"Bunda-Bunda, awas!" Teriak Rena.
Ckitttt.
"Astaghfirullahhh, Rena!" pekik Wika—Ibunda Rena—mengejar putrinya yang berlari masuk ke dalam rumah.
"Maaf, Bunda, Rena gak sengaja!"
Rena berlari memasuki kamar sang kakak mengabaikan Bima sang ayahanda dan ibundanya yang masih mengejarnya, jangan salah, meskipun usia Wika sudah memasuki kepala empat, tetapi tenaganya dua puluh tahun.
"Bunda, ada apa?" cegah Bima.
"Minggir, Yah, itu anakmu kurang ajar banget minta digeplak! Minggir, Yah, Bunda mau kejar Rena dulu!" seru Wika berusaha melepaskan rengkuhan suaminya.
"Bunda istighfar Bunda ... ingat umur! Kalau tiba-tiba kaki Bunda sakit gimana? Ayah juga yang susah."
"Ya anakmu harus dikasih pelajaran, Ayah! Masa Bunda ditabrak sama dia? Untung Bunda ngehindar, coba kalau nggak? Udah masuk rumah sakit, Bunda!" kesal Wika yang hanya disambut gelengan kepala oleh Bima.
"Kamu tau sendiri anakmu gimana? Udah, percuma kamu emosi, dia gak akan berubah, tenang, Bunda!"
Wika duduk di sofa dengan napas memburu menatap tajam pintu kamar putri sulungnya, entah salah apa dirinya di masa lalu hingga memiliki putri bungsu yang petakilan dan begitu meresahkan sampai berhasil membuat tekanan darahnya meninggi setiap hari.
Di kamar sang Kakak, Rena duduk memeluk Dena atau lebih tepatnya Denata Samira—kakak kembarnya—yang kini menatap dirinya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Sekarang, kenakalan apa lagi yang kamu buat sampai-sampai bunda teriak kaya gitu?" tanya Dena.
"Aku gak buat kenakalan apa-apa, Kak, bunda aja yang suka banget marah-marah sama aku," alibi Rena yang tentu saja tidak dipercaya oleh Dena.
"Gak mungkin bunda teriak manggil nama kamu sampai segitunya kalau kamu gak buat dia kesal, Rena! Kakak tau kamu, ya!"
Rena cengengesan dan menjawab dengan santai, "Aku gak bikin kenakalan apa pun, Kak, cuma gak sengaja naikin gas motor sampai hampir nabrak bunda yang lagi nyiram tanaman di depan, itupun gak sampai ketabrak! Bunda cuma jatuh karena terkejut aja."
"Astaghfirullah Rena! Bahaya itu, Dek ... kamu ya ... kalau bertingkah suka minta digeplak, tau, gak!"
"Aku gak sengaja, Kak, habis aku kesel!"
"Kesel sih, kesel! Cuma gak harus sampai ngebahayain orang lain juga buat luapin kekesalan kamu!"
"Ya maaf, Kak. Aku gak bisa kontrol kekesalan aku, masa nih ya ... aku kan habis ambil motor di deler, terus aku beli cemilan kan, di supermarket, eh ... pas keluar supermarket motor aku digondol pencuri masa, siapa yang gak kesel coba!" sungut Rena dan mengalirlah kejadian pencurian motor tadi.
"Eh, tapi Kak ... aku ngerasa bersalah deh, sama cowok yang aku timpuk tadi, dia sampai jatuh dari motor loh, karena timpukan sandal aku. Habis salah dia sih, ngalangin aku sama warga ngejar pencuri, jadinya kan aku salah paham sama dia."
"Yaudah, kalau ngerasa bersalah kamu temui dia dan minta maaf, gampang, 'kan?"
"Iya, masalahnya nih ya Kak, aku gatau dia siapa dan di mana rumahnya, gimana aku bisa minta maaf sama dia?"
"Nanti pasti ketemu lagi, sekarang alangkah baiknya kamu turun ke bawah dan minta maaf sama bunda, kamu salah lho udah bikin bunda jatuh karena ulah kamu itu. Sana minta maaf sebelum motor baru kamu bunda jual atau lebih parahnya lagi dikasih orang sama bunda!"
"Nanti aja deh, bahaya kalau aku turun dan minta maaf sekarang, yang ada aku digeplak sama bunda dan dimarahin sama ayah, kakak tau sendiri ayah sama bunda kalau marah nakutin. Gak mau, ah!"
"Rena, minta maaf sekarang atau Kakak seret kamu keluar sekarang!"
"Ish ... tega banget mau nyeret adeknya!"
"Yaudah minta maaf!"
"Iya, iya!"
Ceklek.
Rena menyembulkan kepalanya keluar, denyut jantungnya berdebar seketika kala harapannya beradu dengan tatapan tajam sang bunda, "Apa?" sentak Wika membuat nyali Rena menciut.
"Rena, sini kamu!"
Rena menunjukkan barisan giginya pada sang ayah, "Kenapa, Yah?" tanya Rena dengan wajah tanpa dosa.
"Sini turun!"
"Iy ... iya, Yah." Rena berjalan perlahan menuruni tangga dan mendekati kedua orang tuanya yang tak menghilangkan tatapan tajam sejak tadi. Jujur saja, Rena mulai berkeringat dingin melihat tatapan tajam kedua orang tuanya.
Plak!
"Aduh!"
"A ... aduh, Yah ... sakit, ih ... putus entar telinga Rena, Ayah ... ih ... lepasin, Ayah ..., " rengek Rena berusaha melepas jeweran telinga dari sang ayah.
"Bunda juga, kenapa kepala Rena digeplak? Tar kalau Rena gegar otak gimana? Bunda mau tanggung jawab, huh?" sambung Rena melayangkan protes setelah Bima melepaskan jewerannya.
"Kenapa? Gak terima, hah? Atau mau Bunda geplak lagi kepalanya? Biar lurus sekalian otakmu!"
"Galak banget sih, sama anak!"
"Apa kamu bilang?"
"Bunda galak!"
"Heh! Makin kurang ajar kamu yaa sama Bunda!"
"Ampun, Bunda ... maaf deh, ya ... Rena gak bermaksud buat tabrak Bunda tadi, cuma niat bikin Bunda kaget aja sih," gumam Rena di akhir kalimatnya.
"Rena!"
"Maaf, Ayah, janji deh, gak ulangi lagi!"
"Anak siapa sih, nyebelin banget!"
"Anak Bunda, dong! Masa anak tetangga?"
"Nyebelin kamu tuh akut, kayanya pas Bunda habis lahiran suster salah ambil anak di ruang bayi."
"Kalau salah anak berarti Kak Dena bukan anak Bunda juga dong, kan wajah Rena sama Kak Dena sama persis, bahkan orang-orang di luar sana gak bisa bedain mana Rena dan mana Kak Dena, kecuali Bunda, Ayah, keluarga kita. Temen Rena sama Kak Dena bisa sih bedain, cuma bukan dari muka, dari sifat dan benda kita, kalau kita sama-sama diem tuh, dan gak pake benda apa-apa mereka susah bedain juga," cerocos Rena.
"Jawab, terus! Ini pasti turunan Ayah, nih, nakal banget heran! Udah tua, juga! Ayah pasti pas belum nikah sama Bunda nakal banget, 'kan? Ngelawan sama orang tua, suka bikin onar, suka naikin darah orang tua, pasti mudanya Ayah main geng-gengan juga, iya, 'kan? Bunda mah anaknya baik, gak pernah ngelawan orang tua, sholehah sejak kecil Bunda itu, sama kaya Dena!" seloroh Wika.
"Kok Ayah dibawa juga, Bunda? Ayah diam lho, dari tadi!"
"Bunda jangan bilang Kak Dena baik, ya, dia sama nakalnya kaya aku, buktinya pas masih SMA Kak Dena pernah tuh bikin temennya gak mau masuk karena trauma Kak Dena buly habis-habisan!"
"Kakak gak nakal, ya! Itu mah temen Kakak aja yang rese, suka gangguin Kakak!" elak Dena yang sejak tadi mengamati pertikaian Rena dan kedua orang tuanya.
"Ya sama aja itu nakal, namanya!"
"Beda dong, Rena! Kamu lebih parah ikut tawuran pas SMA sampe dimarahi Bunda, itu lebih nakal lagi! Emang dari dulu kamu tuh tingkahnya suka bikin orang naik darah, tau, gak!"
"Kok kalian malah debat, sih!"
"Ya habis Rena duluan, Ayah! Ngapain coba, bawa-bawa Dena? Dia kan yang udah bikin Bunda marah, bukan Dena!"
"Udah, Dena, Rena!"
"Bunda duluan yang mulai, Ayah!"
"Kamu salahin Bunda?"
"Ya emang Bunda yang salah!" seru Dena, Rena, dan Bima bersamaan.
"Ayah tidur di luar!"
Tbc?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity of Love (END)
RomansaBagaimana rasanya kala orang yang kita cintai datang melamar saudari kita sendiri? Sakit? Tentu! Itulah yang dirasakan Renata Samira, perempuan karir yang harus menerima kenyataan bahwa orang yang dicintai datang melamar Denata Samira-kakak kembarny...