37. Ramdhan

2 0 0
                                    

Di hari jumat setelah pulang sekolah, seperti biasanya Kiara menjaga perpustakaan sendirian. Iya, dia sendirian karena Tinanty yang sudah berjaga sendirian saat istirahat tadi, dan sekarang Tinanty sudah pulang. Mengapa demikian? Karena setiap hari jumat setelah istirahat itu masih ada pelajaran yang berlangsung. Jika mereka berdua melangsungkan kegiatan berjaga sekaligus, mereka tidak akan ada yang dapat mengikuti pelajaran setelah istirahat tersebut. Maka demikian, mereka berdua dibagi tugas untuk bergantian setiap minggunya.

Seperti biasanya pula, di jam setelah pulang sekolah di hari jumat itu sepi. Kiara hanya berdiam diri menunggu di meja dekat pintu masuk dengan kegiatan membacanya. Buku-buku yang dipinjam sudah ada beberapa yang telah dikembalikan karena sudah selesai dibacanya, hanya tersisa 6 buku saja yang sedang dia pinjam saat ini. Kemampuan untuk membacanya sangat mahir. Dia dapat membaca buku dengan cepat.

Tanpa sadar, sudah 2 jam Kiara diam di dalam perpustakaan. Begitu terkejutnya dia saat ada seseorang memanggilnya dari arah depannya.

"Wah! Lo suka baca ya, Ra? Pantas saja imajinasimu lancar, hahaha."

Orang tersebut adalah Ramdhan dengan suara serak yang berisik, badannya yang mungil hanya 158cm, matanya pun menatap Kiara dengan usil.

Dengan sigap, Kiara menaruh buku itu di meja untuk meladeni Ramdhan yang baru saja tiba tanpa bicara apapun. Ternyata Ramdhan ingin meminjam beberapa buku dari perpustakaan.

"Gak disangka lo jadi penjaga perpus, Ra. Pasti karena si Tio, ya?" lanjut Ramdhan.

Kiara sontak bingung. "Kok kau bilang nama kak Tio tanpa ada 'kak'-nya?"

Ramdhan tidak langsung menjawab pertanyaan Kiara dan sibuk untuk menarik sebuah kursi untuk dia duduk di depan meja Kiara. Setelah kursi itu di taruh, Ramdhan mulai duduk dengan kaki disilangkan serta tangan yang dilipat dada itu terlihat angkuh. "Karena Tio itu teman SMP gue. Jadi, memang gak perlu bilang 'Kak' dengannya," balas Ramdhan dengan senyum jahilnya.

Kiara hanya mengangguk sebagai responsnya sambil sibuk menulis data.

Ramdhan yang tidak tahan dengan keheningan, dia mencoba membahas suatu hal. "Hey, lo tau gak anime Saiki Kusuo? Asli itu gue baru selesai nonton, seru banget!"

Kiara mulai membalas setahunya. "Iya tahu, itu anime komedi, kan?"

"Ckckck." Ramdhan menggeleng kepala dengan remeh. "Gak sekadar itu. Banyak banget pesan yang bisa diambil, bro. Gini, jadi di sana dijelaskan bahwa setiap orang punya kemampuannya masing-masing. Walaupun di sana diperlihatkan kalau Saiki itu orang yang punya super power yang gak semua orang punya, tapi temannya yang bodoh itu pun sebenarnya punya kelebihan menjadi bodoh. Percaya tidak?

"Gue juga melihat kalau manusia itu tidak pernah cukup. Walaupun kita dilahirkan sebagai orang yang super power tapi orang lain tidak, kita pasti akan iri dengan mayoritas, toh? Iri dengan orang yang hidupnya biasa-biasa saja, mau melakukan apapun dengan normal itu ternyata jadi bahan iri hati orang yang punya super power dengan notabene minoritas.

"Gue juga petik makna kalau kita punya kekuatan, harus benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Walaupun memang, jadi super power itu keren, tapi bisa jadi boomerang, bro. Bisa jadi bahaya. Untungnya Saiki dikasih otak yang cerdas untuk menangkap segala informasi yang akan terjadi secepat itu. Untungnya pula, dia tidak menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan. Asli, pround banget sama Saiki," beber Ramdhan tanpa henti.

Kiara menyimaknya begitu serius sambil bergumam bahwa Ramdhan adalah orang yang begitu pandai memaknai sesuatu. Mungkin bagi orang normalnya, itu hanyalah sebuah anime komedi yang dilihat hanya untuk hiburan, tapi tidak dengan Ramdhan. "Ah, begitu, toh. Keren banget kau bisa menjabarkan segitu detailnya."

"Yah, gue udah sedikit lupa sih mau bilang apa lagi, tapi itu garis besarnya aja. Banyak banget anime bagus yang udah gue tonton dan gue petik makna di dalamnya. Bagus-bagus banget, bro!" seru Ramdhan.

Ramdhan mulai menarik kursinya ke depan agar lebih dekat dengan meja. Badannya yang tadi disandarkan ke belakang, kini dicondongkan ke depan untuk bicara dengan pembahasan yang mendalam. "Ra, lo mau gak sih ke kelas MIPA 1?"

Kiara heran kenapa tiba-tiba dia membahas itu. "Hm, pengen sih. Kenapa memangnya?"

Ramdhan mulai menatap Kiara serius. "Lo tahu gak kalau di kelas MIPA 1 itu kan banyak orang yang ambisius diambang batas? Pasti tahu lah, ya. Tapi di sana tuh seramnya ada 1 meja yang dilabeli untuk orang yang paling bodoh. Gue denger-denger yang pakai meja itu nggak di-bullying, sih. Tapi, orang yang duduk di meja itu kayak berasa banget tekanannya dari seluruh kelas. Apalagi lo gak akan di-notice sama guru kalau duduk di sana. Bahkan sampai-sampai pernah ada yang bunuh diri setiap orang yang duduk di sana. Ya memang, setiap tahun kita selalu pindah-pindah tempat, begitu pula di kelas itu. Tapi, satu tahun duduk di tempat itu saja sudah begitu muak, katanya," 

Kiara mulai tidak percaya apa yang dikatakannya. "Kau suka gosip, ya? Kan, belum tentu benar."

"Memang, tapi pernah ada yang begitu. Tahun kemarin waktu kita kelas 10 kan, yang duduk di sana itu sampai pindah sekolah, tahun ini akan ada kejadian apa lagi ya? Gue cuman penasaran doang, serius. Gue teliti kalau di sana tuh selalu ada kejadian di bangku ujung," cetus Ramdhan.

"Terus kau mau buat apa dengan itu?" tanya Kiara heran.

Ramdhan mulai menatap langit-langit sembari berpikir. "Hm, entahlah... lagi pula gue juga yakin mereka yang pintar itu hanya orang-orang yang sering peringkat umum saja, sisanya ya standar saja karena masuk lewat jalur prestasi. Toh, yang masuk jalur prestasi pun gak semuanya pandai dalam bidang akademik, ada pula yang non akademik."

Kiara mengangguk setuju. "Benar sih. Tapi, aku tidak peduli mau kelas itu bagaimana, tapi aku hanya tidak ingin berada di kelas kita lagi. Lebih baik didiamkan saja, daripada harus bertahan di lingkungan yang nggak pernah merasa aman."

Ramdhan mulai memudarkan ekspresi cerianya. "Ah, iya. Gue paham sih kalau lo. Gue juga mikir, 'Apa gue ajak Kiara gabung ya?' gitu. Tapi gue juga mikir konsekuensinya, sih." Kini ekspresinya mulai merekah kembali. "Tapi kemarin, ceramah lo udah bagus, loh! Gue malah bagus ngeliat lo di depan dengan suara yang lantang, walaupun agak putus-putus, tapi lo ngomongnya jelas. Gak kayak orang yang tiap hari berisik, banyak b*cot, giliran maju ke depan gak ada suaranya. Cemen banget."

Lantas setelah mendengar hal tersebut, Kiara sedikit tersipu malu karena dipuji. Mungkin hatinya akan menolak jika dipuji. "Nggak, kok. Itu aku aja nervous banget! Serius aku lupa teksnya waktu ke depan itu," balasnya dengan wajah yang sulit didefinisikan.

"Buat orang yang bukan dibilang extrovert, penampilan lo udah keren, Ra. Daripada yang extrovert beneran, tapi waktu maju suaranya hilang. Kuncinya ya memang itu, jangan terpaku sama teks. Gue ditanya sama teman-teman gue, 'Ram, gue lihat materi punya lo dong.' Terus gue jawab, 'nggak, gue mah gak ada teks. Gue cuman ambil beberapa referensi dari internet, terus gue rangkai aja waktu maju.' Gitu." Ramdhan mengutarakan semua pikirannya tanpa jeda.

"Yah, kau sih memang hebat jadi pembicara, hahaha. Kau lebih keren!" puji Kiara.

Ramdhan kini menatap Kiara remeh kembali. "Yah, itu sih memang karena sudah biasa. Makanya biasakan saja bicara banyak. Jangan diam saja."

Kiara tersenyum masam mendengarnya.

"Baiklah, gue udah harus balik," ucapnya sambil beranjak dari duduknya. "Gue hari ini dipaksa rapat OSIS."

"Ah, ya sudah, ini bukumu. Kau sering bolos OSIS, ya?" Kiara menyodorkan buku pinjaman Ramdhan yang sibuk membenarkan vest birunya itu.

"Iya. Malas saja gue, bosan sama rapat mulu."

# # # 

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang