03

431 49 9
                                    

-- typo's --

--
Suasana malam hari, begitu indah di mata Langit. Entah mengapa memorinya selalu kembali ke masa lalu, 18 tahun sebelum Ia sendirian. Waktu berlalu, kedua orang tuanya sudah menyusul Bintang.

Tapi Langit masih punya Hendri, abangnya. Juga Nia, adiknya. Keduanya sudah berkeluarga, hanya dirinya yang masih sendiri mengharapkan yang tak pasti.

Langkahnya sengaja dibuat pelan, sekeliling sudah berkembang sangat pesat menjadi lebih modern. Namun kenangan dirinya dengan si cinta pertama, masih sama. Tak pernah berubah, dan tak akan pernah berubah.

Dirinya menepi, ada penjual permen kapas disana. Dulu, ketika Ia masih kecil -Dirinya dan Bintang selalu berjalan jalan kesini, dulu banyak sekali pedagang makanan manis atau mainan.

Sedangkan kini sudah berganti menjadi tembok tembok, fasilitas umum, dan berganti menjadi vending mecine. Tak ada lagi pedagang kaki lima, namun permen kapas ini duduk di salah satu kursi pinggir trotoar dengan wajah yang menunduk lesu.

"Berapa mang?"

Si penjual mendongak, pria paruh baya yang wajahnya sudah keriput. "Sepuluh ribu aja, a." Katanya, lima lembar uang merah Langit berikan untuk ditukar dengan satu permen kapas.

Si penjual terkejut, sempat menolak namun Langit memaksa untuk menerimanya. Dengan senyuman, Langit pergi dari sana membawa satu bungkusan permen kapas.

Dirinya terkekeh kecil, sudah terlalu tua untuk memakan makanan manis.

"Gua baru tau, ketua Never doyan makan permen kapas." Langit menoleh, Lintang berjalan di sampingnya dengan pandangan fokus ke depan. Kemudian Lintang menoleh, senyumnya mengembang "Memang giginya kuat?"

Langit membuang wajah, Lintang sendiri terkekeh karena merasa diabaikan. Langkah Langit berhenti, membuat Lintang turut menghentikan langkahnya. Langit menuntun Lintang untung berhadapan dengannya, mereka saling bertatapan dengan Lintang yang berekspresi bingung.

"Siapa lo sebenernya?"

Tentu, Lintang semakin bingung. "Udah berapa kali gua ngenalin diri?" Tanya bintang dengan nada sarkastik, Ia menghela nafas, "Lintang, Lintang Selatan. Tahun ini naik ke kelas 12, gua pindahan Kota tetangga."

Alis Langit terangkat, "Berapa umur lo?"

"17 tahun, kemaren noh baru kelar ngurus KTP. Napa sih? Kaya liat hantu lo liat gua bang." Langit terus menatap Lintang, membuat Lintang semakin kebingungan.

"Eh, anjir bang lo nangis??!" Langit mengalihkan pandangannya, mengusap air matanya sedang Lintang keheranan setengah panik.

"Gue ngga tau, ketua Never se Freak ini."

"Lo kenapa si bang?"

"Lo, ngingetin gua sama seseorang yang gua sayang banget. Sayangnya dia udah meninggal," Langit merunduk sebab Lintang sedikit lebih pendek darinya "Dan lo tau? Gua kangen banget."

Langit tak dapat menebak ekspresi Lintang saat ini, namun yang pasti -Lintang benar-benar mirip dengan Bintang hampir 100 persen, perbedaan dari segi banyak omongnya saja.

"Permen kapas lo... Buat gua ya bang?"

---

To be Continued...

Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :

Langit dan Lintang | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang