Sekarang hanya ada Kiara sendiri di rumahnya dengan perasaan tidak karuan. Dia sudah terbiasa untuk pekerjaan rumahnya, tapi tidak untuk kesendiriannya. Memang menyenangkan kala sendiri, di saat sudah tidak ada lagi yang membentaknya. Tapi, sepi rasanya.
Dia menyukai malam, keheningan, dan ketenangan. Namun tidak untuk kesepian. Kiara baru menyadari bahwa kesendirian dan kesepian adalah dua hal yang berbeda. Dia harus bisa menunggu hingga neneknya datang dengan keteguhan hati yang kuat untuk menangkis rasa kesepiannya.
Malam ini dia keluar menggunakan sepedanya—karena tidak mempunyai motor dan tidak bisa mengendarainya—pergi ke tempat asal untuk menghalau segala rasa cemasnya. Dadanya yang terasa sesak itu sudah menjadi lebih baik sejak menggowes sepedanya karena angin malam yang menenangkan dan keramaian malam yang tidak terasa sepi meski dia sendirian. Dia kali ini tidak ditemani oleh Tinanty karena takut mengganggunya, walaupun ia tahu bahwa sekarang adalah waktu aktif sahabatnya itu. Atau, mungkin karena ia takut sahabatnya akan marah.
Kini waktu menunjukkan pukul 9.30 malam saat Kiara sudah pergi sejak 30 menit lalu. Dia tidak tahu ke mana arah dia pergi, hanya menggowes sepedanya ke arah yang sudah jauh dari rumahnya. Entah mengapa, dia tidak merasa takut untuk keluar malam sendirian seperti ini, daripada harus di rumah sendirian tidak tahu harus apa. Apalagi suasana hatinya yang buruk itu membuatnya nekat untuk mencari ketenangan di tempat lain.
Malam ini mendung, seperti suasana hatinya. Hanya terlihat ada awan keabu-abuan yang menutupi bulan yang tak seperti biasanya selalu menampakkan kilau indahnya dengan butiran gemerlap bintang saat menghiasi langit malam. Tapi itu bukanlah alasan untuk jalanan menjadi sepi. Jalanan kota yang tak pernah mati itu selalu terang dengan berbagai semburat lampu dari toko-toko yang masih buka.
Rintik demi rintikan hujan telah turun dari langit, tidak menjadikan Kiara untuk berhenti. Justru dia menyukai air hujan yang mengenai kulitnya, membuat Kiara semakin tenang...
Ia melihat ke sekeliling jalanan dan sempat berhenti sejenak untuk minum dan memotret sesuatu hal yang random, seperti: kucing, tumbuhan, jalanan, ataupun suatu spot yang indah dengan ponsel yang baru ia miliki—ponsel ibunya. Ia senang dengan kegiatannya sekarang.
Gerimis yang semakin kencang menandakan bahwa Kiara harus kembali. Tapi ia sudah terlalu jauh dari rumahnya, tidak akan sempat untuk dirinya menghindar dari hujan. Meski begitu, ia mulai berbalik arah sembari menikmati hujan tanpa pelindung apapun. Segar rasanya.
Ia sudah berada di tengah jalan untuk kembali ke rumahnya, benar saja, hujan semakin lebat yang membuatnya kesulitan untuk melihat jalanan. Kacamatanya mulai basah terkena cipratan hujan, baju serta rambutnya sudah basah seluruhnya. Ia akhirnya berhenti di depan suatu Mini Market yang pernah dia kunjungi bersama Tinanty. Klise rasanya. Ia menatap cahaya Mini Market itu yang buram dari pandangan kacamatanya, sembari berpikir, haruskah dia meneduh? Apakah dia akan bertemu dengan Tio lagi? Seakan-akan ia selalu ditakdirkan untuk bertemu Tio.
Kiara tersenyum kecil mengingat banyak kejadian kebetulan untuk bisa bertemu Tio. Mungkin saat ini dia mulai menggeser egonya untuk meneduh sebentar di tempat yang ia kenal.
Ia kini mendorong sepedanya untuk parkir di depan mini market itu dan duduk di bangku mini market itu. Kiara kini menatap hujan yang lebat, menunggunya reda.
Mini market ini sepertinya sudah sepi dan hampir tutup karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam yang terlihat dari ponselnya. Untung, dia membawa tas waterproof yang tidak dapat menyerap air, sehingga ponsel yang ia bawa tidak ikut basah. Semula Kiara mengambil sebuah sapu tangan yang berada di tasnya, ia mengelap tangannya yang basah itu untuk memegang ponselnya.
Kiara ingin mengabadikan sebuah foto hujan yang terlihat cantik dihiasi pantulan cahaya lampu-lampu yang terlihat buram, membuatnya aesthetic. Kiara menyukai alam. Alam sangat indah, terasa sayang untuk dinikmati, seperti hujan saat ini. Mungkin hujannya dapat membuat Kiara kesulitan, tapi tidak dapat membuatnya benci akan hujan.
Kiara benar-benar menikmati hujan seluruhnya. Derai hujan yang damai dengan aroma hujan yang khas membuatnya terbebas dari suara bising di kepalanya. Dia sungguh menikmatinya.
Ia mengarahkan kameranya lurus ke arah depan, mencoba membuatnya fokus, tapi tak mudah. Ia terus menekan-tekan layarnya agar menjadi fokus, lalu menariknya kembali untuk mengelap kameranya dengan sapu tangannya yang masih ada sedikit ruang tidak basah. Saat dirasa sudah baik, ia pun mengangkat ponselnya lagi dengan posisi miring. Saat baru menatap layarnya sepersekian detik, terkejutnya dia saat melihat wajah seseorang tertangkap kamera ponselnya itu, menatap sang pemotret.
Benar, itu adalah orang yang telah ia sangka kemunculannya. Yaitu Tio.
Tio datang secara tiba-tiba dengan wajah yang cemas. "Kiara, kamu ngapain jam segini sendirian?"
"Aku lagi jalan-jalan malam saja, Kak, sama sepedaku," jelas Kiara.
"Ya ampun..." Tio yang terlihat cemas itu langsung masuk ke dalam lagi, lalu kembali menghampiri Kiara beberapa saat kemudian dengan handuk kering, jaket, dan minuman hangat. Tio menaruh minumannya di meja dan langsung mengelap kepala Kiara dengan handuknya, serta menaruh jaketnya itu di pundak Kiara
"Kamu kenapa sendirian? Rumah kamu di mana memang?" Tio kini duduk di samping Kiara, menanyakan keadaan Kiara yang terlihat tidak baik itu.
Kiara sedikit terkejut dengan pergerakan Tio yang cekatan itu, membuatnya kagum. Ia sekarang memegang sebuah cangkir berisi cokelat panas yang diberikan oleh Tio untuk menghangatkan diri. "Gak perlu cemaskan aku, Kak. Aku memang ingin sendirian saja. Rumahku di perumahan Jaya," jawab Kiara dengan senyum yang terpaksa.
"Kamu benar-benar baik-baik saja? Rumahmu jauh loh dari sini." Tio kembali menegaskan saat menyadari bahwa Kiara sedang tidak baik-baik saja.
"Sungguh, aku tidak apa-apa, Kak." Kiara sungguh-sungguh.
Namun perkataannya itu tidak sesuai dengan ekspresinya sekarang yang terasa dipaksakan.
"Kamu tahu bahayanya malam, kan? Mengapa kamu nekat keluar malam begini sendirian? Kamu pasti nggak baik-baik saja. Jika kamu kesepian, kamu bisa hubungi aku saja," ujar Tio sambil menunjuk ponselnya Kiara yang ada di atas meja.
Kiara tertegun dengan pernyataan Tio. "Kak Tio tahu dari mana aku kesepian? Aku bahkan tidak mengatakan apapun tentang itu."
Tio yang sedari tadi menatap Kiara, kini menggeser pandangannya kearah hujan yang masih lebat itu, menghela napasnya. "Kiara, seorang cewek, keluar malam, sendirian, apalagi kalau bukan kesepian? Jika aku boleh bertanya, mengapa kamu melakukan ini?" Lalu Tio kembali menatap Kiara saat menyebut pertanyaannya.
Kiara terdiam setelah mendengar pertanyaan yang Tio lontarkan padanya, sambil menatap mata Tio yang penuh kekhawatiran.
Kiara tidak tahu harus mulai bicara dari mana.
Tio mulai tersenyum simpul melihat respons Kiara. "Baiklah, kalau kamu tidak bisa mengatakannya, tidak mengapa. Tapi kalau kamu kesepian, kamu boleh kok datang padaku kapan pun kamu membutuhkanku."
"Kakak kenapa mengatakan hal seakan-akan Kak Tio selalu ada untukku?" Kiara bingung sebab tidak pernah ada yang mengatakan hal itu padanya sebelumnya.
"Karena kita teman, bukan?" jawab Tio secara singkat.
Kiara hanya membalas anggukan setuju dan kembali fokus melihat hujan yang tak kunjung reda.
"Untung aku sekarang bertemu Kak Tio, kebetulan sekali rasanya. Tadi bahkan aku tidak tahu harus melipir ke mana karena toko-toko sudah mulai tutup. Terima kasih, Kak," celetuk Kiara, merasa bersyukur.
"Benarkah begitu? Aku senang mendengarnya. Kita kini justru bertemu karena tidak disangka-sangka, ya," sahut Tio.
# # #
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You, Senior
Romanceseorang siswi kelas 10 SMA yang memiliki sebuah masalah saat topinya hilang, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah kebaikan dari kakak kelasnya yang memberikan ia topi. Kisah mereka pun dimulai sejak saat itu. [Date with Senior remake] Romance - school...