01

1K 52 14
                                    

-- Typo's --

--
"Mau kemana?"

Langkah yang hendak di bawa keluar, Lintang hentikan kala suara Ayahnya sampai pada indra pendengarannya. Helaan nafas Lintang hembuskan dengan pelan, kemudian Ia memberanikan diri untuk berbalik dan menatap Ayahnya.

"Mau ke warung, sumpek di rumah."

"Kalau gitu pergi dari rumah, ngga usah balik." Lintang mengatupkan bibirnya, kepalanya menunduk dengan nafas yang mulai tak beraturan.

Sekalinya pulang ke rumah, membuat dirinya tertekan dan tak bisa melakukan apapun. Maka dari itu, Lintang kini kembali masuk ke dalam. Semua caci maki yang tertuju padanya dari sang Ayah, hanya lah dianggap angin lalu.

Kamarnya ada di lantai dua, setelah sedikit berlari menaiki anak tangga, sampailah Lintang di depan pintu kamarnya. Sebelum masuk, Ia mengintip dahulu ke lantai satu. Suara ayahnya memudar, Lintang penasaran Ayahnya pergi keluar rumah, atau kembali ke kamarnya.

Setelah memastikan Ayah nya menghilang, meskipun Lintang sendiri tak tahu kemana perginya si tua bangka itu, Lintang masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa abu, hitam, dan putih.

"

Bahkan nilai 100 pun harus tetep ditingkatin lagi, menurut si botak." Lintang memisuh ria, tubuhnya Ia bebankan semua pada kasur empuk di kamarnya.

Menerawang, perihal pertemuan dirinya dengan si ketua Never yang umurnya tua tapi tampangnya masih muda tempo hari. "Gua bingung, kenapa dia terus natap gua dan manggil gua bintang?"

"Lagian, bintang siapa dah? Namanya mirip gua njir, copy paste." Lintang bergumam pelan, namun bayang-bayang si ketua bernama Langit itu menghantuinya.

Lintang bergidik, "Sumpah, kalau gua ngga tau sedikitpun tentang ketua Never, gua bakalan nganggap si tua hampir empat puluh tahun itu masih umur dua puluhan."

Mengubah posisinya menjadi duduk, Lintang menatap area kamarnya. "Gua kesepian banget anjir, tapi gua ngga suka ketemu sama banyak orang." Terlihat, Lintang sepertinya ambivert.

'Prangg!!'

Suara pecahan kaca terdengar nyaring disusul teriakan, Lintang menatap ke arah pintu dengan helaan nafas yang kasar. "Mama ngga tantrum sehari, sawan kayaknya." Dirinya beranjak, "Dan si tua bangka itu pasti pergi."

- - -

To be Continued...

Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :

Penulisannya bakalan sedikit berantakan, kalau sekiranya ngga nyaman sama penulisannya bisa di keluhkan di lapak kritik dan saran.

Langit dan Lintang | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang