Bab 28: Tentang Hujan dan Kuah Ramen

1.7K 392 87
                                    







Setelah berhari-hari sengaja memadatkan jadwal untuk mengantisipasi cuti dadakan, sekaligus berusaha menyibukkan pikirannya agar tidak galau melulu, sekarang Aia memiliki waktu tiga hari untuk libur, kalau ditambah weekend dua hari, totalnya hampir seminggu. Dan Aia tidak tahu harus melakukan apa untuk mengisi waktu luangnya.

Seandainya hubungannya dengan Edzar tidak sedingin ini, Aia tidak perlu kesulitan berpikir sekarang. Ia punya banyak sekali opsi tempat menyenangkan untuk dikunjungi bersama. Meneruskan berbagai macam obrolan mereka soal masa depan, seperti yang terjadi di Karimunjawa. Atau mengunjungi kampung halaman Edzar untuk menjenguk mertuanya.

Alih-alih liburan, Aia malah menghubungi Sarah untuk membuat janji bertemu. Lama-lama Aia bisa depresi betulan, kalau kesedihan ini terus berlarut-larut. Ia perlu menenangkan diri, dan berusaha menguatkan mentalnya lagi agar lebih sabar menghadapi sikap Edzar.

Sayangnya, jadwal Sarah cukup padat, sehingga ia baru mendapat jadwal tiga hari lagi. Entah Aia harus melakukan apa untuk menahan seluruh emosinya sampai tiga hari ke depan, yang terasa sangat lama.

Sebelum ini, Aia enggak percaya dengan istilah, 'semesta turut mendukung kesedihannya'. Aia selalu menganggap, semuanya cuma kebetulan yang terlalu diromantisasi. Namun, sekarang Aia betulan berhadapan dengan kejadian itu.

Tepat ketika hubungan Edzar dan Aia semakin berjarak, musim hujan datang. Sebenarnya ini masih terlalu dini untuk memasuki musim hujan. Akan tetapi kondisi iklim yang semakin tidak menentu, membuat hujan lebih cepat datang dari seharusnya. Beberapa hari terakhir, hujan selalu turun setiap sore. Meski tidak terlalu deras dan cuma sebentar, itu sudah cukup untuk membuat hubungan Aia dan Edzar menjadi semakin jauh.

Seluruh tanaman Edzar di halaman belakang sudah tersirami oleh air hujan yang turun. Edzar sudah memasang bangku taman di belakang rumah, beberapa hari sepulang dari Karimunjawa. Tapi belum sempat digunakan untuk duduk-duduk sore bersama. Hujan yang turun akhir-akhir ini, seakan bersekongkol dengan Edzar, yang tidak ingin menghabiskan waktu berdua dengan Aia.

Bahkan Aia enggak bisa menceritakan isi hatinya pada tanaman-tanaman itu. Selain karena hujan, Aia khawatir tanaman-tanamannya akan layu kalau terlalu banyak menerima energi negatif yang terperangkap di kepala dan dada Aia.

Ada hari di mana Aia duduk di dekat pintu halaman belakang sambil meratapi hujan yang turun. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Aia marah dengan hujan. Seandainya langit tetap sama teriknya seperti biasa, bisa saja Aia membantu Edzar menyiram tanaman. Atau sekadar duduk-duduk di bangku taman menunggu Edzar selesai menyiram semua tanamannya. Aia bisa sekalian mencuri obrolan kecil yang bisa membangkitkan mood-nya. Atau sekadar membicarakan hal sederhana, untuk ditertawakan bersama.

Sesuai dengan rencana dan tujuan awal bangku taman itu dipasang.

Sayangnya, situasi yang terjadi sama sekali enggak mendukung. Dan hari ini, Aia kembali duduk di dekat halaman belakang. Meratapi waktu-waktunya yang terbuang dalam kebisuan, sembari membayangkan kapan gelak tawa yang ia bayangkan itu akan mewarnai hari-hari mereka.

"Kamu ngapain di situ, Ya?" Tubuh Aia terperanjat. Lamunannya terlalu khusyuk sehingga Aia tidak tahu kalau Edzar sudah pulang kerja.

Aia buru-buru berdiri, menatap Edzar yang rambutnya lepek dan kemejanya sedikit basah.

Sepertinya Edzar tidak sungguh-sungguh ketika bertanya, karena sebelum Aia mengeluarkan sepatah kata untuk menjawab, pria itu sudah beranjak pergi. Masuk ke kamar.

Perasaan Aia mencelos lagi.

Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus, kan?

Dan lagi-lagi harus Aia duluan yang berinisiatif menyelesaikan semuanya?

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang