-- Typo's --
---
Lintang terbangun dengan posisi duduk, keringatnya mengucur di keningnya, bahkan bajunya sudah basah seperti mandi akan keringat. Nafas Lintang tak beraturan, bahkan Lintang sampai harus mencengkram dadanya untuk menetralkan jantungnya.Semenit, dua menit —Lintang kini sudah dapat menetralkan pernapasannya. Kemudian Ia menatap sekitar, berada di kamar Langit. Ketika Ia menoleh ke arah samping pun, ada Langit yang tak terganggu dan masih tertidur lelap.
Perasaan Lintang campur aduk, semua ingatan tentang Bintang meringsek masuk ke dalam ingatannya. Bagai kaset rusak, semuanya terekam dengan jelas, dan Lintang luar biasa ingat serta terkejut. Apakah hal ini dapat diterima dengan akal, atau tidak sama sekali?
Cinta yang Ia miliki bahkan tidak pudar sedikit pun untuk Langit, yang kini tengah memejamkan mata dengan tenang. Wajahnya memang tidak berubah menjadi keriput, bahkan tidak ada kerutan di sana. Hanya saja, rambutnya sedikit terlihat memutih, atau mungkin tidak. Langit menua.
Umurnya tak lagi muda, bahkan jauh di atasnya.
Lintang sungguh bingung, Bintang yang selama ini dibicarakan adalah dirinya. Dirinya antara percaya tak percaya tentang hal ini, bahkan masih belum menerima sepenuhnya bahwa dirinyalah, Bintang Sebastian.
Rasanya Lintang ingin segera memeluk Langit, namun dirinya —Lintang Selatan— masih denial, hal itu hanyalah mimpi. Namun, Ia benar benar ingin melakukannya. Sesungguhnya, Lintang masih menolak akan fakta yang Ia terima. Dirinya Bintang Sebastian, Reinkarnasi, dan cinta sesama jenis.
Mengapa harus terjadi kepadanya? Dan mengapa di masa lalu Ia memilih untuk melakukan hal ini? Namun sekali lagi, saat atensinya dipusatkan penuh pada Langit, Lintang mengerti. Perasaan yang Ia simpan untuk Langit, kebahagiaan yang Langit berikan di masa lalu saat dirinya terjebak dalam kelamnya kehidupan, di sana ada Langit.
Bahkan di kehidupan ini pun, Langit melakukan hal yang sama. Menyelamatkan Ia dari kehidupannya yang malang, bahkan Lintang dibuat kembali jatuh hati pada Langit entah mengapa. Apakah takdir, atau kebetulan?
Ini keinginannya di masa lalu, Ia tak bisa menolak pun memang tidak mau. Langit berhasil kembali merebut hatinya lagi.
Lintang kembali menidurkan tubuhnya di samping Langit, matanya sengaja dipejamkan. Kini sedikit mengambil pergerakan untuk mendusel pada Langit, Langit seperti terganggu.
Kemudian Ia terbangun, menatap Lintang yang seakan tidur dengan nyaman meski dengan keringat yang berlebihan. Langit sedikit khawatir, makanya Ia langsung mendudukan dirinya dan menyentuh kening Lintang.
"Bajunya basah, keringet apa ini sedangkan AC nyala segitu dinginnya?"
Langit turun dari kasur, mengambil plaster penurun demam dari laci dan juga kaos baru untuk Lintang. Plaster penurun demam ditempel perlahan, takut-takut membangunkan Lintang.
Kemudian, baju Lintang pun perlahan dilepas. Sangat hati-hati seakan-akan jika salah sedikit, maka Lintang akan hancur. Keringat di tubuh Lintang di lap menggunakan handuk dengan lembut, mata Lintang terbuka.
Membuat Langit melempar senyum, meski sempat terkejut.
"Are you okay?"
Lintang menggelengkan kepalanya perlahan, namun Langit tetap mempertahankan senyumnya. Tatapan sayu Lintang membuat dirinya kebingungan.
"Ayo lakuin sekali lagi." Langit menghentikan pergerakannya mengelap tubuh Lintang yang berkeringat, pikirannya langsung tertuju pada masa lalu.
Sedangkan Lintang hanya ingin memastikan, jika dengan hal ini membuat yakin perasaannya, maka Lintang akan mengambil hal yang benar-benar Lintang akan yakini.
Benar, atau sebuah kebohongan yang hanya kebetulan mimpi.
"Lakuin apa?" Langit tak mau salah paham, Ia melanjutkan tugasnya bahkan kini mulai memakaikan kaus pada Lintang.
Lintang menolak, manahan tangan Langit dan menatap Langit dengan mata yang berkaca-kaca. "Ayo lakuin lagi, setelah malam panjang karena gua mabuk di pesta ulang tahun Maura."
Langit terkejut bukan main, tubuhnya serasa lemas sehingga tangan yang ditahan oleh Lintang kini terkulai lemas di samping tubuhnya.
Tatapannya tak percaya pada Lintang, Lintang kini mengambil posisi duduk dan berhadapan langsung dengan Langit. Mata keduanya berkaca-kaca, sekali berkedip air mata bisa langsung menetas membasahi pipi.
Keduanya masih bertahan dengan tatapan mata yang beradu, tatapan rindu terlihat begitu jelas. Bahkan rasa tak percaya dari Langit benar-benar terlihat jelas di sana. Terbayang ucapan Roni perihal Lintang, adalah reinkarnasi dari Bintang. Perihal Lintang tak akan ingat, mengapa tiba-tiba sekarang menjadi ingat?
Bahkan, sangat detail.
"My star?"
"I am."
Dengan cepat, Langit menarik Lintang ke dalam pelukannya. Semua perasaan rindu yang Ia tahan selama hampir 19 tahun, kini terbayar sudah atas pengakuan Lintang.
Dirinya masih tak percaya, pertemuannya di sekolah pada 19 tahun lalu dengan Bintang, adalah terakhir kali mereka berinteraksi. Dan itu bukanlah waktu yang singkat, kini —Langit dapat membayarnya sepuas hati.
Penantian yang tak disangka-sangka, bahkan kesendirian yang dulu sempat akan Ia sirna, menjadi berguna atas kembalinya Bintang, dalan wujud Lintang.
Lintang sendiri kebingungan, semenjak bertemu dengan Langit, ada rasa ingin mengejar meski Lintang tak tahu apa alasannya. Tertarik, entah untuk berteman, atau hanya semata mencari lindungan.
Dirinya jujur masih belum mau menerima, namun entah mengapa ada rasa bahagia di hatinya untuk Langit. Ada rasa rindu untuk Langit dalam hatinya, bahkan Cinta yang meledak-ledak, yaitu butterfly yang dimaksud.
Keduanya menangis, dengan pelukan erat tersirat akan kerinduan, rasa rindu yang memuncak.
Maka, Lintang kembali butuh keyakinan. Lintang menerima, atau akan menolak seperti apa yang sebenarnya hatinya inginkan, apa yang mendominasi? Penolakan, atau rasa cinta yang abadi.
"Ayo, lakuin sekali lagi."
----
To be Continued.Ngewongnya sekarang aoa besok yak???
Besok lah, see you.