-- Typo's --
---
Langit baru saja sampai rumah dan tiba tiba ada pesan masuk, pesan tersebut dari orang yang sedari tadi siang Ia sudah tunggu. Dengan malas Ia membuka aplikasi WhatsApp, jarinya sudah lumayan gatal untuk mengetik sumpah serapah sebab telah menbuatnya khawatir.
Saat perjalanan pulang karena tidak mendapati Lintang di tempat latihan, Piyan tiba-tiba saja mengonfirmasi bahwa bendera perang dari Blaze sudah di kibarkan, dan puncaknya adalah besok sore.
Tentu Langit sangat khawatir kepada Lintang juga ibunya yang menjadi ancaman, takut-takut terjadi sesuatu kepada mereka, maka dari itu orang-orang yang sudah profesional berkelahi di kirim untuk menjaga rumah Lintang.
Namun, pesan balasan yang di kirim Lintang membuat Langit diam seribu bahasa. Bahkan kini hanya menatap handphone dengan mulut setengah terbuka dan mata yang membulat sebab terkejut, lututnya lemas sehingga Ia terduduk di lantai.
Kalau Langit mengirim pesan tersebut, Lintang bakalan marah tidak? Tak lama telpon berbunyi, itu dari Lintang. Menetralkan rasa gugupnya, Langit mengangkat telpon dadakan itu.
"Kenapa?"
"Gue izin mulangin orang-orang yang sengaja lo kirim kesini ya om, bapa gua pulang. Beliau nyuruh pulangin mereka, katanya ini ngga perlu sampai segininya."
Langit mengerutkan keningnya, Ia tak setuju. "Bilang ke bapak lo gabisa, gua gaped-"
"Sebagian aja kok, sebagiannya gua suruh jaga sekitaran rumah sebagai warga."
"Gua ragu itu bakalan berhasil."
"Kami ngga akan kenapa napa etdah bang, tenang aja. Anak buah lo yang satu ini kan katanya berandalan, masa berandalan kalah ama berandalan lain." Ada suara tawa disana, sedikit memaksa.
Langit tak tau apa yang terjadi pada Lintang setelah panggilan di tutup, namun rasa khawatir Langit kini berlipat menjadi belasan kali lipat.
Langit tau, Lintang bukanlah Bintang yang bisa melawan ayahnya kapan saja. Langit juga tau, Lintang bukanlah Bintang yang kemampuan bertarungnya sudah terlatih karena terbiasa berkelahi setiap malam.
Maka dari itu kekhawatirannya berkali lipat, mau tak mau Langit harus turun tangan sendiri jika seperti ini keadaannya. Dengar-dengar, ayah dari Lintang ini seumuran dengannya?
Pantas saja.
- - -
Lintang hanya menatap punggung Ayahnya dengan senyum getir, kemudian tatapan itu beralih pada Ibunya yang tertidur di lantai dengan botol minuman yang berceceran.Sayu, rasanya mata itu tak sanggup lagi harus dibuka dan menemaninya hidup. Pun jiwanya sudah malas bersemayam dalam hidupnya, memilih mati saja sebab kelelahan digempur habis habisan oleh realita.
"Ya ini semuanya gara gara kamu, andai kamu ngga bikin masalah ya ngga akan kaya gini. Kamu ngga malu muka kamu semiris itu disebar luaskan diliat banyak orang? Anak seorang Jaksa diperlakukan seperti itu, tapi cuma diem dan nunduk dasar pengecut."
Lehernya Ia usap sebab masih terasa sedikit sesak, Ia berjongkok dan meraih tangan sang Ibu. Meraihnya untuk Ia bopong ke kamar, setidaknya meskipun kamar sang Ibu dingin masih beralaskan kasur dan balutan selimut yang hangat.
Praang!!
Namun, kekacauan yang terjadi dari arah pintu depan membuat perhatiannya teralih dengan cepat. Gerumusuh yang menandakan terjadinya kericuhan membuat dirinya yakin, bahwa yang datang kali ini adalah
"Lo nantangin kita kan? Maka, ini akibatnya."
Bencana.
----
To be Continued...
Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :
L
upa kemarin ngga double, jadi —how's life?