21. Pertanda

141 13 0
                                    

mari berteman di ig author = @echanwifeys dm aja nanti di follback kok

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~

Pengangguran - Masdhoo

~~~~~

“Jangan mudah menyimpulkan situasi karena apa yang kamu bayangkan dan pikirkan tidak semuanya benar.”

~~~~~

Terlalu menjunjung tinggi integritas dan mengorbankan ego juga merupakan hal yang salah, menjaga nama baik bisa saja dia lakukan namun dengan menyiksa batinnya sendiri itu yang susah. Menahan nafsu dengan lawan jenis yang tinggal seatap memanglah mudah, namun ia salah karena menjawab tantangan Rani untuk menangkap kelinci.

“Hewan selucu itu mau kamu makan?” tanyanya tidak percaya.

“Iya.”

“Kamu udah gila?”

Pertanyaan sarkas yang menghampiri perempuan cantik itu membuat dia tidak nyaman, kasar sekali pria di depannya ini.

“Memang ada masalah apa? Kata orang kita harus menyambut tamu dengan baik kan yaudah aku buatin sate kelinci sama rica-rica kelinci buat sampean Mas Tama.”

Rani mengusap kelinci yang berada di gendongannya dengan penuh kasih sayang, sesekali dia menciumnya. “Kalau Mas gak mau bantu yaudah minta tolong hubungin Bi Ijah buat bantu mengangin kelincinya, daripada makin siang gak sarapan. Nanti Mas Tama sakit, kan jam tujuh tepat biasanya makanan udah ready.”

Rani menekankan kata ready di akhir kalimat sebagai penanda jika dirinya ingin segera dibantu, membuat sate tidak semudah itu cuy. Belum merebus kelincinya, mencabut bulunya, memarinasi kelincinya, menusukkannya di sate, membuat bumbu bakar dan lain sebagainya.

“Tuhkan-tuhkan disuruh bantuin malah angkat telfon yang lain, urusan bisnis lah itu,” cibirnya melihat Tama yang berlalu pergi mengangkat telfon.

“Oke emang baguslah lu kerjain aja semua sendiri.”
Pria memang tidak bisa diandalkan.

Rani memustuskan membuat bumbu bakarnya sendiri, berkutat sejam penuh di dalam dapur yang terkesan dingin. Memang dingin karena cuaca di sekitar mengalahkan segalanya, sedingin sikap pria bersaldo milyaran tadi. Rani sendiri menduga bahwa Tama lebih kaya dari yang dia bayangkan.

“Ran.”

“Rani.”

Alis Rani menyatu mendengar namanya yang dipanggil tidak sabaran, ada apa sebenarnya disini. “Di dapur,” ucap Rani sekenanya.

“Mas udah pesan catering jadi kamu gak usah masak.”

Kegiatan Rani yang memagang daging di atas telfon panggangan berhenti sejenak dan menatap pria di depannya. “Oh iya Mas makan aja aku mau makan sate. Lagian ini juga sate ayam Mas, tuh kelincinya masih lari-lari di depan tuh.”

“Kamu ini gimana sih kok gak pernah denger ucapan mas? Jadi sia-sia kan mas pesan catering.” Tama berucap dengan amarah yang tidak bisa dikontrol, pria itu kecewa dengan sikap Rani yang acuh tak acuh.

“Kalah tender ya Mas? Bawaannya pengen makan orang kayaknya,” cibir Rani.

“Kalau gak tahu apa-apa mending diem!”

Tama tanpa sadar menaikkan intonasi suaranya, yang membuatnya tersadar dan ingin segera meminta maaf kepada Rani. Niat itu dia urungkan saat mendengar perempuan berbicara.

“Sama aku juga gak tahu apa-apa kalau Mas pesen catering, kalau dari awal Mas bilang udah mesen makanan yaudah aku juga gak masak toh. Gak papa lagian uang catering juga gak seberapa kan buat Mas, kan u- nah itu udah dateng kayaknya,” Rani menjeda ucapannya saat mendengar bel pintu rumah, yang kemungkinan besar catering yang dibicarakan Tama telah sampai.

Keterdiaman Tama membuat Rani berbalik arah menghadap pria itu, pria yang menatapnya dengan rasa kesal yang begtu terlihat di matanya.

“Itu diambil dulu makananmu Mas, kasihan yang nganter udah nunggu lama.”

Rani menatap kepergian Tama dengan mata memicing tidak suka, pria itu memang tidak bisa ditebak. Saat mendengar percakapan yang aneh di pintu utama itu membuatnya segera menyusul Tama.

“Dengan Bapak Tama?”

“Buang aja makanannya Teh, udah saya transfer kan uangnya tadi?”

“I-Iya sudah Aa, ta-tapi kenapa atuh dibuang?”

“Udah pokok buang aja.”

“Buang ke perut maksudnya Teh, makasih yah udah dianter. Teteh hati-hati di jalan, semangat bisnisnya Teh.” Rani berucap dengan menerima satu kresek besar lauk di dalam sana, ia yakin nasi juga ada di dalam kresek merah ini.

“Ngapain diterima, kamu kan gak mau makan.”

“Buat nanti malem masih bisa.”

“Aku gak sudi makan makanan dingin.”

Rani menaikkan bahunya ke atas tidak peduli, lagi pula siapa yang ingi melayani putra mahkota di gubuk reyotnya ini. “Yaudah aku aja yang makan, Mas Tama bisa mesen makanan lagi. Mas masih punya uang kan? Atau mau pinjem uangku dulu?” tawar Rani.

“Kita memang tidak cocok,” ucap Tama secara tiba-tiba, pria itu menatap kecewa perempuan di depannya. Pikirannya dengan pikiran Rani tidak pernah berjalan dengan baik dan lancar, membuatnya ragu apakah Rani pantas menjadi istrinya.

“Gak ada yang bilang kita itu cocok Mas, Mas aja yang terlalu maksain diri  buat ini semua. Lagian gak harus aku juga kan? Aku yakin temen cewe Mas banyak entah dari temen sekolah, temen bisnis, ataupun temen judi eh maksudnya temen main.”

“Mas itu intinya pengen nikah, gak jadi sama aku cari si A, si A gak mau ganti si B. Gitu terus siklus Mas sekarang, Mas dikejar umur makanya ngebet nikah. Ingat Mas cinta tidak bisa dipaksakan.”

Tama tersenyum kecut mendengar segala ceramah Rani yang ditujukan kepadanya.

“Gak usah sok tahu deh Ran, mas yang lebih ngerti diri mas dari pada kamu.”

“Tipe orang sombong adalah tidak mau dinasehati.”

Lagi-lagi Tama tersenyum, pria itu mengeluarkan kartu debit miliknya yang berwarna hitam di hadapan Rani yang tengah menata makanan. “Tiga tuju enam empat sembilan satu, kamu boleh pakai sepuasnya.”

“Eh apa ini?”

Tama mengeluarkan lagi kartu debit miliknya yang lain. “Dua enam lima sembilan delapan tiga, buat modal usaha.”

“Loh ga bahaya ta?”

Tama kembali merogoh saku celananya dan kali ini mengeluarkan sebuah kunci mobil. “Mobil ini mas sengaja beli buat kamu, STNK sama BPKB masih diurus dan kamu juga jangan lupa dateng buat tanda tangan semua berkasnya. Mas beli atas nama kamu, dipakai mobilnya kalau gak dipakai bakal mas buang di pinggir jalan.”

Masih dengan rasa keterjutannya yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, Rani menatap tida benda di samping sate ayam yang dia buat itu dengan tidak percaya. “Katanya gak cocok kok malah nyogok?” tanyanya dengan heran.

Membelot dengan apa yang dia tanyakan, Tama justru pamit pergi dengan senyuman yang dia percaya akan ada hal tak terduga akan segera terjadi. “Loh Mas ini kuncinya kok gak dibawa terus kamu pulang pakai apa Mas…..”

Teriakan panjang Rani menggema di lantai bawah villa yang dia huni, langkah kakinya kepayahan mengejar Tama yang sudah masuk ke dalam mobil hitam misterius yang tiba-tiba saja ada dan membawa pria itu pergi. Kemana Tama?
.
.
.

STAY SAFE

love u all maap ya bru blik soalnya kmrn nyusul papi ten dulu ke thailand hehe

6 June 2024

Garis LakonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang