Bab 26: Dering Telepon Tengah Malam

1.7K 388 107
                                    




Hari yang sudah Edzar nantikan akhirnya tiba. Ia memang belum tahu apakah uangnya sudah cukup untuk memperbaiki sepedanya. Namun, karena sudah menabung selama dua bulan penuh, Edzar merasa sedikit percaya diri untuk membawa sepedanya ke bengkel di ujung gang.

Berbeda dengan minggu lalu, langkah kaki Edzar hari ini penuh semangat. Ia membayangkan siang ini juga sepedanya sudah bisa dibetulkan, membuatnya bisa menghabiskan akhir pekan di rumah Nenek. Ia suka membantu Neneknya memberi makan ayam-ayam di belakang rumah, menyiangi rumput untuk memberi makan kambing, ikut ke sawah memetik cabai dan kacang panjang lalu dijual di pasar. Lalu menjelang sore, Nenek akan memasak menu makanan favoritnya. Kadang Nenek juga memaksa Edzar membeli beberapa jajanan di warung, yang selama ini cuma bisa Edzar lihat saja.

Sayangnya, imajinasi itu buyar ketika langkah Edzar tiba di rumah. Napasnya tersekat ketika melihat celengannya tergeletak di ruang tengah. Celengan yang terbuat dari toples bekas sosis itu sudah diisolasi dan dilubangi atasnya untuk memasukkan uang, dengan bantuan Pak Rozaq. Meski Pak Rozaq terlihat galak dan tegas, beliau berinisiatif membantu ketika Edzar bilang mau minta satu toples untuk dibuat celengan.

Kata Pak Rozaq, celengan harus ditutup rapat supaya Edzar enggak tergoda untuk mengambil uangnya, sebelum semua terkumpul.

Dan sekarang, Edzar mendapati celengan itu sudah terbelah menjadi dua. Isinya raib entah ke mana. Tangan kurus Edzar bergetar mengambil celengan itu, memastikan sekali lagi kalau ini memang miliknya.

Selama beberapa saat, Edzar cuma berjongkok meratapi celengannya. Butuh waktu berapa lama lagi, untuk ia mengisi celengannya dari nol?

Dada Edzar serasa dihimpit oleh sesuatu yang berat. Ia mengerjapkan mata berulang kali. Kebingungan, kenapa matanya berair. Padahal tidak ada yang memukulnya. Tidak ada yang meneriakinya. Perutnya juga masih kenyang, karena ini hari Jum'at, dan ada orang baik yang memberinya dua nasi bungkus di mushola. Edzar enggak kelaparan. Namun, kenapa tubuhnya memberikan reaksi yang sangat aneh?

Bayangan penuh kegembiraan ketika ia bisa menghabiskan akhir pekan di rumah Nenek langsung musnah. Enggak papa. Edzar bisa melakukannya bulan depan. Atau bisa saja dia tetap pergi ke rumah Nenek dengan menumpang mobil pickup milik tetangganya. Atau bisa juga dia tetap pergi ke rumah Nenek dengan berjalan kaki.

Meski lelah, yang penting ia sampai ke rumah Nenek, kan?

Di saat Edzar masih kesulitan memahami apa yang sedang terjadi, suara teriakan dari dapur terdengar. Suara keras yang belakangan ini jarang Edzar dengar, karena orang itu sudah lama tidak pulang.

"Budak dak tau diuntung! Jadi selamo ini kau punyo duit, tapi kau simpan yo? Di mano lagi tempat kau nyimpan duit itu? Jawab aku, pantek!"

["Anak kurang ajar ya, kamu! Jadi selama ini kamu punya uang, tapi kamu sembunyikan? Di mana lagi kamu menyembunyikan uang itu? Jawab saya!"]


"Duit-duit ini belum cukup buat gantikan apo yang aku keluarkan buat besakkan kau dan ngasih makan kau selamo ini."

["Uang-uang itu belum cukup untuk menggantikan semua yang saya keluarkan untuk membesarkan kamu selama ini."]


"Jawab! Di mano kau simpan duit itu?!"

["Jawab! Di mana kamu sembunyikan uang itu?!"]


Tubuh kurus itu menggigil. Teriakan melengking yang biasa ia dengar dari Mamaknya sudah biasa ia dapatkan. Namun, mendengar bentakan keras dari Bapaknya beserta suara nyaring dari benda-benda yang dilemparkan, tidak pernah membuat Edzar merasa terbiasa.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang