Bab 15: Hubungan yang Normal

2.3K 354 33
                                    

aku lupa di awal sempet nyinggung waktu pelaksanaan nikahan Sesil atau enggak ya? Kalau iya, misal waktunya enggak sesuai, bantu tandain dong, biar aku edit. Yang bener, jarak nikahan Sesil sama podcast di Youtube bab 1 itu empat bulan yaaa!

Aku bakal happy bgt kalau kalian mengapresiasi aku dengan banyak komen dan vote🥹. Thank you!

***



"Baik-baik aja, kok, Din! Seriusan deh!" Aia menangkat kepalanya untuk menatap pantulan bayangan Medina di cermin. Managernya itu tengah berdiri di belakang Aia, merapikan hijabnya dengan sedemikian rupa dengan raut serius.

Medina manggut-manggut. "Aku enggak bermaksud kepo sama masalah rumah tanggamu, Ya. Tapi akhir-akhir ini, aku ngeliat kamu jadi sering ngelamun, bikin aku khawatir. Kalau emang ada sesuatu yang bisa aku lakuin buat bantu kamu, jangan sungkan buat bilang ya, Ya?"

Kepala Aia mengangguk kaku. Bagian dari pernikahan yang baru Aia sadari akhir-akhir ini adalah, ketika menikah, maka ia harus siap kehilangan semua teman atau sahabatnya. Dan satu-satunya yang bisa menjadi teman terdekatnya adalah suami atau pasangannya sendiri. Karena setelah menikah, maka hidup Aia tidak lagi menjadi miliknya sendiri. Tapi milik suaminya juga, yang tidak bisa dibagi dengan orang luar—selain pasangannya.

Ada banyak hal yang berkutat di kepala Aia, yang kalau dulu, ia bisa dengan leluasa mendiskusikannya dengan Medina—teman terdekatnya. Namun, setelah menikah, semua itu tidak bisa dia lakukan lagi. Ada batasan-batasan yang perlu ia jaga, demi menjaga aib rumah tangganya juga. Jadi, secara tidak langsung, hubungan mereka pun enggak seerat dulu.

Barangkali, ini salah satu alasan yang menyebabkan kehidupan pernikahan Aia mulai terasa hampa. Selama ini, Aia tipe orang yang ceriwis membicarakan banyak hal pada semua orang terdekatnya. Dari hal yang paling remeh sekalipun, seperti membahas coffee shop mana yang memiliki matcha latte paling enak, atau brand kopi mana yang paling cocok di lambung. Sampai hal paling serius tentang berbagai kekesalan yang meradang di hatinya. Tidak pernah sekalipun ia menyimpan semua pemikiran itu di dalam kepalanya sendiri.

Sayangnya, pasangan Aia tidak sama dengan Medina yang bisa menanggapi semua ceritanya dengan antusias. Meski ia sudah berdamai dengan sikap suaminya yang dingin, tetap ada setitik keinginan di hati Aia, mempunyai teman ngobrol yang bisa menanggapinya dengan sama antuasiasnya.

Antusias sendirian itu sungguh tidak enak.

Meski begitu, sesi podcast-nya setiap malam masih berlanjut. Aia merasakan ada perubahan kecil pada sikap Edzar ketika menyimak ceritanya. Edzar juga mulai aktif memberikan respon dengan bertanya balik, tapi tetap saja nada dan ekspresinya begitu datar. Dan setiap kali Aia berusaha mengulik masa lalu Edzar lebih dalam, pria itu selalu menghindar.

Sejak tadi lidah Aia gregetan ingin mendiskusikan ini pada Medina. Hubungan pertemanan mereka yang sudah belasan tahun. Dengan banyaknya selera yang sama, membuat Aia yakin bisa mendapatkan respon yang sangat baik dari Medina. Atau setidaknya, perasaan Aia jadi mendapat validasi.

Namun, ia enggak mungkin melakukannya. Nasihat-nasihat dari orangtuanya masih tertanam jelas dalam ingatannya, bahwa perihal rumah tangga, tidak baik dibicarakan pada siapa pun. Jadi, Aia masih setia mengatupkan bibir, sampai Medina selesai merapikan hijabnya.

"Emang sih, Ya, aku belum menikah. Aku enggak bisa ngasih nasihat yang gimana-gimana juga. Tapi ... kalau suatu hari kamu butuh didengar, selalu ingat masih ada aku, ya?" Medina memegang kedua bahu Aia dengan penuh khawatir.

"Makasih, Din. Kamu pasti orang pertama yang aku cari kalau butuh sesuatu." Hanya itu yang bisa Aia katakan, karena tidak ingin suasana hatinya malam ini menjadi sendu.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang