-- Typo's --
---
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan tak terasa sudah hampir enam bulan Lintang menjadi anggota Never. Sudah banyak hal yang Ia lalui bersama dengan anggota yang lain, pertemanan mereka semakin kuat. Solidaritas yang tinggi, kepedulian dan suasana pertemanan yang baru pertama kali Lintang rasakan.Entah mengapa, Lintang sama sekali tidak menyesal di Drop Out dari sekolah lamanya. Untungnya, sang Ayah yang sebenarnya adalah seorang Jaksa bisa kembali menyekolahkan dirinya meskipun harus di sekolah yang berbeda.
Setidaknya, dirinya masih bisa bersekolah dan disini dia memiliki teman.
Perluasan Wilayah kekuasaan Never semakin bertambah, Lintang turut andil dalam perluasan. Hal ini tentu menjadi keuntungan untuk Never, dan sekitarnya untuk menjaga perdamaian.
Karena jika suatu wilayah jatuh ke tangan yang salah, hal tersebut berdampak buruk. Seperti bulan lalu, sekelompok remaja yang mabuk-mabukan di jalan, pesta miras dan suara knalpot yang berisik mengganggu warga.
Pengeroyokan dan lainnya yang meresahkan warga, nama Never dijaga baik-baik namun tetap saja selalu ada oknum yang memfitnah.
"Kalau gua lulus, berarti gua keluar Never? Yeaa, semoga baik baik aja." Lintang bergumam, berjalan dengan santai di trotoar menikmati suasana sore.
Pandangannya mengedar, lalu terhenti pada Riki yang tengah berjalan dengan anaknya.
"Om Riki!" Panggilnya dengan riang, lalu berlari menghampiri.
"Ngapain disini sendirian cil?"
Sejujurnya, antara Riki dan Lintang, mereka sama sekali tak dekat. Hanya mengobrol sesekali jika ada perlu, dan ini pertama kalinya Lintang menghampiri untuk berinteraksi.
"Lagi jalan jalan aja, sebenernya mau ke toko buku sih buat ngepoin soal soal yang sebenernya belum gua ngerti." Jawabnya.
Tatapannya beralih pada gadis berusia 6 tahun. "Halo, siapa namanya?"
"Lylia."
"Bentar, ini nama hero game ga sih?" Lintang menatap Riki meminta kepastian, sedangkan yang di tatap mengalihkan pandangan ke arah lain.
Lintang tak habis pikir, orang gila mana yang memberi nama anaknya nama hero game favorit? "Anak ke berapa ini om?"
"Kedua, ini mau ketemu mama sama adeknya."
"Kakaknya?"
"Di rumah neneknya, ah elu banyak tanya."
"Kak, kamu mirip sama orang yang di foto. Yang waktu itu ayah kasih liat ke aku, katanya sih om Bintang."
Lintang berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Lylia. "Aduh, iya lagi. Banyak yang bilang gitu. Menurut kamu, kakak atau om Bintang yang lebih ganteng?"
"Om Bintang."
"HAHAHAHAHA, ANAK KECIL SELALU BENAR."
"Ih, papa berisik kaya ayam."
"HAHAHAHAHA, ANAK KECIL NGGA PERNAH BOONG."
Kini keduanya adu mulut, membuat Lylia menatap remaja dan pria berumur di sampingnya dengan raut wajah datar. Tatapannya mengedar, dan mendapati Langit yang berjalan ke arahnya.
Tangannya melambai memberi kode, membuat Langit tersenyum dan tak lama Langit sampai beberapa meter di depannya. Ekspresinya bertanya perihal siapa yang tengah berdebat dengan Riki, Lylia hanya mendengus malas.
"Papa, itu ada Dada Langit."
"Lo tua bangka ngapain sih gelud di pinggir jalan? Ngga ada kerjaan."
Lintang dan Riki menoleh serempak, tampak ekspresi Langit yang kaget melihat Lintang. Meski sering, tetap saja Langit tak terbiasa dan masih sering terkejut ketika melihat wajah Bintang.
"Dada Langit mau kemana?"
"Ke rumah Om Bintang."
"Lah, bukannya udah RIP ya?"
"Kok ngga bawa bunga si, Da?"
Riki dan Lintang menyimak percakapan antara Langit dan Lylia, "Ngga, nanti beli. Mau ketemu mama?" Lylia mengangguk, lalu menarik tangan Riki untuk melanjutkan perjalanan.
"Gua duluan ya." Pamit Riki, Langit mengangguk. Sekilas menatap Lintang, sebelum melanjutkan jalan.
"Ini gua semu apa gimana bang, kaya ngga keliatan amat."
Lintang memisuh, langkahnya Ia bawa untuk menyeimbangkan langkah Langit. Langit memilih abai, membiarkan Lintang mengikuti, nanti juga capek sendiri.
"Kayanya sahabat kesayangan lo, ya? Ampe bawa bunga, temen gua mah ya, ke makan emaknya kaga bawa bunga. Tapi bawa ciki."
"Temen lo yang mana?"
"Ada temen sekelas, si Arda."
Lalu hening, mereka berjalan dalam diam. Lintang tak tau Langit akan kemana, Langit juga tak tau sampai kapan Lintang akan mengikuti. Sedikit merepotkan, jantungnya berdetak tak karuan.
"Makasih, wilayah yang agak susah di ambil sama anak anak dengan mudah lo ambil." Lintang hanya mengangguk, energi sosialnya hampir abis.
"Makasi ya bang, hidup gua tenang selama enam bulan ini."
Langit hanya melirik, kini Lintang menghentikan langkahnya. Membiarkan Langit terus berjalan ke depan, punggung itu terus di tatap sebelum menghilang sebab berbelok ke arah pemakaman.
"Gua iri sama persahabatan mereka dah, tapi kira kira apa ya yang bikin si tua itu kaga nikah nikah? Kelainan?"
----
To be Continued...
Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :
