Bab 22: Dicintai oleh Lebih Banyak Orang

2K 351 43
                                    


Sorii yaa, kalau kemaleman bangetttt. Ini total lebih dari 4ribu kataaa, ngeditnya lama juga yaaa wkwkwkkw.

Boleh laahh, dikasih vote dan komen yang banyaaakkkkkk😭🙏🏻

***


Jujur saja, Aia sempat mengira Edzar cuma terpaksa mengiakan ajakan Ibunya Kevin untuk bermain bersama. Ia masih menganggap Edzar adalah people pleaser, sekeras apa pun pria itu bilang kalau ia memang ikhlas membantu orang lain. Mungkin benar, Edzar suka membantu orang. Tapi, kalau disuruh menjawab dari lubuk hatinya yang paling dalam, barangkali Edzar akan memilih tidak membantu, apalagi kalau ini berkaitan dengan anak kecil.

Selain karena Edzar enggak terbiasa dengan anak-anak, Aia masih ingat obrolan mereka dalam beberapa sesi podcast sebelumnya, kalau Edzar enggak pernah kepikiran dirinya akan memiliki anak di suatu hari nanti. Dan setelah mengetahui sedikit lebih banyak cerita masa kecil Edzar, Aia mulai memaklumi, kenapa Edzar berpikiran begitu.

Barangkali perlakuan orangtuanya dulu—entah seperti apa—menimbulkan trauma yang mendalam bagi Edzar, sehingga pria itu meragukan dirinya sendiri, apakah bisa menghadapi anak-anak dengan baik atau tidak. 

Dan meskipun itu sangat bertolak belakang dengan Aia yang amat mendambakan keluarga ramai dengan anak lebih dari dua, Aia berusaha memahami sudut pandang Edzar, dan bersedia menunggu sedikit lebih lama. Toh, umurnya sekarang juga masih muda. Enggak masalah kalau ia baru memiliki anak dua atau tiga tahun kemudian.

Aia juga akan maklum, kalau sejak awal Edzar menolak tawaran Kevin. Namun, Aia enggak menyangka sore ini, Edzar meladeni semua tingkah Kevin, yang mengajaknya bermain bola di pinggir pantai dengan sangat totalitas. Ia pikir, permainan Edzar dan Kevin bakal sangat kaku dan seadanya saja seperti yang terjadi di dalam kapal.

Siapa sangka, kalau sekarang, mereka terlihat sangat menikmati permainan sambil bertukar gelak tawa.

Dari kejauhan, Aia bisa menangkap suara gelak tawa Kevin, bersahutan dengan seruan Edzar yang tidak pernah Aia dengar sebelumnya.

"Jangan terlalu jauh nendangnya, Vin!"

"Ke arah sini ajaa! Jangan tendang ke lautt, nanti bolanya hanyut kebawa ombak!"

"Pelan-pelan aja, Vin!"

"Awas, ada ombakk! Nanti sandalmu hanyut!"

Walaupun tawa Edzar enggak sekencang Kevin, Aia bisa menangkap kebahagiaan yang terpancar dari wajah Edzar, yang terus melebarkan senyum. Angin sore yang bertiup semakin kencang seiring langit yang semakin merah, sama sekali tidak membuat Aia kedinginan, padahal ia hanya memakai dress bunga-bunga berbahan katun dengan pashmina senada, yang tidak mampu menghalau angin. Tapi Aia sudah cukup dihangatkan oleh pemandangan indah matahari terbenam, dan suaminya yang sedang asyik bermain dengan anak-anak.

"Udah mau maghrib nihh! Ini terakhir ya, Vin!" Seruan itu terdengar tepat ketika Aia sedang membidikkan kamera ponselnya pada Edzar yang ancang-ancang ingin menendang bola.

"Tuh, kan! Apa juga aku bilang, secara naluri, manusia memang diciptakan untuk berkembang biak. Memiliki anak itu enggak pernah ada sekolahnya, dan enggak ada ilmu patennya harus begini atau begitu. Semua manusia belajar sendiri dengan caranya masing-masing. Lihat, baru dua jam main, Mas Eza udah bisa beradaptasi dengan bagus tuh!" Suara Ardella—Ibunya Kevin—memecah konsentrasi Aia yang sedang mengambil banyak foto suaminya yang kini sedang bergandengan tangan ke arahnya.

Sekarang Aia sedang duduk bersama di restoran outdoor yang menyediakan aneka ragam seafood untuk makan malam. Sementara Ayahnya Kevin baru saja kembali ke villa hendak mengambilkan cardigan untuk anak perempuannya, setelah menyadari kalau angin bertiup makin kencang ketika langit mulai kemerahan.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang