12. Jalan

7 2 0
                                    

Kiara sudah mempersiapkan segalanya untuk pergi hari ini. Sebuah tas selempang kecil berwarna coklat dengan isi sebuah ponsel, uang, kipas, tisu, dan sunscreen itu telah dikaitkan di bahunya. Ia juga ber-make up tipis, tidak lupa juga dengan sunscreen. Sudah sangat lama sekali ia tidak bepergian ke tempat liburan untuk menghibur diri yang sedang memiliki sebuah masalah. Salah satu cara untuk menghilangkan perasaan sedihnya adalah dengan pergi yang cukup jauh, lalu mengalihkan pikiran sejenak kala bersenang-senang.

Jam 3 sore adalah rencananya. Filmnya akan mulai pada jam 4.30 sore dan mereka merencanakan berbagai kemungkinan bahwa mereka akan menempuh perjalanan selama 30 menit jika lalu lintas lancar. Tempatnya cukup jauh dari daerah mereka, meskipun berada di pusat kota, tapi berbagai tempat dan fasilitas lengkap itu ada di daerah swasta, di kota sebelah. Mereka berempat tidak hanya merencanakan untuk menonton bioskop, mereka pun ingin sekalian berjalan-jalan mengelilingi mal. Apalagi rencana Kiara, ia ingin pergi ke toko buku. Selama ini dia hanya membeli buku di toko buku bekas saja. Di kotanya, sudah tidak ada lagi toko buku yang ia sukai, semua sudah tutup.

Sudah lewat 10 menit dari perjanjian, Tio telah datang bersama Adam dengan motornya ke rumah Kiara.

Kini seorang lelaki yang mengendarai motor dengan menggunakan jaket corak biru hitam serta baju putih di dalamnya, kali ini dia pun memakai sebuah kacamata yang sepertinya bukan minus, memakai celana jeans hitam, dan rambutnya pun ditata dengan gaya poni belah tengah yang terlihat keren itu menghampiri Kiara. Tak lain dan tak bukan adalah Tio. "Kamu masih sendirian, Kiara? Ke mana temanmu?"

Kiara yang sedang berdiri di depan rumahnya sambil tertunduk itu langsung mengangkat kepalanya untuk melihat sang penanya. "Tinanty belum datang, Kak," jawab Kiara.

Mereka berdua pun ikut menunggu, tapi seseorang yang ditunggunya itu tak kunjung datang. Mereka bertiga setia menunggu Tinanty untuk berangkat bersama, kasihan juga Kiara jika menunggu Tinanty sendirian jika mereka berdua pergi duluan.

20 menit sudah mereka menunggu, akhirnya Tinanty pun datang dengan menggunakan hoodie hitam oversize, rambut yang diikat asal, dan celananya yang pendek itu terlihat sangat santai. Bahkan terlihat seperti pakaian rumahan. Walaupun begitu, mereka bertiga tidak ada yang komplain dengan penampilan Tinanty dan mulai untuk mempersiapkan keberangkatan.

Kini seseorang berada di bangku penumpang, yang memakai dress putih dengan rok merah muda selutut, rambutnya yang digerai sebahu, kacamata bulatnya pun tidak ketinggalan, dia sedang merasa senang. Bagaimana tidak? Ini kali pertamanya ia pergi ke bioskop, ditambah ia sedang bepergian bersama seorang teman. Begitu mendebarkan, sekaligus excited. Kiara melihat ada sebuah motor yang ia kenal siapa pengemudinya dari belakang, membuatnya asyik.

Mereka berempat yang berangkat pukul 3.35 sore itu sebenarnya adalah waktu yang salah. Jam tersebut adalah jam biasa orang-orang pulang kerja di hari sabtu—biasanya pekerja pulang setengah hari di hari sabtu. Padahal mereka masih libur sekolah, tapi mereka memilih hari sabtu saat orang-orang masih bekerja. Alhasil, mereka pun terjebak macet di sebuah tempat yaitu pusat street food yang sangat terkenal.

Untung mereka berangkat satu setengah jam sebelum filmnya dimulai, jadi mereka masih ada waktu untuk dapat datang tepat waktu.

Sore ini matahari masih cukup menyengat dibanding saat siang hari. Kiara dengan wajah sensitifnya itu mulai mengerang kepanasan dan perih di wajah yang mulai memerah. Kiara masih dapat menahannya meski semakin lama, semakin membuatnya menderita, tapi tetap ia tahan agar tidak merepotkan sahabatnya itu. Untung ia membawa kipas lipat, tapi itu belum cukup membuatnya merasa lebih baik. Sebab sinar mataharinya lah yang membuatnya perih, apalagi sekarang Kiara tidak menggunakan apapun untuk menghalau sinar itu.

Tarikan napas Kiara yang berat mulai membuat Tinanty sedikit terganggu dan melihat sang sahabat dari kaca spionnya. Wajah Kiara terlihat sangat merah seperti terbakar, tangannya memegang kipas yang sudah digunakan untuk menutupi wajahnya. Lantas tanpa bertanya, Tinanty langsung menyerobot kemacetan itu dengan cepat ke tempat teduh.

Tinanty pun membawa motornya ke arah pohon beringin di parkiran yang berada tak jauh di depan mereka. Mereka berdua pun meneduh di sana.

Kiara kini melepaskan helmnya yang tidak memiliki visor di bagian depannya. Itulah alasan mengapa ia bisa langsung terpapar sinar yang begitu menyengat kulit wajahnya itu.

"Kau kenapa sampe merah banget mukamu? Kau nggak apa-apa?" tanya Tinanty yang khawatir.

Kini kondisi Kiara sudah mulai membaik, dia pun sudah dapat bernapas lega, tidak merasa panas lagi. Ia pun menjawab pertanyaan Tinanty. "Gimana ya, wajahku ini sensitif, Anty. Kalau terpapar sinar matahari pasti langsung perih. Apalagi panas berdebu polusi gini, membuatku sesak juga."

Tio dan Adam yang berada di belakang mereka tadi, langsung menangkap Tinanty dan Kiara sedang meneduh dan akhirnya mereka hampiri dua temannya itu.

"Ada masalah apa? Kok berhenti di sini?" tanya Tio. Dia pun mengedarkan matanya, lalu melihat Kiara dengan wajah merah mudanya itu. "Kamu kenapa Kiara? Wajahmu kepanasan ya?"

Pertanyaan Tio itu tidak langsung dijawab oleh Kiara yang sedang fokus mengatur napasnya itu, digantikan oleh orang disampingnya, Tinanty. "Iya, dia wajahnya sensitif katanya."

"Lagian helm Kiara juga tidak melindungi gini sih," sahut Adam ikut menimbrung.

Tio dan Adam mulai terdiam memikirkan solusi yang akan diberikan untuk Kiara. Tinanty juga ikut berpikir sembari mengelap wajah Kiara dengan tissue yang diberi air agar terhidrasi.

Tio telah terpkirkan sebuah ide. "Bagaimana kalo kamu pakai helmku saja, ada visornya juga biar gak kena cahaya lagi, bagaimana?"

"Lalu bagaimana cara biar kulitnya gak kepanasan?"

Pertanyaan Tinanty itu sontak membuat yang lain ikut berpikir lagi sebab helm yang akan digunakan itu hanya akan menghalangi cahaya, bukan panasnya. Mereka bertiga terdiam, tidak ada ide. 

Karena tidak ada lagi ide, Tio dan Adam izin untuk pergi sebentar mencari sesuatu di pasar yang berada dekat situ. Mereka mewanti-wanti agar Kiara dan Tinanty tetap di tempat dan jangan ke mana-mana,  yang disetujui oleh Tinanty.

Kiara kini menatap kedua lelaki yang pergi berjalan kaki itu membuatnya tertawa tidak menyangka. "Kenapa pada effort banget sih? Hahaha. Aku kan nggak separah itu."

"Kalo nggak parah, aku nggak berhenti di sini, Ra," timpal Tinanty.

Saat ini sudah jam 4 sore, filmnya akan dimulai 30 menit lagi. Tapi mereka masih berada di pertengahan jalan. Mereka kini memprioritaskan Kiara dulu yang sedang kesulitan dibandingkan datang tepat waktu dengan paksa.

10 menit kemudian, Tio dan Adam kembali membawa 2 kantong kresek. Yang satu berisi 4 minuman dingin—es cekek. Yang satu lagi berisi sebuah alat elektrik yang dapat membantu Kiara, yaitu sebuah Nano Spray. Bagaimana cara mereka bisa mendapatkan itu?

Kiara seketika penasaran dengan harga sebuah barang yang ia terima itu. "Ini harganya berapa, Kak?"

"Harganya 120 ribu, Kia." Tio menjawab dengan nada datar tanpa merasakan apapun.

Kiara terkejut dengan harganya, ia mulai membuka dompetnya untuk mengambil uang dan mengembalikannya kepada Tio.

Tio pun menolak mentah-mentah uang yang Kiara berikan. "Sudah tidak usah, kamu lebih penting dibanding uang itu. Kamu pakai saja dengan nyaman agar wajahmu segar. Nominal segitu bukanlah masalah besar."

Kiara benar-benar merasa tidak pantas untuk mendapatkan sebuah benda dari orang lain. Apalagi untuk sebuah barang yang cukup mahal. Menurutnya, 120 ribu itu sudah termasuk mahal, walaupun ia biasa mendapatkan uang lebih dari itu. Maka dari itu, dia tidak enak untuk menerima hal yang bisa ia dapatkan sendiri.

Akhirnya mereka akan berangkat, dengan Kiara yang mulai menggunakan sebuah helm Tio yang dapat menutupi wajahnya. Kini mereka berdua bertukar helm.

Helm Kiara terasa kecil di kepala Tio yang sedikit dipaksakan. Sedangkan Kiara menggunakan helm yang cukup besar yang membuat helm itu menenggelamkan wajahnya. Dia dapat menggunakan sebuah alat yang Tio beli tadi dari bawah visor itu. Kiara kini sudah mulai merasa segar kembali berkat Nano Spray itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan di jam 4.15.

# # #

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang