Bab 27: Kecewa yang Terkubur

1.8K 347 68
                                    







"Mau ke mana, Kak?" tanya Aia sambil susah payah menahan sesak di dadanya, ketika melihat Edzar memakai jaketnya, mengganti celana pendeknya dengan celana panjang, dan meraih kunci motor.

"Ke apotek sebentar," jawab Edzar pelan.

"Mau beli apa?" Pandangan Aia tertuju pada jam dinding. Sudah pukul setengah sepuluh. Terlalu malam untuk keluar rumah, kecuali keadaan darurat. Dan Aia sedikit khawatir kalau diam-diam Edzar sakit, tapi berusaha menutupinya.

"Beli melatonin." Edzar menatap Aia lebih lekat selama beberapa detik. "Kamu mau nitip sesuatu?"

Aia hanya menggelengkan kepalanya. Yang menit berikutnya, Edzar langsung berlalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Terhitung sudah satu minggu hubungan mereka menjadi dingin—lagi. Rasanya ini mengingatkan Aia pada hubungan mereka beberapa bulan lalu, ketika Aia sedang stres dan lebih banyak diam karena kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan. Bahkan diamnya Edzar akhir-akhir ini lebih parah dibanding saat itu. Pandangan Edzar seringkali kosong, menatap lurus ke depan tanpa memikirkan apa-apa. Lalu kelihatan sangat linglung ketika tiba-tiba diajak bicara.

Sejak Ajeng memberitahu Aia mengenai orangtua Edzar yang sedang sakit keras, Aia sudah memberitahu Medina untuk siap-siap, kalau ia akan mengambil cuti dalam waktu dekat. Semua pekerjaannya yang sudah mendekati deadline, ia kerjakan lebih cepat dalam satu hari penuh. Dan beberapa pekerjaan yang baru masuk, ia alihkan ke bulan depan. Karena Aia pikir, dalam waktu dekat, Edzar akan mengajaknya ke Jambi.

Nyatanya sudah seminggu berlalu, Edzar tidak juga menceritakan apa-apa. Soal mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya hampir setiap malam pun, tidak pernah dibahas. Edzar bersikap biasa saja, berusaha menyembunyikan semuanya sendirian, sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk Aia mengetahui apa-apa.

Jelas Aia sudah gregetan setengah mati. Namun, ia mengikuti saran Sarah untuk memperluas kesabarannya. Aia sengaja tidak bertanya atau membahas apa pun soal itu, memberikan waktu sebanyak mungkin sampai Edzar siap bercerita sendiri.

Entah sampai kapan Aia harus menunggu. Lama kelamaan hatinya lelah juga harus disuruh menunggu terus-terusan. Pikirannya semakin liar membuat berbagai macam skenario, apa yang kira-kira terjadi di masa lalu Edzar, sampai laki-laki sebaik dan sekalem Edzar bisa bertindak sejauh ini.

Selama ini Edzar bisa dengan mudah memaafkan semua orang. Pria itu juga gemar menyebarkan kebaikan sebanyak mungkin pada sekitarnya. Tapi, kenapa Edzar enggan mengakui keberadaan orangtuanya? Dan tidak mau menjenguk Ibunya yang sedang sakit?

Ini sudah hari kedelapan podcast mereka libur. Hari-hari Aia terlalu sibuk dan melelahkan, sehingga pukul sembilan malam ia sudah mengantuk sekali. Sementara Edzar masih sibuk berolahraga. Setiap kali Aia memanggilnya untuk segera menyusul ke kamar, pria itu cuma bilang, "Okay, sebentar lagi ya, Ya?"

Yang kenyataannya, enggak sebentar. Aia lelah menunggu sampai akhirnya memilih tidur duluan. Hari-hari berikutnya, kembali terulang. Dan Aia tidak punya tenaga lagi untuk mengkonfrontasi Edzar secara langsung, kenapa pria itu terkesan berusaha menghindari obrolan dengan Aia? Apakah dia memang seenggak-mau itu bercerita pada Aia?

Pertanyaan itu terus berputar di kepala Aia, membuat perasaannya semakin buruk. Lalu apa gunanya seluruh obrolan mereka selama ini, yang berjanji untuk memperbaiki komunikasi? Yang katanya akan menjadi lebih terbuka?

Dan kenapa Edzar setega itu membiarkan Aia tidak tahu apa-apa, sampai akhirnya ia lebih dulu mengetahuinya dari orang lain?

Malam ini, untuk yang kesekian kalinya, Aia menangis sesenggukan di kamar mandi. Ia duduk di atas kloset yang tertutup. Sengaja menyalakan keran untuk menyamarkan isak tangisnya. Menumpahkan seluruh frustasinya di sana.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang