Bab 29: Sudut yang Berseberangan

1.7K 375 96
                                    


Kalau bab ini banyak vote dan komennya, besok Sabtu aku update lagi. Kalau dikit, aku update lagi bulan depan nihhhh


***


"Beneran, Ya, enggak banyak yang aku ingat dari orangtuaku."

Setelah Aia muntah-muntah dan menangis cukup lama di kamar mandi, Edzar sudah berdiri di depan pintu kamar mandi dengan kedua tangan terbuka, memeluk Aia lagi erat-erat. Kali ini pria itu sudah wangi, karena sempat mandi di kamar mandi lain, selagi Aia menangis.

Mereka melupakan ramen yang sudah dingin. Dalam kondisi seperti ini, nafsu makan mereka menguap begitu saja. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan ketimbang makan. Jadi, Edzar membimbing Aia ke kasur, dan minta izin untuk memeluk lagi.

Dengan posisi saling merekatkan pelukan, Edzar pun perlahan-lahan membuka kotak memori di kepalanya yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.

"Waktu kecil, yang aku tahu cuma ... kelahiranku enggak pernah diharapkan. Mamak yang suka marah-marah, Bapak yang enggak tahu kerjanya apa, dan sering menghilang berhari-hari. Lalu Bapak suka tiba-tiba muncul dengan bau menyengat yang aku benci. Udah, gitu aja."

"Kelahiran yang enggak diharapkan tuh ... maksudnya ... MBA, gitu?" tanya Aia pelan dengan suara seraknya.

"Iya. Mamak hamil aku begitu lulus SMP."

"Terus?"

Jeda cukup lama dalam keheningan, yang Aia gunakan untuk mengusap dada Edzar lembut.

"Ya ... akhirnya mereka terpaksa menikah."

"Nenek Kak Edzar ... hmm ... gimana responnya, waktu pertama kali tahu?"

"Nenek tuh ... dari yang aku pahami, termasuk orang yang cukup terpandang di kampung. Punya sawah, punya kandang ayam ... kandang bebek. Melihara kambing .... Ya gitulah."

"Berarti keluarga Kak Edzar termasuk cukup kaya ya di sana ...," gumam Aia pelan. "Terus aku inget banget, Kak Edzar bilang, sering sarapan pakai roti coklat yang udah hampir kadaluarsa? Kenapa ... hmm ... gimana ya, pertanyaannya? Kan, keluarga Kak Edzar cukup mampu buat masak nasi dong, seharusnya?"

"Meskipun Nenek yang mendesak Mamak dan Bapak untuk menikah, sebenarnya Nenek kecewa banget. Dulu tuh, Nenek juga salah satu orang yang udah haji, jadi terkenal punya image yang baik juga. Makanya waktu tau Mamak hamil dan terpaksa putus sekolah, Nenek kecewa banget. Dan berusaha ngasih pelajaran ke Mamak dan Bapak, dengan membiarkan mereka hidup sendiri, usaha sendiri, tanpa bantuan Nenek."

Aia tidak mengeluarkan pertanyaan lagi. Selama beberapa menit, Aia hanya merekatkan pelukan mereka, saling memberikan kekuatan. Sekaligus memberi apresiasi pada segala hal yang sudah Edzar lalui.

"Terus apa mereka lakukan untuk menyambung hidup?"

"Mamak ... jadi tukang cuci baju dari rumah ke rumah. Kalau Bapak ... aku enggak tahu." Suara Edzar semakin pelan ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Enggak tau?"

"Selama ini yang aku dengar dari Mamak, Bapak kehilangan pekerjaannya gara-gara kelahiranku. Dan masih banyak lagi kesialan yang mereka dapatkan karena kehadiranku di tengah-tengah mereka. Dan aku enggak tahu konteks yang dimaksud apa."

Sekarang semuanya terasa sangat masuk akal. Bagaimana Edzar yang selalu rendah diri, dan merasa dirinya tidak berharga. Bagaimana Edzar yang menjadi people pleaser, berusaha membantu semua orang, supaya keberadaannya sedikit berguna. Juga bagaimana Edzar lebih banyak diam, karena barangkali sejak kecil, ia tidak pernah diberikan tempat untuk berbicara, untuk mengeluarkan segala keluh-kesah yang muncul di benaknya.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang