Jam 12.30, Kiara kembali ke rumahnya setelah menginap semalam di rumah Tinanty. Rasa berat meninggalkan sahabatnya itu terasa di hatinya karena ia tidak ingin kembali ke rumah. Apalah daya dia tidak bisa berlama-lama di tempat yang bukan seharusnya terus dia tempati. Itu rumah Tinanty, dan Tinanty masih memiliki orang tua di rumahnya. Dia tidak ingin membuat keluarga sahabatnya repot dengan dirinya yang selalu menginap. Berkunjung sebentar saat siang hari untuk bermain setiap hari saja sudah repot, apalagi harus memaksa bersama sahabatnya 24 jam.
Rumah Kiara tidak jauh dari rumahnya Tinanty. Mereka hanya di pisahkan beberapa gang rumah di perumahan yang sama. Kiara berjalan lesu karena sedih dengan penampilannya yang kacau, rambutnya acak-acakan, pakaiannya pun lusuh karena belum mandi. Mungkin orang-orang yang melewatinya dapat mencium aroma tidak mengenakan dari Kiara. Dia tidak peduli—walaupun sempat kepikiran—dan hanya menyusuri jalan yang tidak ia pandangi lurus. Matanya terus menatap kebawah dengan tangan yang menyentuh tangan yang lainnya, memeluk dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah, Kiara mengucap salam pelan yang tidak terdengar oleh sang penghuni. Bukan tak terdengar, tapi memang tidak ada yang mau mendengarkan Kiara.
Terkejut bukan main, ternyata tidak ada orang di rumah yang membuat Kiara mulai berseri kembali. Tumben sekali dia di rumah sendirian di siang hari begini. Kiara mulai membersihkan ruangannya dan membersihkan diri sambil menyetel TV yang dia anggurin hanya untuk meramaikan saja.
Waktu demi waktu berjalan, hingga malam hari dia sendirian di rumah menunggu sang ibu pulang, tapi tak kunjung pulang. Ia mulai mengkhawatirkan kondisi ibunya, seperti: apakah ibunya masih di jalan? Apakah jalannya sedang macet? Ibu tidak kecelakaan kan? Ibu baik-baik saja kan? Pertanyaan-pertanyaan retoris itu terus menghantui pikiran Kiara. Meskipun dia tidak suka di rumah, tapi dari lubuk hati terdalamnya, dia masih ada rasa khawatir kepada ibunya.
Hingga jam 11 malam pun belum muncul tanda-tanda kedatangan ibunya, yang membuat Kiara lelah menunggu. Suara hening yang mulai menakutkan membuatnya bergidik dan memutuskan untuk tidur saja. Mungkin saja ibunya akan pulang di hari besok. Dia harus mengalahkan pikiran negatifnya dengan affirmasi positif yang berlawanan dengan kata hatinya.
Kini jam menunjukkan jam 7 pagi saat Kiara bangun dari mimpinya yang buruk. Kiara bangun dengan kondisi air mata bercucuran yang membasahi bantalnya karena bermimpi tentang ibunya yang meninggalkannya sendiri. Kiara mengusap matanya, kemudian beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi yang masih sepi tidak ada ibunya di rumah.
Khawatirnya semakin menggebu-gebu, pikirannya kacau, dan badannya yang gelisah membuatnya berjalan mengitari rumah dengan berbagai perdebatan yang ada di kepalanya. Tangisnya yang tak dapat keluar serta perasaan yang kalut itu sangat menyakitkan kala menahan emosi.
Saat dia melewati kamar ibunya, dari luar terlihat ada sebuah ponsel yang tergeletak dibiarkan saja di kasur itu. Kiara pun masuk dan mengambil ponsel itu.
Dia tidak paham bagaimana cara menggunakannya. Dia hanya menyalakannya dan ternyata ponsel itu tidak terkunci. Dia mulai mengotak-atik mencari tanda berbentuk telepon untuk menelepon ibunya. Pikirannya semakin kacau. Semula dia bahkan tidak menyadari bahwa dia tidak bisa menelepon ibunya karena ponsel ibunya yang kini ada di tangannya.
Kiara mengusap ponsel itu, dengan air mata yang menetes tak berhenti sembari mencari nomor yang ia kenal. Akhirnya dia menemukan sebuah kontak yang bernama "Ibu" yang dia tahu kalau itu adalah nomor neneknya. Akhirnya dia langsung menekan tanda hijau yang berarti menyambungkan telepon.
"Please, ayo angkat..." gumam benaknya yang berkecamuk tidak karuan.
Saat ia mengangkat ponsel itu ke telinganya, dia mendengar suara yang tidak ia kenal. "Maaf, pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan saat ini."
Tanpa pikir panjang, dia langsung lari mengambil dompetnya dan pergi ke rumah Tinanty yang menjual pulsa.
"Anty, beli!!" Teriak Kiara yang tersenggal-senggal dengan ekspresi memprihatinkan.
Tinanty pun muncul menghampiri Kiara dengan wajah bingung. "Kau kenapa? Mau beli apa?" tanyanya terheran-heran sebab Kiara datang dengan derasan air mata.
"Tolong isiin pulsa di HP ibuku ini... dari kemarin ibuku belum pulang," jawab kiara terisak-isak.
"Kau tahu nomor ibukau, nggak?" tanya Tinanty yang cemas melihatnya.
Pertanyaan itu membuat Kiara panik. Dia tidak mengetahui nomor ibunya sendiri.
"Udah gausah panik gitu, sini kucarikan nomornya."
Kiara mengangguk pelan dan langsung memberikan ponsel itu kepada Tinanty yang akan dibantu untuk mengisi pulsanya.
Akhirnya ponsel itu telah diisi dengan pulsa dan langsung Kiara telepon di tempat, ke nomor tadi yang ingin dia sambungkan. Neneknya.
Kini panggilan sedang berdering yang diperhatikan juga oleh Tinanty di balik rak kaca setinggi perut itu. Sangat mendebarkan, takut tidak terangkat.
"Halo?" Kalimat pertama yang Kiara dengar dari ponselnya yang ada di depan telinganya. Akhirnya terangkat juga telepon darinya, KIara pun telah dapat mengatur napasnya.
"Halo, Mbah. Ini aku Kiara," Kiara membuka suara untuk menyapa.
Neneknya terkejut mengetahui yang meneleponnya saat ini adalah cucu satu-satunya. "Oalah Kiara, apa kabar? Sudah lama gak bertemu, ya, Kiara. "
Kiara tidak ingin berbasa-basi langsung bertanya poinnya. "Aku baik, Mbah. Mbah tahu mama ke mana?"
"Loh, emang mamamu ke mana? Kamu kenapa nangis?" tanya neneknya heran.
"Aku nggak tahu, Mbah. Sejak kemarin mama belum pulang," lanjut Kiara yang masih terisak-isak.
"Lah, njan. Mamakmu itu loh problematik sekali sejak bapakmu meninggal. Kayaknya tu orang pergi lagi buat nyari suami baru, kali. Sudah, biarkan saja mamamu. Sudah jangan nangi. Kalo dia tidak pulang, kau bawa saja HP ini, nanti biaya-biayamu aku yang urus. Kamu bisakan di rumah sendirian?" Neneknya memberikan perhatian penuh kepada Kiara.
Kiara semakin menangis mendengar pernyataan neneknya tersebut. "Ta-tapi a-aku takut sendirian, Mbah."
Dari ponsel yang Kiara pakai, terdengar neneknya menghela napas. "Yowes, lusa aku tinggal di rumahmu saja sampai kau lulus. Habis lulus, kamu ikut mbah, ya?"
"I-iya, Mbah." Kiara mengangguk setuju.
Neneknya Kiara pun menutup telepon itu yang membuat Kiara sedikit lega. Tapi itu tidak membuatnya berhenti menangis karena masih menangisi ibunya yang pergi tanpa kabar itu. Ia merasa bersalah karena dia yang menginap tanpa izin kemarin lah yang membuat ibunya pergi.
Tinanty yang tahu jalan pikir Kiara, kini mengelus pelan punggung sahabatnya itu. "Nggak, ini bukan salahmu. Bukannya sekarang kau harusnya senang? Karena tidak ada lagi yang membentakmu kali ini."
Kiara mengangguk, tapi dadanya masih terasa sesak. Kini Kiara maju sedikit, mendekatkan tubuhnya ke pelukan sahabatnya yang masih berada di belakang rak kaca itu.
"Sudah, sudah..." tutur Tinanty yang tidak tahu harus memberikan affirmasi seperti apa saat ada yang menangis.
Kini semua hal yang dirasa perlu sudah tuntas dan Kiara pun pulang ke rumahnya yang diantar oleh sahabatnya dengan mata sembab ditutupi oleh rangkulan Tinanty. Kini liburan yang harusnya menjadi menyenangkan itu pun menjadi sangat mendung. Sedih yang mendalam karena ditinggal kedua orang tuanya.
# # #
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You, Senior
Romanceseorang siswi kelas 10 SMA yang memiliki sebuah masalah saat topinya hilang, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah kebaikan dari kakak kelasnya yang memberikan ia topi. Kisah mereka pun dimulai sejak saat itu. [Date with Senior remake] Romance - school...