30. Pertimbangan

3 1 0
                                    

"Setelahnya, saya menjadi pendiam seperti ini, Bu. Saya tidak yakin jika itu benar permasalahannya, tapi itulah yang saya rasakan pada saat itu. Mungkin Ibu harus mendengar cerita dua belah pihak." Kiara menatap Bu Sera sungguh-sungguh.

Bu Sera yang sedari tadi menyimak dengan tangan menopang dagu dan duduk dengan kaki disilang di depan Kiara kini menghela napas lelah. "Ibu sudah tanya ke temanmu." Bu Sera menatap malas.

"Lalu bagaimana, Bu?" tanya Kiara memastikan.

"Yah, mereka bilang karena kamu dekat dengan Tio."

"Itu mungkin benar, tapi kejadiannya baru-baru ini, Bu."

"Saya tahu. Awalnya saya sengaja meminta Tio berteman denganmu, tak disangka ada masalah begini."

BRAK!

Kiara sontak menggebrak meja pelan dengan mata terbelalak karena terkejut sebab ucapan Bu Sera yang masih terlihat malas. "Jadi selama ini kak Tio berteman dengan saya karena suruhan Ibu?" Kiara masih membelalak dan mengatakannya dengan lantang.

Bu Sera mengangguk pelan masih dengan wajah datar.

"Mengapa Ibu memilih Kak Tio?" lanjut Kiara.

"Karena ujian kemarin kamu duduk dengannya, kan? Awalnya Tio sendiri yang bertanya kepada saya tentang kamu, apalagi dia seorang Tio yang menanyakan hal tersebut mungkin bisa jadi kesempatan buat kamu menambah teman. Lagi pula sifatnya Tio tidak buruk juga, kan?" jelas bu Sera.

Pernyataan tersebut terasa ganjal di benaknya Kiara. "Tapi Kak Tio pernah berkata bahwa dia mengetahuiku dari Kak Sarah, Bu."

"Ah iya, waktu itu saat Tio membantu menempel nama di meja, dia dibantu oleh Sarah juga. Yah, mungkin hanya bohong saja itu ke kamu. Jadi bagaimana? Apa kamu masih mau berteman dengannya dengan semua masalah yang telah terjadi padamu?"

Pertimbangan tersebut membuat Kiara berpikir keras dengan semua yang terjadi. Haruskah dia menghindar? Atau tetap berteman dengan semua kakak kelas yang telah ia kenal? Memang sejauh ini banyak sekali kejadian menimpa Kiara, tapi dia yakin bahwa itu bukan salah orang lain, melainkan dirinya sendiri. Semua orang yang terlibat dalam hidup Kiara telah membantunya menjadi lebih baik bahkan memberikannya ruang untuk dapat nyaman di sekeliling mereka.

Seketika Kiara tersenyum manis mengetahui jawaban dari pertimbangan Bu Sera. Dia sudah tidak ingin lagi memilih pilihan yang salah. Apalagi Kiara merasa berhutang budi pada semua orang yang telah membantunya, sangat tidak etis jika dia menghilang begitu saja dan tidak bertanggung jawab atas semua hal baik yang telah ia terima.

Kiara memantapkan pandangan ke arah Bu Sera dan menjawabnya dengan lugas. "Tidak Bu. Saya akan tetap berteman dengan mereka walaupun hanya sebatas suruhan Ibu. Saya tidak merasakan adanya keraguan dari mereka dan kecemasan akan apa yang menimpa saya. Saya tidak akan peduli dengan orang-orang yang mulai membenci saya, setidaknya saya tidak sendiri sekarang, Bu. Terima kasih banyak atas bantuan Ibu."

Bu Sera kini tersenyum miring seperti meremehkan. "Bagaimana jika saya suruh mereka untuk menghindarimu? Atau bagaimana jika nanti mereka akan meninggalkanmu?"

Kiara terdiam. Dia tak sanggup bicara tanpa memikirkan apa jawaban yang akan dia ucapkan. Pikirannya kini bekerja keras menemukan sebuah jawaban dengan selang waktu yang cepat. Bibirnya bergetar, kepalanya ditundukkan dengan matanya yang memejam seperti ketakutan.

"Teman Kiara tidak hanya mereka, Bu."

Suara tersebut datang dari arah depan pintu yang menatap Bu Sera tajam. Iya, dia adalah Tinanty yang baru saja tiba di jam 2 siang saat setelah terbangun dari lelapnya di rumah. Ternyata dia mendengar pertanyaan dari Bu Sera saat baru tiba dan langsung menjawabnya tanpa ragu.

Kiara terbelalak dengan pernyataan sahabatnya itu yang kali ini membelanya. Baru kali ini Tinanty buka suara tentang masalahnya, apalagi bicara kepada sosok seorang guru di sekolah. Bu Sera pun membalikkan badan dan menatap Tinanty.

"Maaf jika saya lancang, Bu. Tapi mengapa Ibu repot-repot membuat Kiara berteman dengan kakak-kakak kelas itu? Apakah Ibu tidak memikirkan konsekuensi yang akan Kiara terima dengan semua kejadian yang akan menimpa Kiara? Bukankah Ibu terlihat seperti ingin mengetes mental Kiara saja, Bu?" lanjut Tinanty yang mulai menjelaskan kontranya.

"Saya jelas mempertimbangkan segala aspek. Saya melihat jika Kiara dan Tio itu cocok dijadikan teman. Apalagi saya membutuhkan informasi tentang Kiara di sekolah ini dan orang yang dapat saya percaya hanya Tio," jelas bu Sera.

Kini Tinanty membenarkan mimik wajahnya yang terlihat kesal itu. "Apa Ibu tidak mengerti tentang karakteristik seseorang, Bu? Ibu memang guru yang perhatian, tapi itu tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa seseorang, Bu. Ibu hanya menilai dari perspektif Ibu saja, terlebih Kiara yang sejak awal canggung dengan seorang cowok, sekarang malah ada seseorang yang mendekatinya karena suruhan Ibu."

Pandangan bu Sera telah teralih sepenuhnya pada Tinanty yang ternyata pandai berbicara, lalu menatapnya remeh. "Kamu tahu dari mana hal tersebut? Kamu saja baru datang."

"Saya datang waktu Kiara bicara terakhir kali. Saya sendiri sibuk membuka sepatu di luar, Bu. Jadi saya dengarkan dari pernyataan Kiara tersebut. Bagaimana, Bu?" celetuk Tinanty. Ucapan Tinanty memang sudah tidak lagi terbilang sopan kepada gurunya, yah dia sendiri sudah tahu konsekuensinya setelah ini apa, dan entah apa yang dipikirannya sewaktu bicara.

Bu Sera yang memiliki kepribadian yang cukup mirip dengan Tinanty tidak ingin kalah. "Kamu ada benarnya, tapi coba kamu lihat dari baiknya? Tio punya power di sekolah ini, dia punya banyak relasi dan dapat menjaga Kiara, toh? Jadi..."

"Menjaga Kiara dari apa, Bu?" potong Tinanty.

"Kamu benar-benar meremehkan saya, ya? Kamu tidak tahu bahwasannya saya juga khawatir dengan anak murid saya? Saya tahu jika saya bertindak langsung, pasti semua teman kelasnya Kiara semakin membencinya, kan? Apa kamu punya ide tersendiri untuk mengatasi hal tersebut?" Bu Sera menantang Tinanty kali ini.

"Maaf, sebentar..." Kiara membuka suara untuk menyampaikan pendapatnya dengan gugup. "Sa-saya awalnya memang kesal saat Ibu berkata bahwa kak Tio hanya berteman dengan saya karena suruhan Ibu, tapi menurut saya ini jalan yang sudah benar, Bu. Jikalau mereka meninggalkan saya, seperti ucapan Tinanty tadi, bahwa saya pun masih punya Tinanty, Bu. Saya memang sudah terbiasa ditinggal tapi bukan berarti saya mengharapkan hal tersebut. Saya tidak tahu akan jadi seperti apa kehidupan sekolah saya tanpa mereka, Bu. Saya akan baik-baik saja." Kiara benar-benar mengucapkannya dengan lantang.

Bu Sera tersenyum lega mendengar hal tersebut. "Baiklah jika memang begitu, saya mohon untuk bertahan ya, Kiara." Setelahnya, bu Sera menatap Tinanty penuh dendam. "Dan kamu. Kamu berani sekali tadi bicara seperti itu kepada saya."

Tinanty bergidik takut mendengarnya sambil mengalihkan pandangannya. "Ma-maaf, Bu..."

"Kamu anak kelas 10, kan? Kamu lebih baik saya laporkan pada wali kelasmu atau kamu membantu saya membawa semua buku itu ke ruangan saya?" lirih bu Sera sambil menunjuk ke arah tumpukan buku paket pelajaran di meja seberang.

"Saya bantu bawakan buku saja, Bu," balas Tinanty dengan cepat.

"Baiklah, saya kembali ke kantor dulu. Kamu bawakan ya semua buku itu dan tidak boleh dibantu termasuk Kiara. Dan juga, tolong jaga pertemananmu dengan Kiara, ya?" salam bu Sera yang tersenyum sumringah.

Kiara membalas salamnya dengan membungkuk dan menatap gurunya itu pergi dengan perasaan lega. Sedangkan Tinanty berdecak kesal dengan pikiran penuh umpatan.

Sungguh misteri persahabatan mereka. Mengapa Tinanty segitunya membela Kiara?

# # #

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang