Bab 17: Kebun Bunga Mawar

2K 359 57
                                    







Begitu bangun tidur, Aia tidak menemukan Edzar di sampingnya. Tentu saja. Ini sudah pukul delapan pagi. Enggak pernah dalam sejarah Edzar rebahan santai di pagi hari berdasarkan inisiatifnya sendiri.

Sepulang dari klinik psikologi kemarin sore, mereka sama-sama diam. Memang Aia yang lebih dulu membungkam mulutnya, berusaha menenangkan diri. Emosinya terlalu meledak-ledak. Ia tidak mau menambah panjang pertengkaran mereka. Entah Edzar ikut diam karena sedang marah, atau mungkin menghargai keinginan Aia yang sedang tidak ingin bicara. Atau bisa jadi, karena Edzar juga sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.

Yang jelas, hari itu keheningan di antara mereka bertahan sangat lama. Mereka hanya membuka mulut untuk makan malam yang dimasakkan Edzar. Pria itu sama sekali tidak menanyakan preferensi menu makan malam pada Aia seperti biasanya. Barangkali sudah terlalu lelah, sehingga hanya memasak bahan makanan yang dilihatnya saja. menggoreng ayam ungkep di kulkas dan membuat ca tauge.

Aia hanya makan tiga suap nasi, cuma untuk menghargai usaha Edzar. Kalau boleh jujur, satu-satunya yang ia inginkan saat itu adalah tidur secepatnya. Usai menangis sampai sesenggukan selama dua jam tadi, energi Aia benar-benar terkuras habis. Makanya ketika Edzar mengambil piring kosongnya dan hendak mencuci semua piring, Aia tidak berinisiatif membantunya, membiarkan suaminya membersihkan dapur. Ia segera melangkah kakinya ke kamar mandi untuk mandi, lantas segera bergelung di dalam selimut tebal, memilih tidur duluan. Melewatkan sesi podcast mereka begitu saja.

Aia juga enggak tahu kapan Edzar menyusulnya tidur. Dan selepas subuh tadi, tidak ada percakapan di antara mereka, padahal mereka salat berjama'ah. Aia menghampiri kasurnya untuk tidur lagi, sedangkan Edzar langsung keluar kamar, hendak melakukan rutinitas paginya.

Sebenarnya diamnya Aia sejak kemarin adalah untuk menyiapkan amunisi dalam pembicaraan mereka selanjutnya. Aia tahu Edzar agak kesal padanya, mengingat ia mengajak konsultasi pernikahan tanpa diskusi sebelumnya. Di saat seharusnya, keputusan itu diambil dengan kesepakatan berdua.

Ya, tentu Edzar berhak marah. Semisal situasinya dibalik, Aia pasti bakal kesal setengah mati, karena merasa dijebak dan dipojokkan.

Meskipun ia memahami kemarahan Edzar, Aia tetap menyiapkan sederet alasan sebagai pembelaan. Ia bahkan sudah mencatat satu per satu poin apa saja yang perlu mereka diskusikan. Kali ini, ia berjanji akan membangun suasana sekondusif mungkin, tanpa ada air mata. Mereka harus berdiskusi dengan kepala dingin agar masalah ini segera selesai.

Namun, ketika Aia keluar dari kamar sembari mengikat rambut panjangnya, ia tidak menemukan Edzar di mana-mana. Dapur terlihat bersih, dengan tudung saji di tengah meja makan yang menandakan ada makanan di baliknya. Benar saja, ada sepiring nasi goreng teri lengkap dengan setoples kerupuk udang kesukaan Aia di sebelahnya.

Aia meneguk air putih banyak-banyak sambil mengecek ponsel. Mencari tahu apakah ada pesan dari Edzar atau tidak. Kepalanya kembali celingukan ketika enggak menemukan satu pesan pun dari pria itu.

Apa Edzar sedang jogging?

Sebenarnya Edzar bukan tipe orang yang suka jogging. Itu sebabnya dia membeli treadmill portable yang betulan rutin digunakan. Apa karena Edzar sedang marah padanya, sehingga memilih olahraga di luar, sekalian ingin menghindari Aia?

"Dari mana, Kak?" Kebingungan Aia segera terjawab ketika mendengar suara pintu depan terbuka. Lalu pria yang sejak tadi Aia cari, muncul dengan tubuh bersimbah keringat.

"Jogging."

Ah, jadi tebakan Aia memang benar.

Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi, melewati Aia begitu saja memasuki kamar. Aia tertawa getir menatap sepiring nasi goreng yang sudah dingin di depannya. Rasanya lucu saja, akhirnya ia bisa berhadapan dengan kemarahan Edzar yang selama ini ia tunggu-tunggu. Jadi, ini yang dilakukan Edzar saat marah?

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang