11. Pagi hari

9 1 0
                                    

Setelah malam yang cukup melelahkan, matahari pagi telah terang menyinari. Hari ini adalah hari yang Kiara nanti untuk pergi bersama temannya—Tio—ke bioskop di kali pertamanya. Terbilang mendadak, tapi jika ditunda hingga esok, ia tidak akan sempat mendapatkan waktunya disaat sendirian. Menurutnya, ini adalah waktu yang pas untuk pergi karena ingin refreshing dan mengingat besok neneknya akan datang ke rumah Kiara.

Kiara bangun di jam setengah delapan pagi dengan perasaan secerah mentari, tidak lagi bersedu dan memilih untuk menerima keadaannya. Memang berat, tapi ia akan membiasakannya sedikit demi sedikit untuk menghilangkan rasa sepinya. Kiara mulai berpikir bahwa dia tidak sendiri, Kiara punya seorang teman.

Dia membuka hari dengan membersihkan diri, lalu dilanjut dengan membenah rumahnya seperti menyapu, mengepel, dan memasak sarapan dengan porsi kecil—hanya untuk dirinya sendiri. Setelah itu semua selesai, dia mulai menyiapkan perlengkapan yang akan dibawanya nanti sembari melihat ponselnya. Ternyata ada sebuah chat datang padanya.

Tio

Pagi Kiara! Aku on the way ke rumah kamu ya, buat balikin sepeda kamu. Aku juga izin membawa sepedamu, ya.

Kiara

Pagi Kak, ini masih pagi banget loh Kak.

Kakak bagaimana nanti pulangnya kalau naik sepedaku?

Tio

Nanti ada temanku yang naik motor ngikutin aku yang naik sepeda.

Nanti aku kembali dibonceng temenku.

Kiara

Tapi sepedaku, sepeda cewek, kak.

Apa kakak nggak malu? ☹

Tio

Nggak malu kok.

Lagian mau bagaimana lagi cara mengembalikannya? Masa kamu jalan kaki ke tempatku.

Kalau aku ke tempatmu naik motor, terus ke tempatku buat ambil sepedanya, Kasihan kamu nanti capek bawa sepedanya, jadi bolak-balik juga.

Kiara

Baiklah, Kak. Aku tunggu ya 😊

15 menit setelah chat itu dikirimkan, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama Kiara dengan emosi. Iya, itu sabahatnya, Tinanty. Lalu keluarlah Kiara dari dalam untuk menemui sahabatnya. Sebelum Kiara melihat wajah sahabatnya, ia sudah tahu bahwa itu adalah Tinanty yang dikenal oleh suaranya.

"Kiara! Kamu semalam ke mana? Aku semalam jam 10 malam datang ke rumahmu buat nawarin kau biar menginap lagi di rumahku. Kau kenapa nggak ada di rumah?" ketus Tinanti, memarahi Kiara.

Kiara sontak takut dengan sahabatnya yang sudah marah itu, dia tidak tahu harus menjawab apa. Jika dia jujur, pasti sahabatnya akan lebih marah lagi padanya.

"Kenapa kau diam saja? Tinggal jawab saja kau pertanyaanku, kenapa takut begitu?"

Sial rasanya, kini Tio datang dengan membawa sepeda Kiara yang membuat Tinanty kebingungan saat masih merasa emosi.

"Kau ngapain kesini? Kok tahu rumahnya Kiara? Kenapa kau bawa sepedanya Kiara?" Kini amarahnya Tinanty beralih ke dua lelaki yang baru saja datang itu, bahkan belum mengucapkan salam.

"Anty, sabar dulu, nanti aku jelasin semuanya. Tolong jangan marah lagi, ya?" pinta Kiara yang mulai panik.

Akhirnya Kiara mempersilakan tiga orang tamu itu untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Sebelum Kiara mempersiapkan wejangan, ia langsung ikut duduk dahulu untuk menjelaskan semuanya agar tidak tambah runyam. Kini tidak ada pilihan lain untuk Kiara, selain jujur pada sahabatnya itu. Walaupun ia tahu bahwa setelahnya pasti akan membuat sahabatnya semakin marah karena tingkah lakunya itu.

...

Setelah mengatakan semuanya, Tinanty mulai paham dan menghela napas lelah. Dia sangat malas untuk mengeluarkan lebih banyak energi.

Tinanty mendecak sebal dan bersiap untuk mengeluarkan unek-uneknya. "Kau itu kalo kesepian datang saja padaku. Selama ini kau datang ke mana saat kau bosan di rumah kala ibumu masih di sini? Kau juga selama ini kesepian meski ada ibumu. Kenapa kau tiba-tiba berpikir begitu dan nekat untuk keluar malam-malam sendirian? Untung saja ada Kak Tio yang membantumu. Jika tidak, kau hanya terlihat seperti gelandangan yang tak punya rumah di tengah hujan, tahu."

Dua lelaki yang ada di dekat mereka, dengan jarak yang di pisahkan oleh meja itu hanya terdiam menyimak dengan ekspresi khawatir sebab Tinanty cukup berlebihan bagi mereka. Di sisi lain, mereka berdua pun melihat bahwa Tinanty adalah sahabat yang baik, hanya saja memiliki cara memberi perhatian yang berbeda. Bahkan mereka juga merasa, Tinanty bukan seperti seorang sahabat, tapi terlihat seperti seorang ibu. Oleh karenanya, mereka tidak ingin menginterupsi.

Yang ingin Kiara katakan sudah selesai, begitu pula dengan Tinanty. Kiara pun hendak pergi ke dapur untuk menyajikan cemilan serta minuman untuk tamunya yang sedari tadi tidak berkutik itu.

Disaat Kiara beranjak dari sofa, ia dihentikan oleh Tio dan Adam yang juga ikut berdiri. "Sudah, tidak perlu Kiara. Urusan kita udah selesai, jadi kami mau izin pulang saja," pamit Tio yang tidak diizinkan oleh sang penghuni rumah.

"Kak Tio jangan pulang dulu, biar aku sajikan dulu cemilan buat kakak sebagai tanda terima kasihku, Kak."

Tio tersenyum ramah sembari menepuk pelan kepala Kiara. "Tidak perlu, Kiara. Kita nanti ada janji, kan?"

Mata Kiara membelak, baru ingat bahwa ia belum mengatakannya kepada Tinanty. Kini ia menatap sang sahabat yang sudah memperhatikannya sejak tadi itu langsung mengubah ekspresinya seperti ingin mengatakan "Kau ada janji apa?" dari raut wajahnya.

Kiara langsung berlari kecil ke arah sahabatnya yang tak jauh dan masih terduduk di tempat awal. "Anty, nanti sore temani aku ke bioskop ya? Sama Kak Tio dan temannya juga. Boleh ya? Nanti kubayarin punyamu," pinta Kiara dengan sorot mata penuh harap yang masih diperhatikan oleh kedua lelaki itu.

Tinanty mendengus kesal tapi tidak ingin menolak tawaran gratis. "Baiklah."

Setelahnya, Kiara mengantar Tio dan Adam yang sedari tadi hanya diam itu ke depan rumahnya dengan ucapan, "Terima kasih ya, Kak Tio dan Kak Adam. Maaf juga ada keributan di sini tadi, rasanya merepotkan ya, kak."

Adam menundukkan kepala sebagai salam, lalu langsung berjalan ke arah motornya dengan Tio yang masih berada di depan Kiara, ingin mengatakan sesuatu. "Tidak perlu meminta maaf kok, justru aku yang harusnya minta maaf karena datang dan mengganggu kalian berdua."

Kiara menggeleng kepala tidak setuju dengan ekspresi yang terlihat layu.

"Sudah jangan sedih. Sore nanti kan kita akan bertemu lagi. Sampai jumpa nanti ya, Kiara." Tio menunduk dan memberi lambaian tangan sepanjang jalan menuju motor Adam.

Kiara membalas lambaian itu hingga Tio hilang dari pandangannya. Sungguh memalukan saat memperlihatkan pertengkaran kecilnya dia dan sahabatnya. 

#  # #

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang