Langit tak mendengarkan, jarinya terus keluar masuk pada anal Lintang. Lintang kelabakan, kakinya berusaha Ia rapatkan sehingga ketiga jari Langit dijepit.
Langit tersenyum miring, jarinya Ia diamkan dalam anal Lintang membuat Lintang kebingungan. Badannya tak berhenti menggeliat, berusaha menyingkirkan jari Langit pada Analnya.
"Enak ngga?"
"Mmhh, anehh keluarin hhh anjing ahh!"
Langit mengeluarkan jarinya dengan cepat, kemudian menarik dasi yang terpasang berantakan pada leher Limtang. Dasinya di gulung menjadi berbentuk seperti pensil, lalu dimasukkan ke dalam anal Lintang perlahan.
Lintang merengek, baru sedikit masuk Ia mengeluh merasakan panas, apalagi ketika kepala penis Langit ikut masuk. Beberapa kali analnya dioleskan sesuatu, membuat analnya menjadi licin.
Kepala penis Langit masuk bersamaan dengan dasi, kaki Lintang dilebarkan menjadi mengangkang agar memudahkan penisnya masuk lebih.
"Ngghh!! Aahh sakit!! Bangsat aghh!! Om, sakit!! Aangghhh!!" Penisnya masuk seluruhnya, Langit mendiamkan penis itu seraya mendorong dirinya untuk memeluk Lintang.
Lintang memeluk Langit erat, sedikit mencengkram pundak Langit sehingga Ia sedikit meringis.
"Gerak jangan?"
"Mmhh, b-bentar."
"Gerak ya sayang?"
Lintang mengangguk, Langit tertawa kecil "Jangan kedutan gitu dong." Godanya setengah berbisik, pinggulnya Ia mundurkan sehingga hanya kepala penisnya saja yang ada di dalam anal Lintang, sebelum Langit menghentaknya kuat.
"Ahhh!"
"Enak?"
"Enak, mmhh lagihh nghh!"
--
--
--
"ANJING!"
Langit mengumpat, menendang selimut yang melilit dirinya Langit tampak frustasi. Ia melihat ke area bawahnya, berdiri tegak cukup membuat dirinya sendiri tercengang.
Dengan cepat Ia berlari ke kamar mandi, menuntaskan hasratnya yang sudah sejak lama tak pernah lagi Ia pedulikan. Tak lama, Ia sudah kembali dengan wajah yang lebih segar.
Mulutnya tak berhenti mengumpat, "Bangsat, anjing, babi, Brontosaurus, Dinosaurus, monyet berbulu, kecoa terbang, semut vaksinasi, cicak malam jumat." Selama berjalan menuju meja makan.
Lintang yang tengah sibuk menata sarapan di meja keheranan, ada apa gerangan si ketua Never itu sehingga pagi-pagi sekali sudah mengumpat.
"Pagi buruk bos?"
"Lebih dari buruk anj- lah anjing lo ngapain disini?" Tentu hal tersebut membuat Lintang semakin keheranan, apalagi kala melihat wajah Langit yang terlihat merah.
Lintang mengernyitkan keningnya, berjalan menghampiri Langit dan berdiri di hadapannya kemudian punggung tangannya mampir pada kening Langit.
"Lah iya agak panas, lo demam ya bang?" Tanyanya, kemudian berbalik kembali menata makanan. Langit menelan ludah, takut takut bagian bawahnya kembali bangun apalagi melihat Lintang yang hanya kaosan saja.
Dan kaos itu sedikit kebesaran, padahal postur tubuh Langit tak sebesar itu, tapi mengapa malah terlihat sedikit kebesaran pada Lintang?
"Ni bang, gua ngga tau lo kudu konsumsi obat yang mana soalnya gua dapet dari kulkas. Tapi sebelum itu makan dulu bang, tadi om Fatur sama istrinya mampir kesini bawain makanan."
Lintang menyiapkan obat milik Langit di meja, kemudian menyiapkan makanan dalam piring Langit. Setelah itu Lintang duduk, diikuti Langit yang masih diam belum mau bicara.
Langit berdehem menetralkan rasa gugupnya, sebenarnya Ia teringat perihal mimpinya tadi. Karena itulah Ia merasa gugup tak nyaman, sebab dihadapan Langit ini bukan Bintang yang dapat Langit eksekusi kapan saja.
Tetapi ini Lintang, yang jikalau nafsunya naik lagi, Langit harus membereskannya sendirian.
"Makan dulu om, nanti obatnya minum."
"Hmm."
Mereka mulai sarapan dengan khidmat, sesekali Langit mencuri pandang ke arah Lintang. Lintang sendiri fokus pada makanannya, sesekali memantau aplikasi WhatsApp di ponselnya.
Kemudian, Langit terpaku pada Lintang. Bulu matanya yang lentik, matanya yang jernih, tatapan matanya polos namun dalam satu waktu bisa menjadi tatapan yang tegas, pipi yang sedikit berisi seperti kue beras, dan bibir yang plump.
"Enak?" Langit bertanya tanpa persiapan.
"Enak?"
Lintang mendongak, mengernyit bingung namun tetap menjawab, "Enak."
"Enak, mmhh lagihh nghh!"
"SIAL ANJIR!" Lintang tersentak kaget nyaris terjengkang ketika Langit tiba tiba berteriak, mau bertanya pun urung sebab Langit yang memakan makanannya dengan cepat.
Lintang hanya memperhatikan, bahkan ketika Langit pergi terburu buru dari meja makan pun Lintang masih diam. Obat dan Langit yang kini punggungnya sudah hilang sebab masuk ke dalam kamar di tatap bergantian.
Bingung.
"Ntar gua kasih sendiri dah ke kamarnya, aneh sakitnya lawak dasar tua bangka."
--- To be Continued :
Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.