Bagian Penutup

1.2K 307 70
                                    




"Ya Allah, aku kirain tuh ya, di rumahmu mau ada hajatan! Eh, nggak taunya, ini cuma dalam rangka nyiapin kamar baru kamu?" Medina berdecak sambil mengedarkan pandangannya, pada kesibukan pria-pria di dalam rumah.

Aia cuma terkekeh. "Halah, kayak enggak kenal Mami aja. Kan lebay banget, emang!"

Medina masih bergumam penuh takjub. "Aku pikir, waktu kamu bilang udah siap buat mulai kerja lagi, kamu bakal balik ke rumah lagi. Ternyata ... malah dibikinin kamar baru di lantai satu?"

"Enggak sepenuhnya bikin ya! Itu kan, kamar tamu yang direnovasi dikit," ralat Aia.

"Sedikit apanya sih? Ini tuh kamar tamunya diperlebar, terus ditambahin kamar mandi dalem? Dikasih jendela besar yang langsung menghadap ke halaman samping rumah? Itu namanya renovasi besar-besaran, Aiaaa!" gerutu Medina yang sempat mengintip isi kamar tamu.

"Ya ... soalnya kamarku 'kan di atas. Ayah kasihan sama aku, kalau nanti kehamilanku semakin besar, pasti bakal capek banget, kalau harus naik turun tangga tiap hari." Aia menyengir kecil. "Aku juga enggak nyangka sih, waktu Ayah mencetuskan ide itu, beneran langsung manggil tukang. Aku pikir yaa ... itu cuma rencana buat dua atau tiga bulan lagi lah, pas mendekati aku lahiran. Kan, ini masih lama juga. Tapi ternyata langsung Ayah lakuin!"

"Berapa lama itu renovasinya?" Medina masih berdecak kagum. Padahal ia sudah mengenal keluarga Aia sejak SMA, dan sudah menyaksikan secara langsung berbagai sisi kehangatan keluarga ini. Namun, selalu ada hal baru yang membuatnya terkagum-kagum. 

"Lima hari."

Bola mata Medina terbelalak. "Lima hari doang?!"

"Iya. Tukangnya ada empat. Memang sengaja Ayah mintanya secepat mungkin."

Memang kalau dalam urusan act of service, Adam lah pemenangnya.

"Terus kamu akan tinggal di sini terus sampai kapan?" tanya Medina lagi.

Aia mengendikkan bahu. "Sampai anakku masuk TK kali!"

Medina menggelengkan kepalanya, bingung. "Lah, terus rumah Mas Edzar gimana? Dibiarin kosong gitu aja? Enggak takut jadi angker apa, udah lama nggak ditempatin?"

"Iya, kaaaan! Mami udah nyuruh rumahnya Kak Edzar dikontrakin aja, daripada jadi angker!" Tiba-tiba saja, Tyra ikut nimbrung ke halaman belakang.

"Terus Kak Edzar bilang gimana, Mi?" tanya Aia penasaran. Ia sudah lama ingin membahas ini pada Edzar, tapi belum sempat. Karena akhir-akhir ini, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk kangen-kangenan, setelah sekian lama perang dingin.

"Enggak mau katanya," balas Tyra sambil mencomot brownies kukus di tengah mereka.

"Kenapa enggak mau? Kan lumayan tuh, biaya sewanya bisa dipake buat beli perlengkapan bayi. Beli stroller ... atau apaan kek?" sahut Medina.

"Kata Mas Edzar, nanti kebun bunga di halaman belakangnya gimana? Udah banyak bunga-bunga yang tumbuh, tunggu mekar dulu." Sebenarnya Tyra senang mendengar jawaban Edzar saat itu. Namun, ia mengatakannya dengan ogah-ogahan, karena Aia jadi cengar-cengir sendiri ketika mendengarnya.

"Bunga-bunga apaan, Mi?" Medina bertanya, mengabaikan Aia yang wajahnya dipenuhi semburat kemerahan.

Memang selama beberapa bulan Aia berkonflik dengan Edzar, ia jarang sekali bertemu Medina, kalau tidak penting-penting banget. Aia sengaja menghindar, supaya ia tidak keceplosan curhat pada Medina. Ia baru mengundang Medina ke rumahnya, setelah masalahnya benar-benar selesai, dan rumah tangganya kembali menghangat.

"Itu ... Mas Edzar 'kan akhir-akhir ini nanem bunga mawar di halaman belakang. Terus ... kalau bunganya udah tumbuh, dipetik sama Mas Edzar, dikasih ke Aia. Yaa ... gitu terus. Sebulan sekali, Mas Edzar selalu bawa pulang bunga hasil bercocok tanam sendiri."

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang