17. Sebuah Harapan

176 12 0
                                    

mari berteman di ig author = @echanwifeys dm aja nanti di follback kok

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~

Know Me To Well – New Hope Club

~~~~~

“Merasa paling menderita, tapi lupa dengan realita dunia yang isinya bukan hanya kita.”

~~~~~

Ada berbagai macam karakter orang yang dapat ditebak hanya dengan tutur kata yang keluar dari bibir, semua sifat manusia dapat dilihat dari sana. Manusia yang diciptakan dengan kelebihan berbicara banyak jenis manusia yang tidak termasuk dalam kriteria seseorang yang tengah duduk merenung di tengah keramaian itu. Seharusnya ini merupakan hari bahagia untuknya karena salah satu adiknya merayakan ulang tahun, namun responnya yang biasa-biasa saja ini membuat beberapa orang mencibirnya.

“Bang Tama makan kuenya dulu daripada mubazir,” ucap seseorang menawarkan sepotong kue kepadanya.

“Gak usah Ma, abang udah kenyang.”

Tama menolak tawaran sopan dari mama sambungnya yang kedua berharap tidak menyakiti perasaannya. Mata pria itu berkeliling menatap penjuru rumah yang dihias serba merah muda hingga membuatnya geli setengah mati. Hampir setiap bulan dalam setahun selalu ada pesta ulang tahun, luar biasa bukan. Bagaimana bisa?

Tentu bisa karena anak dari tuan Waluya generasi ketiga ini berjumlah tujuh orang termasuk dirinya sebagai anak tertua. Memiliki tiga sosok ibu dalam dirinya merupakan hal yang luar biasa bukan.

“Umur segini udah punya empat Mama juga udah luar biasa Tam, semoga aja kamu gak sampai ngikutin Papa,” ucap pria itu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Abang Tama disuapin kuenya adek, abang dikasih.”

Tama menyipitkan mata tidak suka saat mama sambungnya yang keempat memaksa adiknya untuk memberikan sepotong kue, dia ini tidak suka manis. “Buat adek aja.”

“Abang gak tayang adek yah?”

Pria matang itu dengan segera mengangkat sang adik bungsu ke pangkuannya. Bukan rahasia umum jika dia tidak menyukai sosok para mama sambungnya yang bermuka dua ini namun dia begitu sayang terhadap adik-adiknya. “Eh siapa yang bilang abang gak sayang sama adek, siapa yang bilang? Bilang ke abang sini biar abang marahin,” ucapnya dengan nada amarah.

Tama mencium gemas sang adik bungsu di hadapan orang sekitar yang menganggap hubungan keluarga mereka baik-baik saja. Tentu baik-baik saja jika dilihat hanya dengan satu sisi, semua orang tidak melihat dari dua sisi.

“Keluarga Waluya begitu harmonis yah.”

Tama tersenyum kecut mendengar perkataan samar yang memasuki telinganya, terlalu banyak drama dalam keluarga ini hingga membuatnya lupa sudah memasuki eposide berapa. Ia beranjak dari halaman belakang menuju dapur dimana terdapat banyak koki yang di mana setiap koki memiliki tuannya masing-masing. Persoalan koki ini sebenarnya sudah pernah terjadi perdebatan hingga salah satu mama sambungnya berniat meninggalkan rumah.

“Nanti kalau udah pindah rumah mau punya koki berapa yah?”

“Eh emang Rani mau punya koki?”

“Eh?”

Tama meruntuki dirinya yang bagaikan ABG kasmaran begitu mengingat seseorang yang  berada di pikirannya. Entah kenapa dirinya yakin jika akan menikah dengan Rani, perempuan itu saja enggan melihat dirinya. “Mau tidak mau hanya kamu yang jadi istriku Ran.”

Bukan apa-apa saat dirinya berbicara seperti itu, ia bahkan menelusuri seluk beluk silsilah keluarga Rani yang ternyata juga old money sama seperti keluarganya. Tama sebenarnya bingung apa tujuan perempuan itu sebenarnya menyamar sebagai rakyat biasa jika saldo miliknya diatas rata-rata.

“Abang nanti mau pakai adat apa sayang?”

Eh?

Tama menyesal dengan kaget miliknya yang tidak hilang-hilang ini dan entah kenapa keluarganya justru mendukung penyakitnya. Selalu saja saat dia memikirkan sesuatu pasti ada seseorang yang merasuki pikirannya. “Adat apa?”

“Katanya Abang mau nikah, aku udah siap jadi pengiringnya loh ini.”

“Anak kecil gak perlu tahu lagipula selama bisnismu menaikkan profit hingga akhir semester di tahun ini tidak akan diberikan ijin sama Papa.”

Dua pria tampan yang tengah mengobrol tersebut tengah menjalankan bisnisnya masing-masing tentunya dari suntikan dana sang papa. Tidak ada salahnya jika kau lahir di keluarga kaya bukan?

“Umur berapa sih kamu Ni?” tanya Tama kepada adik tirinya.

“Dua tujuh aku Bang.”

“Lah udah tua aja.”

Sang lawan bicara mengerutkan kening mendengarnya. “Dih ngaca Bang kamu sendiri udah mau kepala tiga. Makanya disuruh nikah biar kualitas bibitnya gak turun, buruan nikah dah Bang habis itu aku.”

Bocil kebelet nikah,” cibir Tama.

“Setidaknya ada yang mau sama aku,” sahut Toni.

Tama menyatukan alisnya mendengar ucapan Toni, hei dia disindir oleh bocah kecil kemarin sore? “Baru satu ini yang agak susah sama abang ya Ni, selama ini kamu tahu sendiri jika semua perempuan tergila-gila padaku.”

“Iya percaya aja.”

“Si kunyuk dibilangin gak percaya aja, udah ah mau ketemu Papa.”

“Buat maksa calon istrimu ya Bang!”

Teriakan Toni menggelegar membuat beberapa pelayan yang ada disana mengikuti arah pandang, ada apa sebenarnya? “Bocil ngeselin kalau belum ditimpuk duit segepok belum diem itu.”

Tama mencibir Toni sepanjang perjalanan menuju ruangan sang Papa, ia sebenarnya hanya malu mengakui jika Rani memang belum jatuh ke dalam pesonanya. Bagaimana caranya untuk menaklukan sang perempuan? Tunggu sejak kapan dia memiliki ambisi ingin memiliki Rani?

“Aku mau nikah sama Rani, Pa.”

Seorang pria yang tengah menikmati secangkir the miliknya itu menatap sang anak sulung dengan pandangan sedikit berbeda. Sepertinya sang anak telah mendapatkan hidayah untuk melaksanakan sunah nabi yaitu menikah.

“Imam itu tipe orang yang tidak tega mengorbankan sang anak untuk dijadikan bisnis, kamu tahu sendiri Rani semandiri apa. Untuk saat ini papa tidak bisa membantumu Abang, coba kamu dekati Rani sebagaimana kamu dekati investor.”

Helaan napas terdengar jelas di ruangan itu, investor? “Rani itu gak suka uang Pa, dia beda sama investor yang haus uang.”

“Berarti cara Abang salah, udah tahu karakter Rani seperti apa?”

Tama mengangguk.

“Rani itu sama kayak Abang dari kecil udah dimanja sama uang, dari kecil juga udah diajarin gimana ngelola uang sama cari uang. Wajar bukan jika Rani tidak gila uang? Kalau Abang deketin Rani dengan iming-iming tentu Rani tidak tertarik, istilahnya Rani sudah mual melihat uang.”

“Aku mau sama Rani, Pa,” ucap Tama yakin.

“Iya Papa Tahu tapi Raninya yang gak mau sama kamu kalau sikapnya masih aja sama. Pola pendekatannya diubah Abang, masa dekatin cewe aja gak bisa. Rugi dong kuliah sampai dapet gelar master tapi dianggurin cewe.”

“Pantas saja Rani gak mau orang dia aja lagi kuliah doktor,” timpal Tama.

“Yaudahlah enaknya Abang aja gimana, Papa lama-lama kok kasihan lihat Abang. Apapun cara yang Abang lakuin bakal papa dukung, tapi ingat jangan memaksakan kehendak.”
.
.
.

STAY SAFE

janlup istirahat cantik 😗

13 May 2024

Garis LakonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang