"Ayah mau ke mana?" tanya Edzar pelan ketika ia baru memasuki rumah, dan langsung menemukan Adam tengah duduk di ruang tamu, tampak sudah siap menggunakan topi dan jaket.Adam yang semula sedang sibuk mengutak-atik ponselnya langsung mendongak, tampak terkejut mendapati keberadaan Edzar di depannya. "Ini ... tadinya mau mancing sama Mas Aden. Tapi Mas Aden malah ... pergi."
Jawaban Adam membuat Edzar termenung sejenak. Apakah Adam betulan tidak mengetahui ke mana Aden pergi? Atau Adam hanya pura-pura tidak tahu supaya Edzar tidak merasa canggung?
"Mau mancing di mana, Yah?" tanya Edzar lagi.
"Tadinya sih, mau di ... tempat biasa. Tapi enggak jadi lah. Udah keburu panas. Nggak seru juga kalau mancing sendirian. Bentar lagi Mami pulang belanja, nanti Mami—"
"Mancing sama aku saja yuk, Yah!" Tawaran Edzar berhasil membuat punggung Adam langsung menegak.
"Beneran mau, Mas?" Bola mata Adam langsung membulat penuh semangat. "Kalau Ayah mancingnya sama Mas Edzar, Mami enggak akan ngomel."
"Ayo, Yah."
Adam langsung bangkit dari sofa sambil mengutak-atik ponselnya. "Kamu keluarin mobil dulu, Mas. Ayah telepon Mami bentar yaa? Ini peralatan pancingnya udah Ayah siapin semua kok!"
"Oke, Yah."
Tidak lama setelahnya, kedua pria berbeda generasi itu sudah duduk di dalam mobil. Seperti biasa, tidak banyak obrolan di antara mereka. Namun, Edzar merasa sangat nyaman dengan keheningan ini.
Pandangan Adam lurus ke depan, sambil sesekali berbalas pesan di ponselnya. Tidak ada tatapan menghakimi, atau sorot mendesak penuh tanya. Membuat Edzar merasa lebih santai, tanpa perlu susah payah memikirkan topik obrolan untuk memecah keheningan.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Edzar memancing bersama Adam. Bahkan sebelum statusnya sah menjadi menantu, Edzar sudah sering diajak mancing. Dan entah kenapa, momen ini mengingatkan Edzar pada momen di mana ia pertama kali mengenal Adam. Ketika Edzar masih kuliah.
Waktu itu Adam berbincang cukup lama dengan Listyo ketika hendak membeli perabotan rumah. Kemudian Listyo tidak sengaja curhat, mengatakan kalau keponakannya memaksa bekerja di toko mebelnya, padahal sedang sibuk kuliah, sampai kelelahan. Lalu Adam bertanya dengan raut datar khasnya, "Edzar menguasai pelajaran SMP tertentu nggak?"
Dengan percaya diri, Edzar menjawab, Matematika. Dan secepat itu pula, Adam setuju menjadikan Edzar sebagai guru les Matematika Aia. Sayangnya, baru sebulan mengajar, Edzar sudah diberhentikan. Itu pun tidak sepenuhnya diberhentikan, karena Adam menyarankan Edzar untuk mengajar anak temannya, yang juga membutuhkan tutor les.
Sampai bertahun-tahun setelahnya, ketika mereka bertemu lagi dengan status yang berbeda—di saat Edzar melamar Aia, sikap Adam masih sama. Sekilas tampak dingin, tapi setelah berinteraksi lebih lama, terasa hangat dan pengertian. Adam menjadi orang pertama yang paham, kalau diamnya Edzar bukan berarti sedang marah, bukan berarti sombong, atau bukan berarti sedang berpikiran macam-macam.
"Maaf ya, Yah."
Kepala Adam menoleh sekilas. "Iya, Mas."
Jawaban santai itu membuat Edzar tersentak. Akan tetapi mobil Edzar sudah tiba di sebuah danau yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Sebenarnya kemungkinan mendapatkan ikan di danau ini amatlah kecil. Barangkali cuma satu per seratus. Namun, seperti kebanyakan bapak-bapak, alasan utama Adam suka memancing adalah untuk menikmati prosesnya. Bukan untuk mencari ikan.
Selama beberapa menit, tidak ada kalimat yang mereka ucapkan. Adam fokus mencari tempat yang agak teduh, sedangkan Edzar mengekori sambil membawa dua buah kursi lipat dan peralatan pancing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Available (COMPLETED)
EspiritualTentang Aia yang memiliki banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Dan Edzar yang memiliki banyak kebingungan dalam hidupnya. Start: 14 Juni 2024 End: 1 November 2024