak ingat apa-apa. Tidurnya nyenyak sekali tanpa mimpi apa pun. Setelah seharian bercanda tawa main monopoli bersama Aden dan Adia, Aia langsung terlelap di kamarnya. Edzar masih ngobrol dengan Ayahnya di halaman belakang, entah sampai pukul berapa. Dan sekarang ... Aia berusaha melongokkan kepalanya melirik jam dinding.

Sudah pukul dua belas malam. Kira-kira ia sudah tidur dua jam.

"Aku enggak nangis perasaan."

Edzar malah menghela napas berat, seakan-akan Aia sedang membohonginya, padahal buktinya terlihat jelas sekali. "Kamu mau aku bikin appointment buat ketemu Mbak Sarah?"

"Kak Edzar ngerasa butuh itu?" balas Aia agak sinis. Dalam hatinya, ia ingin protes. 'Setelah berminggu-minggu kamu diam aja, baru sadar sekarang, kalau kamu—kita—butuh psikolog?!'

"Aku pengen dengar pendapat Mbak Sarah juga." Edzar terdiam sebentar, lalu meneruskan ucapannya lagi. "Lagian, kita enggak mungkin kayak begini terus, kan? Aku sedih juga, kalau lihat kamu nangis terus kayak gini, Ya."

Aia meluruskan pandangannya ke langit-langit kamar. Ia sama sekali tidak merasa kalau sedang menangis. Barangkali itu tangisan dari alam bawah sadarnya. Dari seluruh emosi yang selama ini Aia kubur dalam-dalam. Dari semua rasa frustasinya yang tidak pernah memiliki ruang untuk dilepaskan.

Tanpa disadari ujung mata Aia meneteskan air mata lagi. Padahal Aia sudah berusaha ikhlas, dan memilih melupakan semua sikap menyebalkan Edzar. Kepalanya terus berusaha mengingat semua kebaikan Edzar, dan bersikap biasa saja, seolah hubungan mereka baik-baik saja.

Tahu kan, istilah, fake it until you make it? Cara itu yang dipilih Edzar untuk menyelesaikan masalah mereka. Pura-pura tidak ada masalah di depan keluarganya, bersikap biasa saja, selayaknya pasangan suami istri pada umumnya, sampai lama kelamaan terbiasa dengan itu semua, dan hubungan mereka akan membaik secara perlahan, seperti sedia kala. Dan akhir-akhir ini Aia mencoba melakukannya juga.

Namun, kenapa rasanya tetap sesak sekali, ya?

Aia sama sekali enggak terbiasa melupakan masalah yang belum selesai. Dan sekarang Aia jadi bertanya-tanya, apakah sebenarnya, selama ini Edzar bisa melupakan masalahnya dengan baik? Atau diam-diam, ia juga merasa tidak tenang seperti ini?

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang