39. Curhat

6 1 0
                                    

Kini setelah makan bersama, Tinanty dan Kiara pun pergi ke kamar untuk membereskan peralatan tidur mereka.

Kamar Kiara sangat bertimbang terbalik dari kamarnya Tinanty. Kamarnya begitu terang, tembok yang dicat warna-warni, pintu yang dapat terkunci, kasur yang agak tinggi, dan rak buku yang tersusun rapi. Minusnya hanya sangat berantakan. Iya, hanya buku-buku bacaannya saja yang rapi, tapi buku pelajaran dan kertas-kertas berserakan di lantai. Bahkan, kasur tempat Kiara tiduri itu penuh dengan barang-barang seperti earphone, kotak pensil, buku, dan kacamatanya pun dia taruh di kasurnya. Padahal di samping kasurnya terdapat sebuah meja, tapi meja itu penuh dengan buku-buku. Lantainya pun terlihat berantakan dengan kabel yang menjalar. Tapi hal itu tidak menganggu Tinanty karena dia pun malas untuk membantu membersihkannya.

Tinanty sedang menaruh selimutnya di kasur Kiara. Kiara pun hanya duduk terdiam sambil memandangi kegiatan Tinanty di pinggir kasur. Pikirannya saat ini pun membahas tentang orang yang sedang dipandangi dengan wajah yang lesu. Dia sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu. Lantas, dia mulai memberanikan diri untuk bertanya. "Anty, kamu gak apa-apa?"

Tangan Tinanty terhenti dan badannya yang tadi meringkup, sekarang bergerak untuk duduk di kasur itu dengan ekspresi senyum yang dipaksakan sambil mengehembuskan napasnya. "Gak apa-apa, kenapa?" Tinanty balik bertanya.

Kiara mendekatkan diri ke depan Tinanty untuk berterus terang. "Kemarin aku mendengar ibumu berteriak. Jadi, aku khawatir sama kamu."

"Ah, begitu... yah, aku pun ke sini karena itu. Sekarang ibuku hanya diam. Tidak bicara apapun lagi," balas Tinanty.

"Eh, terus gimana dong, biar ibumu gak marah lagi? Kenapa bisa begitu?" Kiara benar-benar mengkhawatirkan sahabatnya itu.

Tinanty pun membenarkan posisi tubuhnya untuk tegak, matanya ditutup agar dapat fokus dan menarik napas panjang-panjang untuk menjelaskan. "Jadi kemarin ibuku marah karena aku tidur siang dan lupa buat mencuci baju. Terus dia marah dan aku hanya diam saja. Yah, dari dalam hatiku sih, tidak senang, ya. Aku kesal sekali dan ingin rasanya mengumpat dengan keras di depan wajahnya itu. Akhirnya, dia bilang 'jangan diam saja! Bicara!.'

"Terus, aku mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya membalas ibuku, 'Apa sih, Bu? Semuanya aku terus. Aku sudah kerjakan seluruh kewajiban, kenapa hanya aku yang dimarahi? Kakak selalu ibu bela-belain buat kuliah, apapun dibeliin. Si Marsel pun begitu. Selalu saja manja. Sedangkan aku, Bu? Aku minta apa sama Ibu? Adakah permintaanku yang Ibu kasih? Ibu selalu bilang nanti-nanti tapi aku yang paling banyak ngerjain pekerjaan rumah, Bu! Ibu gak pernah kan, mikirin perasaanku!'

"Terus karena aku jawab gitu, ibuku jadi semakin marah. Terus dibalas kayak gini, 'Heh! Dasar anak durhaka! Kamu bilang gak ada yang dituruti. Selama ini kebutuhanmu apa saja yang gak terpenuhi?! Ibu sudah lahirin kamu, sudah besarkan kamu sebesar ini tapi tidak tahu bersyukur! Kamu lihat noh, banyak anak-anak kecil terlantar di pinggir jalan, susah-susah nyari duit. Ini mah, cuman disuruh nurut saja tidak mau! Sudahlah, capek ibu. Sudah, ibu lepas tangan saja, gak mau ngurusin kamu lagi," jelas Tinanty.

Kiara memperhatikannya dengan begitu teliti hingga perasaannya mulai merasakan sakit yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Kiara terlihat ingin menangis di depan Tinanty yang membuatnya bingung harus berbuat apa. "Sudah, jangan nangis," tutur Tinanty.

Kiara pun bergerak lebih mendekat ke arah tubuh Tinanty dan memeluknya dengan erat. "Terus, kamu bagaimana nanti kalau kamu sudah gak diurusi begitu?" tanya Kiara dengan ekspresi menahan tangisnya.

"Yah, nanti juga dicariin, aku. Gak berharap banyak juga, sih. Ibuku kayak gak peduli juga jika aku tidak pulang. Ayahku saja sangat menurut pada ibuku. Tapi, jangan khawatir. Jika aku pulang nanti pun, pasti akan baik-baik lagi, kok." Tinanty balas memeluk Kiara dan mengusap kepalanya dengan menahan tangisnya juga.

"Pasti sakit ya, Anty. Kamu selama ini selalu ada buat aku, tapi kamu malah selalu menyembunyikan perasaanmu. Aku sekarang mau terus ada di sisimu jika kamu merasa sakit. Jadi jangan sungkan ya, Anty," papar Kiara dalam peluknya.

Tinanty pun tersenyum masam mendengarnya. "Iya, iya..."

"Anty." Kiara bersiap untuk menuturkan idenya. "Apa aku harus bicara pada ibumu biar kamu bisa dimaafkan?"

Tinanty pun menarik diri dari pelukan itu. "Aku gak yakin. Kamu bukan siapa-siapa juga. Jadi percuma pastinya."

"Terus aku harus apa, Anty?"

"Begini saja gak apa, temani aku saja, ya."

# # #

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang