Bab 2: Love Language

6.3K 771 104
                                    

Nih, yang kemarin enggak sabar mau ketemu Edzar versi udah jadi suami wkwkwkwkwk

Jangan lupa vote & komennya yang banyak yaaaaaa~

Happy readinggg!

***



Meskipun sesi podcast mereka sudah berakhir, Sesil tidak berhenti mengajak Aia ngobrol, sembari menikmati berbagai macam hidangan yang disediakan. Kali ini mereka duduk di ruang kerja Sesil berdua saja, bertukar banyak cerita setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

Obrolan mereka mengalir dengan santai membahas berbagai topik. Mulai dari pekerjaan, beberapa teman yang bersinggungan dengan mereka, dan yang paling mendominasi adalah soal pasangan masing-masing.

"Helga kalau di depan umum sok cool gitu, kelihatan kayak orang bener. Tapi kalau berdua sama gue doang, beuhh ... ngalahin berisiknya anak TK yang baru lancar ngomong! Semuanya dia komentarin!"

Aia hanya terbahak, tidak tahu harus menanggapi apa, karena ia sama sekali tidak relate dengan cerita tersebut.

"Bahkan kalau dia lagi pergi sendiri, mulutnya tuh suka gregetan pengen ngomentarin sesuatu kan, yaudah dia video call gue, cuma buat ngoceh enggak jelas gitu aja. Dia orangnya video call banget! Paling enggak, dalam sehari tuh minimal sekali harus video call. Setiap gue tanya apa gitu, yang harusnya bisa dia jawab lewat chat aja, dia selalu bales dengan video call. Pokoknya, selagi dia enggak lagi meeting, pasti langsung video call. Kadang kalau gue lagi di posisi enggak bisa video call, dia sedih banget, berasa orang paling didholimi sedunia. Dan butuh secepatnya ketemu, atau gue video call balik, baru diem."

Dalam diamnya, Aia memutar ulang hari-harinya selama setahun terakhir. Mengingat-ingat momen manja suaminya, yang serupa dengan cerita Sesil. Namun, ia tidak menemukan apa-apa, sehingga ia menyahut pendek. "Oh, Kak Edzar enggak terlalu suka video call sih."

"Terus? Telepon? Atau chat gitu aja?"

"Chat aja. Dia kan introvert banget, ya. Kalau enggak penting-penting amat, males ngomong dalam telepon gitu."

"Eh, Helga tuh juga introvert tahuu! Dia males kalau gue ajakin ke tempat ramai gitu. Lebih suka di rumah aja, baca buku, nonton film. Gitu-gitu doang lah!"

"Wah, aku kirain, Mas Helga tipe yang ekstrovert kayak Kak Sesil gini lhoo! Kalian kan sering konser bareng, nongkrong di PI berjam-jam sampai mall-nya hampir tutup, atau sekadar nongkrong di jazz club gitu ya? Aku setiap ngeliat story Kakak bareng Mas Helga, kayaknya asyik banget berdua heboh gitu?"

"Ya itu biasanya gue videoin pas lagi berdua aja. Kalau banyak orang, dia jadi diem banget. Dan setiap kali gue ngajak keluar, harus ada kesepakatan yang win win solution buat kita. Entah harus gue rayu banget pakai berbagai cara. Atau kalau dia emang lagi ada perlu juga di luar. Buat konser, dia mau kalau emang suka sama lagunya. Kalau enggak, kata dia mending turu!"

"Sama sih. Kak Edzar juga kalau aku ajakin ke mana-mana mau. Dia juga kelihatan lempeng aja gitu, kalau di tempat ramai, enggak menampakkan kalau enggak suka. Tapi misal dia ditanya, pilih mana, jelas jawabannya mending di rumah aja."

Obrolan mereka terus berlanjut membicarakan rencana liburan bareng berempat. Keduanya antusias mengungkapkan ide liburan masing-masing, sampai mereka kehabisan energi dan sama-sama bersandar pada sofa.

"Beneran harus jadi lho, Kak, liburannya! Awas aja, ini aku udah bikin itinerary panjang-lebar, kalau enggak jadi, parah banget sih!"

"Akhir tahun ini lah, ya? Beneran harus jadi lhooo!"

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang