3. Manusia Juga Bisa Dilema

204 18 2
                                    

jangan lupa pencet bintang yah

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~~

Drunk Text  - Henry Moodie

~~~~~

“Ingatlah kawan bahwa siapapun bisa jadi apapun.”

~~~~~

J

ika kau menginginkan sesuatu harus diupayakan bukan hanya sekedar diharapkan, maka teruslah berusaha. Kegagalan adalah salah satu proses menuju kesuksesan, sedangkan konsisten adalah suatu bentuk komitmen yang harus dijalani untuk mencapai tujuan. Sebenarnya tidak ada kata menyerah di kamus Rani karena perempuan itu yakin bahwa segala hal yang ada di dunia ini bisa diusahakan jika serius.

“Aduh Rani si culun nyari orang buat pura-pura jadi calon lo sendiri aja susah banget si Ran, mau ngomong apa di depan Papa coba? Belum apa-apa masa udah AFK aja sih lo Ran,” ujar Rani kepada dirinya sendiri di depan cermin.

Perempuan yang tengah bersiap diri untuk berangkat kerja mengurungkan diri untuk bertemu sang papa di meja makan nanti. Minggu ini adalah minggu terakhir baginya untuk mencari sang dambaan hati namun apa bisa dibuat jika hingga saat ini pangerannya itu benar-benar tidak menampakkan diri sama sekali.

“Oke Ran lo harus bersikap biasa aja di depan Papa, buat Papa yakin sama lo kalau calon yang lo pilih sendiri masih on the way dari kayangan.”

Rani sendiri juga meruntuki kesalahannya saat dulu pernah ditanya kapan mau menikah, bodohnya Rani dia bilang jika “Papa atur saja” tiga kata sakral yang membuatnya dilema hingga nafsu makannya berkurang. Ia pikir jodoh akan datang sendiri seiring dengan berjalannya waktu, namun sepertinya dia salah karena doa sang ayah lebih kuat daripada doanya sendiri yang bertarung di atas langit.

Dulu dia yang menantang namun sekarang dia sendiri yang ciut menerima kenyataan pernikahan di depan mata. Tapi bukankah ini terlalu cepat untuk dirinya? Bukankah ini terlalu mengada-ngada? Ini sangat tidak adil untuk dirinya karena dia tengah semangat mengejar karirnya, karena sekarang ada mas golden age bagi karirnya.

“Emang lo sendiri juga salah Ran, lagian si papa yang prefectsionist gitu pakai lo tantang segala. Giliran kayak lo sendiri yang susah kan, ah lo juga sih Ran pakai nantangin segala…..” ucap Rani frustasi dengan meremas bantal kecil di pangkuannya.

Daripada di dalam kamar dia semakin stress, Rani memutuskan melangkahkan kaki menuju meja makan, tersenyumm terhadap bibi yang menyiapkan makanan bagi mereka semua. ”Makasih ya Bi.”

“Wih si Kakak seger banget kelihatannya, habis nerima gajian yang nggak seberapa itu ya?” tanya Reno penuh semangat terhadap kakaknya.

Rani memicingkan mata melihat Reno, adiknya itu memang suka sekali memancing amarahnya. “Gaji kecil nggak papa yang penting nggak minta ke orang tua.”

“Dih baperan amat lo Kak, santai aja kali.”

“Lo yang baperan tau nggak, dikira nyari kerjaan enak seenak nyari kutu rambut? Susah cuy, masih mending kakak kasih uang jajan lo Ren.”

“Iya-iya nyenggolnya langsung uang jajan, suren deh suren.”

Rani berjalan ke arah Reno dan langsung mencubit pinggang remaja tampan itu, perbuatan adalah ketika bermain-main dengannya. “Rasain lo bocil kematian, lupa sama kakak yang nyebokin lo dulu siapa hah?”

“Aduhh…. Ampun Kak, ampun…..” ucap Reno dengan mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Sosok orang tua dari kedua anak itu hanya diam menyaksikan keduanya berdebat, acara sarapan pagi yang senantiasa seperti ini membuatnya sudah terbiasa. “Ini ngobrolnya udah belum, papa udah laper ini.”

“Eh Papa makan duluan atuh Pa, monggo.”

Rani mengambilkan nasi kepada sang papa, mempersilahkan sang papa untuk menyantap sarapannya terlebih dahulu. Ketiganya makan dengan tenang sesekali bertanya tentang kehidupan sehari-hari mereka.

“Papa nikah lagi juga boleh daripada Papa kesepian di rumah.”

Ucapan tiba-tiba dari sang anak sulung membuat pria parubaya tersebut tersedak, menatap tak percaya kepada sang anak. Ia hanya menggeleng sejenak dan melanjutkan makanan di depannya. Setelah ketiganya menyelesaikan makanan barulah dia memulai pembicaraan.

“Papa nyuruh kamu nikah Kak, bukan papa yang mau nikah.”

Rani menghela nafas lelah mendengar ini semua, usianya baru 24 tahun dan sudah dituntut menikah? Ah ayolah dia hanya ingin menikah di waktu yang tepat dan dengan kesiapan mental yang matang.

“Papa tahu kamu kayak gimana Kak, papa tahu karakter kamu. Papa tahu kamu makan aja pilih-pilih, di coba ketemu dulu, kenalan, kalau emang cocok kenapa enggak?’

Rani terduduk lesu bersandar di punggung kursi.

“Papa sayang kamu Kak, papa nggak sembarang milih orang buat calon kamu. Kenapa nggak dicoba sih dulu, papa tahu dia orangnya baik banget.”

Rani masih diam.

“Hahaha Kakak kayak makanan tester aja harus dicoba dulu.”

“Diam kamu, Dek.”

Reno ikut menghembuskan napas lelah, sepertinya apa saja yang dia lakukan selalu salah di mata papanya. Bahkan bernapas saja sepertinya sudah salah.

“Kakak tuh masih terlalu muda Pa, masih banyak pencapaian yang ingin kakak raih Pa. Papa kan tahu status pernikahan juga ngaruh ke promosi jabatan, apalagi aku perempuan makin susah, Pa.”

“Katanya kamu buka resto, modal kamu udah lebih dari cukup loh Kak. Papa dukung setiap progres kamu Kak, lagipula papa lebih setuju kamu terjun ke dunia kuliner daripada harus liat laptop seharian penuh. Adek bakal bantu Kakak kan?”

Reno yang sedari tadi memakan kacang polong mengangguk dengan semangat saat namanya disebut, padahal dia sendiri tidak yakin apa yang dikatakan sang papa tadi. Lebih baik mengangguk daripada menggeleng, benar bukan?

“Masa aku udah pensiun dini di umur segini, Pa?” tanya Rani tidak percaya.

Pria tambun itu menggeleng sejenak, sepertinya sang anak tengah salah paham dengan ucapannya. “Loh papa nggak maksa kamu pensiun Kak, papa cuma ngasih opsi ke Kakak yang lebih baik.”

“Kalau menurut kakak sih mending jangan nikah dulu.”

“Kalau kata adek sih mending nikah aja.”

“Kalau kata papa juga sih mending nikah.”

Rani menggelengkan kepala tidak percaya kedua pria di depannya itu sepertinya sudah bersekongkol dan berniat bulat mengusirnya dari rumah ini.

“Papa udah booking di salah satu resto bintang tiga Kak, papa mau kita semua berangkat bareng dari rumah. Kakak minta izin di hari Jumat buat masuk setengah hari aja, papa nggak mau Kakak dateng telat. Harga diri papa ada di kamu, Kak.”

Rani bertanya bingung di dalam kepala siapa yang membuat keputusan sepihak seperti ini yang merugikan dirinya? Seolah-olah dialah yang harus menanggung beban keluarga.
.
.
.

STAY SAFE

HAPPY EID MUBARAK YEOROBUN 😙🙏🏻

9 April 2024

Garis LakonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang