28. Luka lama Part 1

9 1 0
                                    

Satu tahun lalu, tepatnya pada saat Kiara kelas 10, dia adalah seorang anak yang masuk ke sekolah favorit dengan jalur zonasi walaupun nilai rata-rata yang tinggi tidak digunakan.

Kiara masuk ke kelas 10 MIPA 2 yang tidak dia kenal satupun murid di sana. Sejak awal dia memang di sini sendiri. Teman-teman rumahnya ada yang pindah rumah ke Jawa tengah 2 orang, dan satu lagi masuk ke sekolah SMK. Biasanya mereka selalu bersama, tapi nahas, sekarang mereka harus berpisah.

"Hai! Namamu siapa?" tanya salah satu orang yang baru saja masuk kelas.

Kiara menoleh ke sumber suara, dia tidak menyangka bahwa pertanyaan itu mengarah padanya. "Aku?" 

Saat ini sehabis upacara semua murid baru langsung berpencar mencari kelas yang tertera nama-nama murid di sana. Kiara yang sedang mencari-cari itu dikagetkan dengan sebuah pertanyaan.

"Iya, kamu. Namaku Gita! Salam kenal ya," sapanya sambil mengarahkan tangan, ingin berjabat.

Kiara membalas jabatan tangan itu dengan senyum ramah. "Aku Kiara. Salam kenal juga ya."

"Loh?! Kamu Kiara? Kita sekelas dong?"

"Kok kamu tahu?!"

"Aku melihat namamu. Ayo sini masuk kelas, kita duduk bareng ya!"

Kiara berantusias saat masuk ke kelas dan melihat banyak murid yang telah datang yang merupakan teman sekelasnya. Banyak orang pula yang datang menghampiri Kiara dengan menyebut nama masing-masing. Mereka semua pun berkenalan satu sama lain.

Baru 2 minggu Kiara di kelas, dia mulai kebingungan tentang keberadaan dirinya. Mengapa ada dua kubu di kelas ini? Mengapa mereka tidak bermain bersama saja? Bahkan Kiara hanya mengenal nama anggota kubu sebelah yang diberitahu teman-temannya.

Kiara kini tergabung oleh 7 orang yang menjadi temannya sekarang. Syukur, sejak SD Kiara memang selalu sial dan payah tentang pertemanannya. Semuanya hancur. Dia ingin sekali memperbaikinya untuk kali ini. Untuk pertemanannya kali ini sangat asyik! Kiara benar-benar merasakan kebaikan dari mereka semua kepada Kiara.

"Kita ke bioskop, yuk! Hari sabtu nanti," ucap salah satu teman Kiara, Lina.

Semua pun bersorak, "Mau!" Dengan lantang, termasuk Kiara.

"Kamu mau ikut, Kiara?" tanya Jijah.

"Mau!" jawab Kiara dengan kedua tangan dikepal. Dia adalah orang paling terakhir yang diajak dan ini pertama kalinya pula dia ke bioskop. Begitu girang rasanya.

Kiara mulai mempersiapkan segalanya untuk di hari sabtu bahwa dia akan pergi ke bioskop bersama teman-temannya. Dia tak pernah berpergian jauh bersama temannya. Selama ini dia hanya bermain sekadar di halaman rumah, ataupun keliling kompleks saja.

Satu hari sebelum rencana menonton itu, di hari jumat. Salah satu temannya Kiara, Lina, dia berkata bahwa rencana di hari besok itu dibatalkan karena tidak cukup kendaraannya untuk ke sana. Kiara sontak kecewa dan mulai bersedih karena dibatalkan tapi tidak bisa apa-apa dan hanya bisa menurut saja. Akhirnya hari yang Kiara telah nanti itu hancur.

Rasa sedih itu harus ia pendam terus dengan mengalihkan pikirannya segera. Hari libur yang biasa dia nanti dengan kebahagiaan kini terasa suntuk dan hampa.

Di hari senin pun Kiara masuk kelas seperti biasanya dengan perasaan yang lebih baik. Kiara mulai mencoba untuk ikhlas dan berpikir bahwa lain hari pun bisa dilaksanakan.

Memulai hari dengan senyuman di hari senin, Kiara tidak berpikir bahwa ada perubahan setelahnya. Tapi, mengapa dia merasa aneh? Teman-temannya yang biasa akrab padanya terasa sungkan untuk bicara padanya. Bagaikan sinestasi merasakan sebuah kata-kata, dia merasa bahwa perkataan temannya itu terasa... aneh. Kiara tidak ingin berpikiran aneh, tapi intuisinya selalu merasakan hal yang berlawanan. Apakah Kiara harus percaya intuisi, atau mengalihkannya?

"Lina! Kamu tugasnya udah, belum?" tanya Kiara untuk memastikan. Kini sedang ada tugas kelompok yang harus dikerjakan oleh masing-masing. Aneh bukan? Ini tugas kelompok tapi hanya bagi-bagi tugas saja.

"E-eh? Belum kayaknya. Coba tanya yang lain," jawab Lina dengan ekspresi terkejut dari seberang meja Kiara.

"Loh, kan itu tugasmu di kelompok."

"Iya, nanti kukerjai."

Beda. Responsnya benar-benar beda. Dia merasa tidak seperti biasanya ketika mereka bicara. Begitu pula dengan temannya yang lain.

"Eh Gita! Kamu tahu anime baru yang Frieren? Itu bagus banget tahu!" Kiara mencoba mengikuti kesukaan teman-temannya agar nyambung dengan obrolan mereka. Kadang anime, kadang drama Korea. Itu pun Kiara tahu dari sahabatnya, Tinanty.

"E-eh? Aku belum nonton itu."

Bohong. Kiara tahu itu jawaban yang tidak benar dan hanya ingin menepis pertanyaan Kiara saja. Sejak kapan seorang Gita itu tidak menonton anime yang sedang hype? Sangat mencurigakan. Kiara mulai berpikir berlebihan tentang kesalahan apa yang telah ia perbuat? Kenapa hanya dirinya saja yang terlihat canggung? Tapi ketika dengan yang lain, mereka tetap akur seperti biasanya.

Kiara hanya ikut kumpul tanpa mengikuti alur topik pembicaraan teman-temannya. Dia hanya mendengarkannya saja. Kiara tahu bahwa ia tidak akan ada yang mendengarnya. Sekeras apapun dia bicara, teman-temannya selalu merespons seperti ingin menjawabnya secara singkat dan cepat. Mengapa Kiara begitu perasa? Dia sebenarnya tidak ingin mengutamakan perasaannya itu. Spekulasinya belum tentu benar semua.

2 bulan sudah Kiara menahan perasaannya selama ini. Pertanyaannya tentang mengapa mereka segan dengannya dan kesalahan apa yang dia buat itu tak kunjung ditanyakan. Terlalu takut jika dia dihakimi. Lantas, Kiara langsung mengucap maaf kepada mereka tanpa tahu kesalahannya.

"Aku minta maaf ya, semua. Aku kalau ada salah minta maaf."

"I-iya, gak apa-apa kok."

Setelahnya, masih sama. Entah mereka memaafkan Kiara atau tidak, Kiara juga belum tahu kesalahannya di mana. Dia mulai merasa kesepian. Merasa sendiri juga. Tapi Kiara tidak ingin membicarakannya kepada teman-temannya itu.

Bahkan seminggu setelah Kiara meminta maaf itu, semua teman-temannya kini berteman baik dengan kelompok sebelah? Bagaimana bisa? Bukankah dulunya teman-temannya itu selalu bicara tidak suka dengan mereka? Lalu, mengapa Kiara tidak tahu apa-apa tentang hal itu?

Kini tidak ada pilihan lain untuk Kiara selain bergabung dengan semua murid perempuan di kelasnya yang sudah tidak berkelompok-kelompok itu. Bukankah ini lebih baik? Tapi Kiara masih saja tidak merasa dianggap kehadirannya. Mereka asyik tanpa mencari Kiara. Mereka bersama tanpa peduli Kiara. Untuk apa Kiara berada di situ? Hanya membalas seluruh percakapan dengan tawa paksa untuk menimbrung. Tidak jarang juga Kiara ditanyai tapi setelah Kiara balas, percakapan itu selesai.

Kiara mulai menyalahi dirinya sendiri atas kejadian ini. Apa karena kemampuan bicaranya hilang? Apa karena salahnya tidak memberikan contekan? Apa salahnya karena pada dasarnya Kiara pendiam? Atau kenapa? Apa salahnya sampai-sampai Kiara merasa begini. Teman-temannya pun tidak bicara apapun kepada Kiara.  

###

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang