Bab 31: Kembali Pulang

1.9K 412 126
                                    




"Gimana kondisi Mbak Aia, Mas?" tanya Tyra dengan raut pucat dan mata memerah usai menangis sepanjang perjalanan.

Yang ditanyai, malah mengalihkan pandangannya ke arah lain tampak sama bingungnya. "Dokternya belum selesai meriksa Aia, Mi?"

"Mami nggak tau. Mami baru datang."

"Aku ... juga baru datang, Mi."

Jawaban Edzar menimbulkan kerutan dalam di kening Tyra. Nada suaranya semakin tinggi. "Lho? Gimana sih? Kok Mas Edzar baru datang juga? Emangnya Mas Edzar dari mana? Gimana ceritanya, kok bisa begini?! Waktu Aia pingsan tadi, dia lagi sama siapa?! Bukan Mas Edzar yang ngantar ke rumah sakit?"

Edzar kehilangan kata-katanya. Semakin banyak menyalahkan dirinya sendiri, atas segala hal yang terjadi. Seandainya tadi pagi ia berusaha membujuk Aia dengan lebih baik, Aia enggak perlu pergi sendiri naik taksi, lalu pingsan di dalam taksi akibat pendarahan, kan?

Setidaknya, jika memang sudah takdirnya Aia mengalami pendarahan, Edzar bisa turut menguatkan Aia selama perjalanan ke rumah sakit. Sehingga statusnya sebagai suami tidak perlu dipertanyakan oleh mertuanya seperti ini.

"Mbak Aia pendarahan ini, maksudnya pendarahan apa sih, Mas? Mbak Aia hamil? Kenapa enggak ngasih tau Mami kalau Mbak Aia hamil?" Tidak adanya jawaban dari Edzar, membuat Maminya semakin memberondongnya dengan sederet pertanyaan yang membuat kepala Edzar makin pusing.

Edzar juga sedang sama kalutnya sekarang. Baru satu jam Aia meninggalkan rumah, ia sudah mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang membuat jantungnya hampir copot. Ia sama sekali tidak tahu apa-apa.

"Udah, udah. Kita semua tenang saja dulu. Semuanya sama-sama sedih dan bingung. Mami diam dulu, tunggu sampai dokternya selesai memeriksa." Adam yang sejak tadi berdiri di sebelah Tyra, merangkul wanita itu, membawa Tyra duduk di salah satu kursi ruang tunggu.

Sementara Edzar masih berdiri di dekat pintu. Dengan pikiran yang semakin penuh.

Apakah selama ini Aia sudah tahu tentang kehamilannya, tapi sengaja tidak memberitahunya?

Mungkin saja.

Yang pasti, semua ini karena kesalahan Edzar juga yang mendiamkan Aia berhari-hari. Ingatan Edzar tertuju pada bagaimana tangis Aia tadi malam yang pecah sampai tergugu, melampiaskan seluruh emosinya tanpa memberikan kesempatan untuk Edzar berbicara.

Sekarang Edzar tahu, kenapa perasaan Aia sampai seberantakan itu. Bagaimana caranya Aia menahan semuanya sendirian selama ini?

Bagaimana Aia bisa tahan hidup bersama suami yang tidak berguna dan egois, di saat hormonnya sedang tidak stabil karena hamil? 

"Wali dari Ibu Ardenia yang mana ya?" Seorang dokter keluar dari ruangan sambil menurunkan masker medis yang dipakai.

Tubuh Edzar tersentak. Ia masih terlalu bingung, sehingga tidak segera merespon. Setelah segala hal jahat yang Edzar lakukan pada Aia, apakah ia masih boleh menyebut dirinya sebagai suami? Apakah ia masih boleh berada di dekat Aia?

Bagaimana kalau keberadaannya cuma akan membuat Aia semakin sakit, mengingat tadi malam ... Aia bahkan tidak mau tidur bersamanya?

Bukankah saat ini orangtua Aia jauh lebih pantas masuk ke dalam sana, dan memberikan support untuk Aia?

"Ini suaminya, Dok!" Suara tegas Adam terdengar sambil mendorong tubuh Edzar yang masih mematung.

Kemudian pandangan sang Dokter langsung tertuju ke arah Edzar. "Baik, Bapak bisa ikut saya ke ruang konsultasi ya!"

Edzar mengangguk pelan.

Sesaat sebelum masuk ke dalam ruangan itu, pandangan Edzar sempat tertuju pada kedua mertuanya. Pada sorot penuh kecewa Tyra. Juga pada Adam yang menatapnya dengan yakin disertai anggukan kecil, seakan berusaha meyakinkan kalau Edzar masih layak disebut sebagai suami dari putrinya.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang