39. Masalah

120 11 2
                                    

mari berteman di ig author = @evrytanadha dm aja nanti di follback kok cmiww

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~

Tampar – Juicy Luicy

~~~~~

“Kepada perpisahan, terimakasih telah mengajarkanku cara mengikhlaskan.”

~~~~~

“Kegaduhan apalagi yang kamu buat kali ini?”

Pertanyaan sarkas menyambut kedatangan Rani pada rumah di Bandung yang sudah lama tidak dia kunjungi. Siapa sangka dengan perut besar itu dia masih bisa mengemudikan mobil 4 x 4 miliknya yang sudah lama menganggur. Entah hal apa lagi yang akan dia terima jika antek-antek dari suaminya mengetahui hal ini.

“Papa kok gak manggil kakak sih, jangan bilang Papa ikutan marah?” tanyanya santai.

“Papa tahu kamu itu mandiri, tapi gak semua hal kamu lakuin sendiri. Papa gak akan ikut campur urusan rumah tangga kalian, tapi papa akan ikut campur jika keselamatan cucu pertama papa dipertaruhkan.”

“Papa jangan berlebihan juga deh, kakak loh cuma minta keluar lihat suasana bumi seperti apa. Kakak gak pengen jadi perhatian banyak orang yang pakai bodyguard Pa, kakak malu. Masa mau ngomong sama buyer aja pakai ditungguin? Kakak pengen cari suasana baru waktu ngomong sama buyer Pa, enggak bakalan juga ada sesuatu yang terjadi ke kakak.”

Rani berucap panjang lebar sembari merebahkan punggungnya di sandaran sofa empuk, makhluk kecil di dalam perut ini sudah mulai menyusahkannya.

“Kita gak tahu ada hal luar biasa yang bisa menimpa kita Kak, papa rasa Tama sudah benar jika harus memperhatikanmu setiap waktu. Dan juga papa yakin kamu menyetir sendiri?” tanya Imam penuh rasa cemas terhadap anaknya.

Tidak adanya respon berarti dari sang anak membuat Imam hanya bisa menghembuskna napas lelah. Dia kali ini rela melihat anaknya dimarahi sang menantu di depan matanya sendiri.

“Suamimu itu diretur Kak, banyak hal yang harus dia lakukan dalam satu hari. Papa mohon nurut aja apa kata Tama, toh kamu juga bakalan enak sendiri kalau udah nurut.”

“Papa tahu jika kakak tipe orang yang tidak bisa diatur, lagipula kakak hanya menyetir mobil bukan lompat dari gedung utama Waluya Enterprise,” sanggah Rani tidak terima.

“Tama tidak memiliki banyak waktu hanya untuk meladeni sikap kekanakan milikmu ini Kak. Papa minta tolong jangan menambah beban pikiran menantu papa, untuk kali ini papa memihak kepada Tama. Jika papa berada di posisi Tama, papa juga akan melakukan hal yang sama denganmu.”

Imam berucap dengan sirat kecewa teramat dalam kepada putri sulungnya, meninggalkan perempuan berbadan dua itu sendiri di ruang tamu. Biarlah anaknya itu merenungkan perbuatannya sejenak, terlalu membakang terhadap suami juga tidak baik.
Sedangkan Rani menghembuskan napasnya sejenak, mengusap perut besarnya secara teratur saat merasakan tendangan kencang dari dalam sana. “Adek setuju sama yang di ucapin Opa tadi hm?”

Sang anak kembali menendang.

“Emh jadi Adek setuju sama ucapan Papi yang gak ngebolehin kita keluar?”

Sang anak kembali menendang, namun kali ini begitu kencang hingga membuatnya meringis kesakitan. “Huft dasar anak Papi,” ejeknya kepada sang anak.

Entah sejak kapan kemistri anak dan ayah itu begitu kental hingga akhir di kehamilannya yang tua ini. Suaminya tidak akan bisa tidur lelap jika tidak berkomunikasi dengan sang jabang bayi, bahkan dirinya pernah memergoki Tama masih berbicara di depan perutnya di jam setengah dua pagi. Saat dia tanya kenapa belum tidur, sang suami hanya menjawab masih ingin berbicara dengan anaknya.

Sedangkan sang anak tidak akan bisa diam jika belum merasakan usapan sang Papi sepanjang malam. Bisa dibayangkan sedekat apa hubungan kedua pria ini setelah pria kecil ini menghirup oksigen di dunia, sepertinya dirinya akan tersingkir.

“Mami capek Dek, kamu jangan nendang terus ih mami ngantuk,” ucap Rani setengah sadar saat kantuk mulai menyerangnya.

“Ssshhh adek jangan nak- eh?”

Kesadaran Rani seketika pulih seratus persen saat tubuhnya melayang diangkat oleh seseorang, namun ia kembali menutup mata saat melihat siapa pelaku yang tengah menggedongnya. Seseorang yang digadang-gadang oleh sang papa akhirnya sampai juga, dimana Tuan Imam tadi? Iniloh menantu kesayangannya sudah sampai.

“Minta tolong bukain pintunya, sayang.”

Rani diam, namun tak ayal melakukan hal yang diperintahkan sang suami. Keterdiamannya itu bertahan lama hingga dia diturunkan di atas ranjang kamar tamu lantai satu, sudah pasti dia tidak diperbolehkan menaiki ataupun menuruni tangga.

“Tunggu sebentar disini ya sayang, mas mau ketemu Papa.”

Tama meninggalkan satu kecupan sayang di atas kepala Rani, keluar kamar dan bertemu dengan sang mertua yang menyapanya di depan teras vila. Rani melihat perilaku Tama yang seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya, pria itu mencurigakan.

“Ssshhh Dek Adek, iya-iya iniloh Papi. Kamu ini baru dipegang Papi udah seneng banget, mentang-mentang punya Papi,” gerutu Rani tidak suka terhadap respon berlebih yang ditunjukkan calon anaknya.

“Mas bawain air dingin sama sosis kesukaan sayang, udah mas angetin sekalian tadi.”

Tama memberikan sebotol air dingin dan juga piring berisikan tiga sosis isi keju kesukaan sang istri. Ia berinisiatif memijat kaki bengkak Rani yang sudah sangat terlihat jelas. “Mas minta maaf udah bikin kamu terkekang di rumah sendiri, mas tidak menyadarinya.”

Rani hanya melirik Tama lewat ujung mata, ia fokus mengunyah sosis kesukannya itu tanpa memandang sang suami berlebihan. Dia tidak akan luluh semudah itu bahkan jika disogok uang satu milyar.

“Sayang capek? Atau kakinya perih?”

Rani menggeleng.

“Ada yang pengen di makan lagi?”

Rani kembali menggeleng, Tama memperhatikan itu semua. Pandangannya beralih ke arah tangan Rani yang senantiasa mengusap perut buncit itu. “Mas dapat bonus dari Papa karena udah fix bikin kerjasama dengan PT dari China, Mas kirim ke rekeningnya sayang ya.”

Setelah mengucapkan itu dengan segera Tama mengotak-atik ponsel mahalnya, menunjukkan layar berisikan nominal uang yang di transfer ke rekening sang istri. “Sayang coba lihat dulu,” ucapnya penuh tekanan.

Rani dengan malas melihatnya, sedetik kemudian dia melototkan mata melihat jumlah angka nol yang masuk ke saldonya. Keterkejutannya itu membuatnya tidak sadar jika sang suami sudah beringsut mendekat ke arahnya.

“Mas mau usap perutnya.”

“Uang satu milyar kayak gak ada apa-apanya di mata kamu, Mas.”

Bukannya merespon ucapan Tama, Rani justru bertanya mengenai nominal uang tadi. Sama seperti respon Rani, Tama kali ini justru membuka kemeja yang dikenakan sang istri dan menyisakan dua kancing di atas menutup dada.

“Maafin mas ya?” tanya Tama sekali lagi.

Rani yang masih mengunyah sosis membuatnya harus menghentikan kegiatan, menganggukkan kepala sejenak dan mengusap surai hitam Tama lembut. Dia seolah menjilat ludah sendiri karena begitu mudah memaafkan Tama. Pria ini pintar merayu saudara-saudara.

“Mas mau cium sayang,” ucap Tama tiba-tiba setelah sekian lama hanya diam mengusap perut buncit sang istri. Rani yang tengah melihat animasi anak-anak di layar ponsel sang suami turut menundukkan kepala mencoba mencerna.

“Gak ada cium, aku lagi makan.”

“Kamu udah gak sayang mas ya?”

“Allah…..” Rani berucap lelah tak berdaya mendengar pertanyaan random dari suaminya. Tabahkannlah dia dalam segala hal yang berurusan dengan rumah tangga ini Tuhan, bantulah dirinya ini.
.
.
.

STAY SAFE

draf 3 Oktober 2024
published 6 Oktober 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garis LakonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang