36

820 61 8
                                        

-- Typo's --

--
Lintang, atau mari kita panggil saja Bintang, duduk di single sofa dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Senyum itu benar-benar tak berubah, persis seperti 19 tahun yang lalu.

Piyan, Riki, Fatur, dan Hafiz terperangah, menyaksikan Bintang yang terlempar jauh saat kejadian itu di masa lalu. Kejadian hari itu yang tak pernah bisa mereka lupakan membuat Hafiz dan Piyan semakin tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Pembuktian adanya reinkarnasi, yang sejujurnya tak pernah mereka bayangkan, kini hadir di depan mata. Tatapan mereka penuh haru, rindu, dan kekaguman.

Bintang menunduk, menyunggingkan senyuman tipis. "Maaf," ucapnya pelan. Ia melirik ke arah Langit yang membalas dengan anggukan penuh rasa percaya, memberikan dukungan.

"Maaf karena gua gabisa ngekakuin apa-apa hari itu. Maaf karena gua—" Bintang terhenti, lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar.

"Maaf, tapi terima kasih karena kalian masih inget gua. Dan juga maaf, dengan lancang gua malah balik lagi dan masih jadi versi yang sama di tahun yang berbeda."

"Lo tahu betapa kangennya kita sama lo, Bintang?" tanya Piyan, memotong.

Bintang menoleh, senyum masih terpancar.

"Kangen banget, setahun pertama tanpa lo kerasa banget beratnya. Betapa berantakannya Never, gua ama yang lain tanpa kehadiran lo."

"Bahkan ada yang sampai harus ke psikolog selama lima tahun karena lo, Bintang," tambah Riki, dengan nada yang menyiratkan sindiran kepada Langit.

Bintang terkekeh pelan. "Tapi terima kasih udah jagain Never, bahkan ngembangin sejauh ini. Gua nggak tahu Never bisa bertahan selama ini." Ucapnya dengan tulus.

"Siapa dulu dong ketuanya," sambar Langit dengan nada sombong.

"Bentar, gua masih nggak percaya. Tunggu gua ngeproses semua ini," potong Fatur, tatapannya tak lepas dari Bintang sejak tadi membuat Langit dengan sengaja melempar bantal,

penuh cemburu.

"Ceilah, nggak akan gua ambil. Gua udah punya istri, tapi serius ini?" Fatur menoleh pada Hafiz, mencari kepastian.

Hafiz sendiri masih sibuk meneliti Lintang, ini beneran Bintang? "Aduh, waktu itu gua asal bilang reinkarnasi. Kenapa jadi beneran?"

"Fiz, kalau udah nerima kenyataan bilang gua ya, biar bareng."

"Gua kira dengan bertambahnya umur, kalian bakalan bisa waras. Kok malah makin aneh, ingat ekor udah tiga." Bintang mencibir.

Hafiz dan Fatur bertos ria, berteriak dengan lolongan seperti saat mereka menonton bola dan tim favoritnya berhasil mencetak gol.

Riki, Piyan, dan Langit menatap heran. "Beneran Bintang ternyata, oke gua menerima kenyataan."

Bintang menatap Langit, bingung. "Kayaknya dulu yang seharusnya ke psikolog mereka." Gumamnya, mengundang tawa dari Piyan dan Riki.

Langit hanya tersenyum masam.

---

Dalam sunyinya malam, suara mesin mobil terdengar begitu lembut. Tidak berisik, namun juga tidak sepenuhnya senyap. Lintang duduk di kursi penumpang dengan mata yang terpejam lelap.

Langit tersenyum, hatinya merasa hangat. Terlampau bahagia hingga ia bingung, apa yang harus ia lakukan untuk melampiaskan rasa bahagianya.

Lagu "Nanti Kita Seperti ini." dari Batas Senja diputar, perlahan membangunkan Lintang dari tidurnya.

"Sebenernya kita mau kemana?" tanya Lintang tiba-tiba yang bangun dari tidurnya dengan suara serak.

"Impian yang dimana ngga harus tidur buat ngewujudinnya."

"Wait, what?"

Langit menoleh, senyumnya mengembang. "Lo bakalan tau kalau kita udah sampe, sayang."

Jujur, Lintang salah tingkah. Sejak masih menjadi Bintang, ia selalu salah tingkah jika Langit berubah menjadi manis. Senyum manis Lintang terlihat diam-diam, membuat Langit gemas setengah mati.

"Rencana lo apa om?" tanya Lintang.

"Om?"

"Sayang," cicitnya nyaris tak terdengar.

Langit terkekeh, fokus menyetir. "Kita pindah, tabungan gua banyak bahkan investasi gua masih berjalan."

"Hah? Pindah ke mana? Gua kan masih sekolah, gamau, gamau. Gua belum nyelesain sekolah gua di masa lalu, gua juga pengen kali punya ijazah, punya cita-cita."

"Lah, emang lo udah nentuin cita-cita?" Langit bertanya dengan nada sedikit mengejek.

"Ih, setidaknya gua mau kuliah. Gimana sih rasanya kuliah? Lo mah enak ngerasain, gua mah ngga."

"Kan bisa online?"

"Jangan sampe gua gedig kepala lo ya anjing?" Kepalan tangan Lintang sudah siap sedia, bersiap untuk melayang ke wajah tampan Langit.

Langit sendiri terbahak-bahak, bahkan sampai keluar air mata sebab Lintang lucu sekali, sumpah.

"Astaga, lo tidur sih tadi," mulainya. "Itu tadi ada kampus, swasta sih. Tapi itu akreditasi A, nama lo kalau ngga salah udah dititipin disitu sama Fatur. Lo ngga inget Fatur bapaknya previllage abis? Bapaknya dulu dosen disitu, intinya ada benefit lah."

"Lah tiba-tiba? Gua belum setujuin?"

"LAH, lo yang bilang sendiri dulu pengen satu kampus ama gua, Riki, Fatur."

Lintang mengerang kesal, "KAN BEDA ANGKATAN, NTAR GUA SENDIRIAN."

"Mau gua temenin?"

"Anjing lah." Langit tertawa puas, benar-benar tertawa seakan jika tak tertawa dia akan mati.

Tak lama, mereka sampai di depan sebuah pintu besar yang dikelilingi tembok. Ada banyak pepohonan, suara ombak terdengar begitu lembut menyapa telinga Lintang, mengundang pertanyaan di kepalanya.

"Ini di mana?"

Lintang dibawa masuk ke dalam. Pemandangan pertama yang Lintang lihat adalah sebuah rumah modern sederhana berwarna abu muda. Ada jalan cukup untuk mobil menuju pintu depan rumah. Di kanan kirinya terdapat tanaman, kolam, dan beberapa pepohonan asri.

Ketika masuk ke dalam rumah, tata letaknya membuat Lintang tercengang dalam kekaguman. Meskipun masih banyak yang kosong, Lintang sangat puas.

Ada empat kamar, termasuk kamar tamu. Dapur dengan jendela yang langsung menghadap pantai. Ada halaman belakang dengan lahan kosong. Hal yang membuat Lintang antusias adalah rumah kecil di antara dua pohon.

Tidak terlalu besar, namun cukup nyaman tanpa harus merunduk. Ada sebuah pagar besi yang langsung menghubungkan dengan pesisir pantai.

"Suka?" tanya Langit penuh harap.

Lintang tak bisa untuk tidak memeluk Langit. Ini adalah impiannya yang diwujudkan oleh Langit, impian yang dulu dikatakan sehari sebelum tragedi itu terjadi.

"Makasih, Langit, makasih."

"Ciumnya mana?" ujar Langit dengan senyum menggoda.

---

To be Continued.

Bentar lagi ending, nih.

Langit dan Lintang | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang