17. Diam

7 1 0
                                    

"Loh? Kok ada Kiara."

Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh teman kelasnya saat Kiara datang. Dia sudah memprediksi akan bersikap seperti apa dia nantinya.

"Hai, Kiara!" Seseorang menyapanya, hanya dibalas senyum oleh Kiara.

Canggung.

Kiara pun masuk ke dalam rumah itu, duduk di bangku yang kosong di teras rumah itu. Untungnya dia ada di barisan ujung, jadi dia bisa hanya berdiam diri di sana. Tidak terlalu mencolok. Dia memang tidak ingin bergabung atau berbicara apapun di sana, hanya akan merespons singkat jika ada yang mengajaknya bicara.

Sejak awal, Kiara tidak menyukai atmosfer kelasnya. Waktu kelas 10, dia pernah dekat dengan banyak orang di kelasnya, tapi betapa polosnya Kiara, ternyata dia selalu menjadi bahan gunjingan temannya saat Kiara tidak sengaja mendengarnya.

"Si Kiara itu, dia sok pinter banget. Mentang-mentang pinter, dia pelit banget buat ngasih contekan."

"Iya mana sok cantik juga ke cowok kelas, idih."

"Pasti nilainya bagus karena caper ke guru sih, orang semua guru aja suka sama dia."

"Hahaha, curang gitu maksudnya?"

Itulah kalimat yang tidak sengaja Kiara dengar, membuatnya menarik diri dari lingkup circle teman kelasnya itu. Mengerikan. Bahkan setelah Kiara menjadi pendiam pun, dia masih diusili oleh yang lain karena selalu diam. Tidak mengerti apa yang harus dia lakukan.

Kiara sedang duduk termenung itu, langsung disadarkan oleh pertanyaan dari salah seorang cewek.

"Kiara, enak banget kamu kemaren duduk sama Kak Tio. Kamu lagi naksir ya, sama Kak Tio? Emang sih dia cakep dan pintar, tapi kamu sadar diri juga dong, yang suka sama dia tuh banyak banget."

Kini ada cewek lain yang ikut menambahkan. "Iya mana asik banget tuh ngobrol di depan kelasnya. Hahaha."

Kiara tidak merespon apa-apa. Hatinya kini sakit akan kata-kata itu. Ia ingin sekali marah, tapi lagi-lagi dia takut menangis dan mempermalukan dirinya di depan orang-orang itu, bahkan sempat berpikir bahwa mereka tidak akan menerima Kiara lagi jika dia mengungkapkan emosinya. Jadi dia diam saja akan semua celotehan itu.

"Kenapa diam saja, Kiara? Lagi ngerahasiain sesuatu ya?"

"Sudahlah, anak itu emang punya mulut tapi gak berfungsi saja. Biarkan saja."

Ocehan-ocehan yang mengarah padanya itu tidak kunjung berhenti. Akhirnya Kiara beranjak dari bangkunya lalu pergi keluar untuk melarikan diri. Dia tidak ingin lagi berada di sana lebih lama lagi. Untungnya, rumah kumpul itu tidak terlalu jauh dari rumahnya Kiara.

Kiara telah berdiri di pinggir jalan, menunggu sebuah ojek online datang menjemputnya. Selagi menunggu, Kiara sudah menangis tanpa suara, dengan wajahnya yang memerah tomat karena panas, ditambah air matanya yang keluar dengan deras mengungkapkan semua emosinya. Kenapa di saat seperti itu kemampuan dalam buku yang ia baca tidak berfungsi? Kiara mengatakan bahwa ia akan menerapkan semua yang berada di dalam buku, termasuk buku Filosofi Teras yang telah beli saat bersama Tinanty dan teman-temannya. Dia bahkan sudah membaca seluruh isi buku dan mencoba menerapkannya, tapi mengapa masih tidak berhasil?

Kini ojek onlinenya tiba dan Kiara langsung mengelap wajahnya yang basah air mata itu.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya sang supir ojek online.

"Eh, gak apa-apa, Pak. Ayo kita jalan saja," jelas Kiara.

Kini Kiara pulang dengan perasaan yang lagi-lagi sakit. Ia bahkan hanya bertahan selama 20 menit di sana. Jika di sekolah, untungnya tidak ada yang peduli akan kehadirannya. Kini dia sudah tidak lagi menangis dan wajahnya yang basah pun sudah kering sebab angin dan panas, apalagi panasnya siang sudah menyengat kulit wajah Kiara.

# # # 

Only You, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang