30. Sulutan Amarah

462 19 2
                                        

mari berteman di ig author = @evrytanadha dm aja nanti di follback kok cmiww

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~

Saturn - SZA

~~~~~

“Terkadang takdir sebercanda ini, aku yang dibuat jatuh hati tetapi orang lain yang ditakdirkan untuk memiliki.”

~~~~~

Penyelesaian kasus yang tidak berujung membuat Rani hanya bisa pasrah didiamkan Tama sepanjang hari dan hampir memasuki hari kedua. Salah paham dikarenakan teman tololnya itu membuat Rani murka. Menenangkan Tama bahkan lebih susah dari menenangkan balita tantrum, ya walaupun Tama tidak tantrum namun sikapnya yang berubah total membuatnya takut.

Takut nyawanya akan terancam seperti beberapa minggu yang lain.

“Mas minta uang cash tiga ratus ada?”

Rani mengangguk dengan cepat mendengarkan pertanyaan Tama, ia segera mengeluarkan uang merah itu dan diberikan kepada sang suami. “Cukup? Aku tambahin lagi kalau kurang.”

Melihat gelengan singkat dari suaminya membuat Rani memajukan bibir ke depan, pria ini sepertinya masih marah. Beruntung kata non baku seperti penyebutan nama masih menggunakan embel-embel Mas, bukan lo atau gue. Rani yakin jika ucapannya lo gue yang keluar dari bibir Tama maka pria itu marah stadium dua.

“Nanti sore sekitar jam tiga jangan keluar rumah, kamu ikut mas cari barang buat isi rumah.”

“Aku nanti sore mau keluar, Mas.”

Tama menyatukan alis tidak suka mendengar itu. “Ke mana? Mau ketemu Deva? Kok gak ijin?”

“Engga ketemu Deva, mau jengukin Papa udah lumayan lama gak ketemu Papa. Habis ini aku ijin tapi keduluan Mas, beli barangnya besok bisa?” tawar Rani mengganti jadwal mencari furniture rumah.

“Besok mas ada dinner sama pemegang saham, bukannya besok kamu juga ada jadwal checking stok di gudang sama anak-anak?”

Rani menggigit bibir bawah melupakan jadwalnya sendiri, ia merasa tidak enak jika harus membuat Tama menunggu lama. Namun apa yang bisa dilakukan saat ini jika jadwal mereka bentrok, lagipula kenapa buru-buru beli furniture jika belum tahu apa yang harus dibeli?

“Mas udah ada tujuan mau beli apa? Atau sekalian di list aja barang-barang urgent yang sekarang belum ada,” ucap Rani memberi saran.

“Mas memang sengaja ngosongin rumah biar kamu yang beli barang-barang, sayang. Yaudah kalau gak mau beli biar kosongan aja rumahnya kayak rumah gak ada penghuninya.” Tama berucap pedas dan melangkahkan kaki meninggalkan kamar, membahas ini saja sudah membuatnya naik darah.
Sosok istri yang melihat kejadian itu semua hanya bisa diam mengikuti langkah kaki Tama dari belakang. Perempuan itu juga bingung seolah semua yang dia katakan salah di mata sang suami.

“Aku bukannya gak mau beli barang buat ngisi rumah ini Mas, kamu juga tahu kan Mas ada beberapa titik yang semennya gak rata. Udah aku tandain semua ini ke pihak kontraktornya, aku pengennya kalau ini udah dibenerin baru kita ngisi rumahnya. Yaudah habis ini aku langsung nemuin Papa, nanti sore langsung jemput di rumah Papa bisa?” tanya Rani singkat setelah menjelaskan isi hatinya secara detail.

Jika ada nominasi istri tersabar di daerah Jabodetabek maka dirinya sangat layak menjadi juara satu. Jangankan di Jabodetabek jangkauannya, di perumahan ini saja dia sudah mendapat juara satu. Komplek perumahan sepi penduduk yang di idamkan kaum introvet sepertinya, jangankan tetangga yang bisa di sapa. Bertemu dengan seseorang saja sudah menjadi keberuntungan baginya.

“Aku tanya Mas bisa jemput?” tanya Rani sekali lagi.

Tama mengangguk, pria itu masih memasang wajah datar namun tidak melupakan kesehariannya mengonsumsi sarapan pagi.

“Aku kira gak bakal ada morning kiss,” ucap Rani pelan melihat sang suami mendekatkan wajah ke arahnya.

“Cerewet.”

Setelah mengatakan itu Tama mengangkat wajah Rani dan menyambar bibir sang istri dengan intens. Ia menggeram dengan kesal saat Rani menyudahi kegiatan mereka, berani sekali perempuan ini melawan dirinya?

“Udah Mas ada mbak yang lagi jalan itu.”

Tama mengikuti arah pandang sang istri dimana ada dua orang perempuan yang satu duduk di kursi roda dan yang satunya mendorong kursi. Mungkin pembantu baru di sini? “Mungkin pembantu yang, mas berangkat dulu ya assalamualaikum.”

“Eh iya waalaikumsalam,” ucap Rani kaget karena suaminya itu kembali mencuri satu ciuman singkat di bibirnya.

Rani memperhatikan mobil mewah suaminya hingga menghilang dari jangkauan matanya, namun bukan itu yang menjadi fokus utamanya saat ini melainkan sosok perempuan muda nan cantik itu. Kenapa mata perempuan mengikuti arah perginya mobil sang suami?

“Wah bahaya ini bibit-bibit pelakor.”

Pikiran buruk yang berkelana di otaknya membuat Rani menggelengkan dengan cepat, ia berisigtiqfar menghilangkan pikiran itu. Ah mungkin saja hanya terpesona dengan suaminya, secara kan suaminya tampan. “Ah daripada lo negatif thinking ke orang itu mending balik ke orang tua lo aja, Ran.”

Mematikan semua lampu yang ada dan memeriksa semua jendela maupun pintu terkunci, Rani bergegas ke arah mobilnya dan bersiap pergi. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memanaskan mobil karena sudah disiapkan sang suami, pria itu selalu memanasi kedua mobil di pagi hari saat dia tengah memasak. Entah mobil yang satunya dipakai atau tidak yang terpenting sudah siap digunakan.

Assalamualaikum Papa,” ucapnya memasuki rumah.

Langkah kaki Rani berhenti saat melihat kedua orang yang dia kenali tengah duduk berdua dengan salah satu dari mereka babak belur. Rani menyatukan alis bingung dan bertanya ada apa di sini?

“Ada apa, Pa?”

Rani mendudukan diri di samping Imam dan menggenggam tangan sang papa dengan erat berharap amarah yang ada di dada dapat lebur. Kehadirannya ini dirasa juga tepat waktu, jika dia telat sedikit saja maka sudah dipastikan pemuda di depannya ini akan mengamuk tidak karuan.

“Habis ngapain dia, Pa?”

Imam menghela napas atas kelakuan anak laki-lakinya, memang pada dasarnya Reno selalu membuat ulah sejak dulu. “Papa udah bosen buat marahin adekmu, Kakak aja yang urus dia.”

“Kakak tanya aja ke Papa dia kenapa, lagian kalau kakak yang tanya juga gak bakal di jawab.”

“Berantem gara-gara cewe, kasih paham ke dia Kak harus gimana kedepannya.”

Rani mengamati sang papa yang mengotak-atik ponselnya sibuk mungkin sedang berbicara dengan keluarga korban. Pandangannya beralih ke arah Reno yang memandangnya datar. “Apa lo lihat-lihat? Udah keren lo kayak gini hah? Bocil kemarin sore begayaan ngajak adu duel orang lain, udah keren lo kayak begitu?”

“Gak usah ikut campur lo, sok care ke gue gak bakal ngubah pandangan gue ke lo tau gak?”

Perempuan itu mengangkat bahu ke atas mendengar itu, laki-laki ini sepertinya tidak pernah berkaca. “Orang yang gak pernah mawas diri tuh kayak lo.”

“Baru jadi istri direktur udah sombong, inget gak lo siapa yang jilat ludah sendiri? Gak malu lo jilat ludah sendiri, paling juga gak lama udah punya madu.”
.
.
.

STAY SAFE

9 July 2024

Garis LakonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang