36. Berbagi

216 12 2
                                    

mari berteman di ig author = @evrytanadha dm aja nanti di follback kok cmiww

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~

Gala Bunga Matahari – Sal Priadi

~~~~~

“Jangan takut jadi yang berbeda, ingat elang terbang sendiri sedangkan angsa berkelompok.”

~~~~~

“Ini ada acara apa sih kok kantor hari ini banyak manusia?”

“Lah gak tahu gue juga baru sampai, coba dah tanya yang lain.”

Kedua perempuan itu bergegas masuk menanyakan hal cukup mengejutkan ini ke karyawan yang lain. Tidak biasanya kantor introvert ini dipenuhi banyak manusia di dalamnya. “Mbak permisi mau tanya, kantor ini ada acara apa? Kenapa kita gak dikasih tahu kalau ada acara peresmian?” tanya salah satu dari dua orang itu kepada karyawan lain.

“Gak ada acara apa-apa, itu istri si bos hamil makanya ada syukuran.”

“Syukuran dengan?”

Catering di atas ada lima ratus porsi, kalau sisa katanya sih boleh di bungkus. Sama kulkas minuman di isi ulang sama si bos, syukur dah ada cemilan kalau lagi stress.”

“Bisa baik juga tuh orang, padahal kemarin baru aja mecat karyawan.”

Teman yang lain menimpali. “Heh gak jadi dipecat cuy, gue denger kabarnya dipindah di cabang Bandung.”

Berbagai pembicaraan buruk dan baik tengah diperbincangkan diantara karyawan yang ada, sosok dingin sang bos bisa luluh dengan cepat karena berita bahagia. Ini hanya berita kehamilan, bagaimana jika diketahui bahwa anak yang dikandung istrinya tadi bejenis kelamin laki-laki? Bisa libur sehari kantor megah ini, jelas karena anak laki-laki selalu spesial.

“Gue hari ini pengen pulang cepet San, ada santunan anak panti di rumah gue.”

Sanny sang sekretaris mengangguk paham, ia tidak lupa mampir ke kediaman sang bos beserta anaknya untuk berkunjung. Jelas dia akan mampir jika diundang, jika tidak maka dia juga tidak berani datang tanpa undangan.

“Baik Pak, jadwal hari ini sudah selesai semua. Saya hanya tanya mengenai karyawan kemarin mau ditempatkan di posisi apa?”

“Hal sepele kayak gini masa harus laporan ke gue San? Berapa lama kerja di kantor Papa? Perlu ditanyain? Jadiin satpam juga bisa, hal sepele pakai ditanyain,” gerutu Tama memasuki mobil.

Tama tidak peduli dengan wajah Sanny yang ditekuk malas, lagipula perempuan itu seperti tidak tahu sifatnya saja. Ini hari baik, tidak mungkin dia pulang dengan wajah kesal seperti ini. Ia harus menghilangkan itu semua karena akan menjadi seorang ayah, dia harus dewasa.

Papa dan ketiga mamanya dia undang untuk pengajian ini, masalah datang atau tidaknya itu sudah bukan urusannya. Setidaknya dia masih menempatkan posisi orang tua sebagaimana mestinya, dia tahu akan hal itu.

Assalamualaikum sayang.”

Kedatangannya disambut baik oleh Rani yang tengah menata karpet di ruang tamu yang besar ini, jika dia lihat semua sofa sudah dipindahkan ke tepi. Tunggu bukan Rani yang mengangkat sofa itu semua bukan?

Waalaikumsalam, Mas,” ucap Rani menyalami Tama. Baru saja sang suami akan berbicara, dia segera menyela dan mengangkat jari telunjuknya. “Bukan, bukan aku yang mindah sofanya. Tadi yang mindahin sofa Papa sama adik Mas yang keempat siapa namanya, Tino? Toni? Aduh aku lupa namanya.”

Tama bernapas lega, ia mengusap perut sang istri dan segera ke atas membersihkan diri. Rani yang melihat kejadian itu hanya bisa diam termenung. “Ini beneran aku dianggurin?” tanyanya saat tidak mendapat kecupan manis di kening.

Rani mengangkat bahu melupakan kejadian itu, ia bergabung bersama sang papa yang duduk manis tengah bercengkrama dengan ibu mertuanya yang nomer dua kalau tidak salah. Jujur dia agak bingung dengan ibu mertua nomer dua dan tiga, wajahnya mirip.

“Oh berarti Tino ini yang paling tinggi diantaranya saudaranya yang lain?” tanya Imam cukup kagum melihat anak muda yang tinggi sekali.

“Memang sedari kecil Tino les renang Pak Imam, jadi anak ini paling beda sama saudaranya yang lain. Udah tinggi paling item lagi, itemnya kebanyakan di air haha….”

Rani ikut berbincang diantara mereka, bercerita apa saja masalah utama yang membuat kehamilannya ini terasa begitu sulit. Jika dulu dia bersikukuh memasak, saat ini sepertinya tidak bisa karena mual. Bau menyengat dapat membuatnya muat, bahwa bau sambal yang digoreng saja membuatnya muntah hingga lemas tak berdaya.

Perempuan itu meminta izin kepada sang suami ingin mengadakan pengajian untuk menembus dosa karena sudah lama tidak bersedekah. Walaupun ini hanya bawaan hamil, namun dia yakin dia berbagi ke sesama mualnya ini bisa hilang. Cukup kasian juga melihat Tama menjaga jarak dengan dirinya.

“Anak-anak kecil ini kok diem semua ya Pa? Biasanya kan anak kecil lari-larian, kenapa mereka diam?” tanya Rani kepada sang Papa saat melihat keterdiaman anak kecil yang bisa dibilang cukup banyak ini.

Bahkan selama acara doa bersama berjalan, tidak ada diantara mereka yang menangis. Justru dirinya yang menangis, ia menangis menyaksikan betapa sopannya anak-anak ini saat mengambil makanan di depan mereka. Menunduk terlebih dahulu, mengucapkan terimakasih saat mendapat uang pesangon, dan selalu tersenyum manis.

Rani tidak bisa melihat ini, dia begitu rapuh melihat ini semua. Anak-anak ini dipaksa dewasa oleh keadaan yang ada, seharusnya mereka bisa mengekspresikan diri dengan bebas sesuai dengan umur mereka. Memang benar adanya dunia itu tidak adil, ia melihatnya saat ini.

“Sayang kenapa nangis? Perutnya sakit? Pusing? Atau pengen muntah tapi gak bisa? Kenapa sayang?”
Rani mengusap air matanya pelan, menggeleng mendengar pertanyaan khawatir dari Tama. “Gak papa Mas, cuma kebawa suasana aja lihat tadi.”

“Beneran?”

Rani mengangguk. Ia menyenderkan tubuhnya dan mulai melihat desain rumah susun yang pas untuk dia bangun di panti itu. Melihat tempat tinggal anak-anak itu yang terbilang tidak layak semakin membuat dirinya merasa bersalah, besok dia akan mengajukan rencana pembangunan bertahap panti itu dengan dana pribadinya. Tentu dengan izin Tama, ia sudah meminta izin.

“Sayang.”

“Hm?” Rani mengangkat wajah melihat sang suami berdiri di ujung ranjang dengan memegang sebuah handuk di tangan. “Mas tadi belum mandi?”

“Mas udah mandi, tapi mas mau mandi lagi biar sayang gak kebauan.”

“Loh engga bau, Mas itu gak bau cuma aromanya Mas yang bikin aku mual. Jangan seperti ini Mas, aku merasa berdosa banget lihat Mas kayak gini,” ucap Rani merasa bersalah.

“Emhh gini deh coba Mas mandi pakai body wash punyaku aja, sama habis mandi jangan pakai deodorant.”

Rani menatap kepergian Tama dengan perasaan aneh, pria memiliki banyak topeng jika menginginkan sesuatu. Bahkan keluar mandi lebih cepat dari yang dia bayangkan. Memakain celana dalam tanpa atasan, sudah tidak ada rasa malu bagi pria ini.

“Mas lagi pengen yah, pantes tamunya diusir lebih cepat.”
.
.
.

STAY SAFE

e

khem Jumat nih 🌚

16 August 2024

Garis LakonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang