Langit terus menggempur anal Lintang dengan hentakkan kuat dan dalam, Lintang sendiri sepertinya hampir sudah kewalahan mengangkang dibawah Langit.
Hentakkannya dihentikan, Langit menikmati bagaimana rasanya Penis Ia dijepit lubang sempit nan hangat milik Lintang. Sedangkan yang Lintang sendiri kelabakan, badannya tak bisa diam.
Langit menatap ekspresi Lintang dari tempatnya, pergelangan tangan Lintang digenggam dengan lembut sebelum meraih dan mengaitkan jari jarinya.
Lintang dengan keringat mengalir dari keningnya, mata yang terpejam erat dengan bibir yang sesekali terbuka atau sesekali di gigit meninggalkan bekas.
Kaosnya disingkap sebatas dada, menampilkan nipple yang mencuat tegak. Kakinya mengangkang lebar dengan penis yang berdiri tegak dan anal yang diisi dengan penisnya.
Lintang sangat seksi.
Langit merunduk, "Enak dikontolin?" Yang dibalas anggukan oleh Lintang.
"Gua ngga denger, sayang."
"E-enak... Nghh! M-move please!"
"Ngga segampang itu," Langit tertawa kala Lintang mendengar jawaban itu, pinggulnya Ia gerakan sendiri.
Langit memundurkan pinggulnya sehingga hanya ada kepala penis di dalam analnya Lintang, membuat Lintang reflek menunduk penasaran apa yang akan dilakukan, kemudian
"AANGHH!! GGHHH AAHHH, AAHHH!" Langit menghentaknya begitu kuat sehingga Lintang menjerit dan melengkungkan tubuhnya, kakinya hampir tertutup jika tak ditahan oleh Langit.
"Beg for me."
"Please!"
----
Langit terbangun dengan keringat mengucur deras, jantungnya berdetak kencang. Ia mendudukkan diri dengan ekspresi panik, mimpi erotis itu datang lagi. Memalukan. Kenapa tiba-tiba dia memimpikan hal seperti ini? Apakah karena kurang perhatian selama 18 tahun?
"Sialan, gua mimpi apaan itu tadi, anjing," gumamnya. Ia melirik ke bawahnya, "Aishh!!" Sambil menggerutu, ia menyingkap selimut dan pergi ke kamar mandi.
Di ruangan lain, Lintang menatap dinding dengan tatapan kesal. Pengurusan perpindahan nama dari Kartu Keluarga sebelumnya dan menyatu pada Kartu Keluarga Langit membuatnya sedikit dongkol.
"Bisa-bisanya, gua jadi anak bapak-bapak ketua geng motor? Diangkat anak, lagi?" Kepalanya digaruk brutal, ekspresinya jelas kesal. Ia berdiri dari tempat tidur. "Kehidupan yang berubah drastis, entah harus bersyukur atau harus protes ke Tuhan karena ada yang mau adopsi gua."
Langkahnya sampai di depan kulkas, membuka pintunya. Ia berdecak sebab dinginnya kulkas membuatnya menggigil. Lintang mengambil susu kotak besar dan menuangkannya ke dalam gelas.
"Yeah, setidaknya gua harus ngelanjutin hidup. Kayanya gua harus bersyukur, lagian om Langit seumuran Ayah kan."
Lintang menenggak susunya sampai habis, lalu tiba-tiba menyemburkannya lagi sehingga berceceran di lantai. "Orang gila, tanpa sadar gua minum susu anjing!"
Lintang membereskan kekacauan itu dengan wajah frustasi, "Lagian siapa yang ngestok susu banyak banget sial?"
"Loh! Lintang?" Lintang menoleh, mendapati Fathur yang datang dengan putrinya, Sheilla. Sheilla duduk di pantry dapur, memperhatikan bagaimana orang dewasa bercengkrama dengan tenang.
"Kenapa dah?" tanya Fathur.
"Yang ngestok susu siapa, deh?"
Fathur terdiam, sedikit berpikir. "Riki? Biasanya dia datang ke sini buat memenuhi kebutuhan hidup si bujang tua yang kagak becus ngurus idupnya sendiri."
"Tch, sial," Lintang tertawa kecil.
"Kenapa?"
"Gua ngga suka susu, sangat anti susu."
"Woh? Gua ngga tau. Nanti gua coba ngomong sama Riki. Eh iya ngomong-ngomong," Fathur turut duduk di samping putrinya, menarik toples berisi biskuit untuk dibagi dengan Sheilla. "Hari ini lo resmi jadi anaknya Langit, right?"
Lintang berekspresi frustasi sambil membuat sarapan, roti yang dioles mentega. Hal itu tentu mengundang kebingungan dari Fathur juga Sheilla yang sibuk menikmati biskuit di pagi hari, di apartemen orang.
"Kak Lintang kenapa, pa?" tanya Sheilla.
"Ngga tau, PMS kali," jawab Fathur asal.
Sheilla menatap Fathur dengan ekspresi jengah, "Meh?"
"Apa meh?!" Fathur sedikit nyolot.
Sheilla menepuk keningnya sendiri, "Kak Lintang kan laki-laki, kok papa agak bodoh."
"Sembarangan," balas Fathur kesal.
Keduanya kembali menatap Lintang. Lintang berbalik dan menatap mereka bergantian. Saling bertatapan sedikit lama, sampai Fathur memberikan kode dengan kepalanya, isyarat bertanya.
"Apa gua harus manggil papa atau ayah juga ke om Langit?" tanya Lintang ragu.
"Mungkin," jawab keduanya kompak.
Kemudian perhatian ketiganya beralih pada Langit yang baru saja keluar kamar, sempat hening beberapa saat sebelum Langit melangkah mengambil segelas air.
Lintang berdehem, menetralkan suasana yang entah mengapa menjadi canggung. "Gua masak... Telor. Kalau mau Roti bakar, Lintang bisa... Buatin... Papa mau?"
"Pfftt!"
Byurr!
"HAH?!"
Lintang menggigit bibir bawahnya, Langit menatap Lintang dengan ekspresi yang teramat terkejut. Sedangkan Fathur dan Sheilla, menahan tawa di antara suasana canggung keduanya.
---
To be Continued.
Lapak Kritik, Saran dan Diskusi :
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.