Bab 7: Roller Coaster

4K 580 83
                                    




"Wah, makasih banyak yaa, Mbak Aiaa!" Wanita berhijab lebar itu tersenyum lebar sembari menerima paperbag berisikan mukena. Berhubung Budhenya jauh lebih pintar memasak dan membuat kue, Edzar menolak ide membawakan makanan. Jadi, Aia berinisiatif membawakan beberapa sampel mukena kolaborasinya yang belum dirilis secara resmi.

"Sama-sama, Budhe. Maaf ya, Budhe, akhir-akhir ini sibuk banget, jadi udah lama enggak mampir!" Aia meringis tidak enak hati, ketika Tintrin—nama wanita itu—merangkul lengan Aia untuk masuk ke rumah.

"Iya, kemarin Mas Edzar sempat telepon, katanya sepulang dari Jakarta, kamu enggak enak badan gitu, ya? Sekarang sudah sehat?"

Aia tersenyum simpul. "Alhamdulillah sehat, Budhe. Kemarin cuma kecapekan aja, sih. Terus ada beberapa kerjaan yang numpuk, jadinya enggak sempet main ke sini! Budhe sama Pakdhe sehat, kan?"

Selanjutnya Tintrin mencerocos panjang lebar tentang berbagai macam masakan yang dihidangkan. Wanita berusia penghujung lima puluhan itu selalu bersemangat setiap kali berhadapan dengan Aia. Bahkan perlakuannya ke Aia jauh lebih istimewa, ketimbang pada putri tunggalnya sendiri—Ajeng. Yang entah membuat Aia harus bersyukur berapa kali, bisa diterima sebaik ini di keluarga Edzar.

Anggap saja, Aia kebanyakan menonton sinetron yang membuatnya kerap mengkhawatirkan apakah ia bisa diterima dengan baik oleh keluarga pasangannya atau tidak. Bahkan Aia lebih banyak berdoa supaya mendapat mertua dan ipar yang baik, dibanding berdoa minta jodoh yang baik. Dan seluruh doa Aia terkabulkan dengan baik, di saat Tintrin langsung menganggap Aia seperti anaknya sendiri, dan memeluk Aia dengan sangat erat di pertemuan pertama mereka.

"Ajeng tuh sekarang makin sibuk dia! Sok-sokan ikut kepanitian apa gitu! Jadinya sekarang begitu pulang kuliah, langsung rapat-rapat terus. Udah kayak anggota dewan aja itu lagaknya!" gerutu Tintrin ketika Aia menanyakan kenapa rumahnya sepi.

Berhubung ketika Aia dan Edzar sampai di rumah Tintrin bertepatan dengan azan asar, Edzar langsung jalan ke masjid dekat rumah begitu memarkirkan mobilnya. Begitu juga dengan Pakdhenya yang sudah ke masjid lebih dulu. Makanya saat ini, hanya ada Aia dan Tintrin di rumah.

"Justru waktu kuliah tuh, emang rasanya belum afdol kalau enggak ikut organisasi gitu, Budhe! Dulu aku juga ikut beberapa. Meskipun enggak aktif banget, setidaknya ada satu-dua organisasi yang diikutin," timpal Aia dengan senyum lebar. "Emangnya dulu waktu Kak Edzar kuliah, enggak ikut organisasi gitu, Budhe?"

Berhubung Edzar sangat irit bicara, Aia suka mengorek informasi ringan tentang masa muda suaminya melalui keluarganya. Informasi yang menurut Edzar enggak penting itu, sungguh sangat penting menurut Aia. Rasanya gemas saja, mengetahui cerita-cerita masa kecil Edzar. Sayangnya, Tintrin enggak pernah menceritakan masa kecil Edzar secara lengkap.

"Enggak. Mas Edzar waktu kuliah, udah sibuk banget. Kerja sana-sini. Mentang-mentang udah punya KTP, jadi hobinya cari lowongan kerja. Pernah jadi supir angkot, jadi kuli angkut di pasar, ngajar les, jadi pelayan kafe, banyak lah. Semua kerjaan dia lakuin." Tintrin menggelengkan kepalanya dengan sorot sendu ketika menceritakan itu.

Aia yang baru pertama kali mendengar fakta tersebut, tidak bisa menutupi keterkejutannya. Ia pikir saat kuliah, Edzar mengajar les hanya untuk mengisi waktu luangnya. Atau sekadar menambah uang jajan yang dilakukan iseng-iseng.

"Bukannya saat itu toko mebel punya Pakdhe udah buka dua cabang, dan lumayan sukses ya, Budhe?" Aia bertanya dengan hati-hati, khawatir pertanyaannya menyinggung. "Maksudku ... kenapa Kak Edzar sampai bekerja sekeras itu?"

"Nah, itu. Budhe juga sering tanya kayak gitu ke Mas Edzar, Mbak. Tapi ya ... begitulah. Namanya laki-laki, punya ego. Sejak SMA, dia enggak mau tinggal gratis di rumah Budhe. Padahal meski Mas Edzar bukan anak kandung Budhe, kami tetap saudara. Dia merasa sudah terlalu banyak merepotkan, jadi waktu SMA maksa mau bantu-bantu di toko mebel, karena kalau cari kerjaan di luar agak susah, butuh KTP, sementara dia belum punya KTP. Saat kuliah, dia enggak mau kami bayarin. Semua tagihan dia sembunyikan. Pakdhe enggak boleh bayarin. Dia mau kerja sendiri. Katanya, uang hasil kerjanya mungkin memang enggak bisa membayar semua jasa Budhe dan Pakdhe, tapi setidaknya bisa untuk menghidupi dirinya sendiri, dan enggak mau merepotkan orang."

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang