Bab 13: Sebuah Petunjuk

3.9K 544 29
                                    



Hal pertama yang muncul dalam benak Aia setelah mendengar bagaimana Edzar berterimakasih padanya pagi itu adalah trauma terhadap penolakan. Edzar memang enggak menceritakan apa pun setelah ditanya, tapi Aia langsung menyimpulkan kalau kemungkinan besar, di masa lalu Edzar sempat mendapatkan penolakan yang begitu menyakitkan, sehingga mempengaruhi perkembangan emosinya.

Namun, sampai detik ini Aia belum bisa meraba-raba penolakan seperti apa yang Edzar dapatkan di masa lalu. Pria itu masih sama diamnya seperti biasa, dan jawabannya selalu datar. Membuat Aia jadi emosi sendiri, saking gregetannya. Alhasil, Aia berhenti mengorek informasi dari Edzar.

Maka di sinilah Aia sekarang. Duduk melingkari meja makan di mana terdapat rujak segar buatan Tintrin, bersama Ajeng juga. Kebetulan sekali, di saat Aia sedang bingung harus mencari clue ke mana lagi, Ajeng menghubunginya untuk mengajak ngobrol. Katanya, ada hal penting yang ingin ia diskusikan.

Jadi, begitu selesai dengan pekerjaannya, Aia langsung menuju rumah Budhe. Berhubung mereka berkumpul di siang hari, rujak menjadi teman ngobrol yang cocok untuk menghadapi panasnya kota Semarang yang menyengat.

"Emangnya dulu waktu Mbak Aia kuliah, enggak pernah pacaran?" Ajeng baru saja bercerita panjang lebar, tentang alasan utama dia mengundang Aia ke mari.

Ceritanya, Ajeng baru tahu kalau pria yang ia kagumi sejak awal OSPEK, ternyata juga menyimpan perasaan yang sama. Ajeng menceritakannya dengan berbinar-binar, bagaimana obrolannya dengan Kakak tingkatnya yang diceritakan memiliki sederet kelebihan yang menawan.

Sementara Tintrin langsung menolak tegas hubungan putri semata wayangnya itu. Dan menyebutkan banyak dalil yang melarang pacaran, tapi Ajeng tetap bersikeras bahwa hubungan mereka tidak akan melewati batas. Jadi, supaya mereka menemukan jalan keluar, Aia diminta memberikan pendapat sebagai orang yang masih berjiwa muda, tapi jauh lebih dewasa dibanding Ajeng.

Sudah lama sekali Aia tidak membahas topik semacam ini, sehingga ia cukup bersemangat menanggapi cerita Ajeng. Dan melihat bagaimana wajah Ajeng yang merona ketika menceritakan kelebihan Kakak tingkatnya itu, berhasil menghibur pikiran Aia yang sedang penuh oleh kerumitan rumah tangganya.

"Enggak pernah sama sekali!" Aia menjawab dengan mantap, yang tidak bisa membuat Ajeng langsung percaya.

"Masa sih, Mbak? Nggak mungkin Mbak Aia secakep ini, enggak ada yang deketin! Ya kalau emang enggak pacaran, setidaknya gebetan gitu lah! Pasti ada. Nggak mungkin nggak ada!"

"Beneran enggak adaaa! Tanya deh, sama Mas Aden, atau Adia! Dari aku SD, selalu satu sekolah sama Mas Aden. Jarak umur kita cuma empat tahun. Mas Aden tuh overprotective banget! Kalau ada yang ngisengin aku gitu, langsung disamperin."

Ajeng menatap penuh selidik. "Terus waktu SMP sama SMA gimana, Mbak? Kan Mbak Aia SMP Mas Aden udah masuk SMA ya?"

Serta merta Aia terbahak, ketika mengingat kembali masa-masa remajanya. "Waktu SMP ... aku kan udah naksir Kak Edzar. Dulu di mataku mah, semua cowok di sekolah enggak ada apa-apanya sama Kak Edzar! Sekeren-kerennya anak SMP, udah pasti kalah jauh sama anak kuliahan, yang kelihatan jauh lebih pinter, lebih dewasa ... lebih cool! Jadi, selama SMP, tiap ada cowok yang deketin aku, aku selalu ngaku udah punya pacar! Sampai waktu terima rapot, Ayahku yang dateng ke sekolah, ehh, ada temen kelasku yang ngadu ke Ayahku. Katanya aku punya pacar super ganteng! Terus temenku penasaran pacarku kayak apa, gara-gara aku cerita, pacar gantengku itu sering main ke rumah! Begitu sampai rumah, aku langsung disidang satu keluarga!"

Punggung Ajeng yang semula bersandar malas pada sofa, langsung menegak antusias. "Terus gimana, Mbak? Bukannya Mbak cerita, Mas Edzar cuma sempat ngajar les di rumah Mbak satu bulan?"

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang