-- Typo's --
----
Tidak akan ada yang bisa menyangka suasana malam yang tadinya senyap, tiba-tiba berubah menjadi ricuh dalam satu kali komando.Tantangan Blaze diterima dengan haus darah oleh Never atas arahan Langit dan juga naluri Luthfi sebagai seorang Kapten.
Di tempat yang sepi, jalanan kosong menuju bangunan tua yang terbengkalai menjadi arena mereka bertarung.
Sementara itu, Langit dan Piyan mengamati dari kejauhan, berpikir bagaimana cara menemukan Lintang. Menurut informasi dari orang suruhannya yang mengawasi rumah Lintang, Lintang dan ibunya diculik sesaat setelah ayahnya pergi.
"Kita tinggal nunggu Riki selesai berkutat sama komputernya kan? Melacak?" Piyan tahu Langit sangat cemas, makanya dia menanyakan ini untuk menenangkannya.
Langit mengangguk, bersandar di badan mobil di atas ketinggian, menatap perkelahian yang terjadi di bawah tebing. Pikirannya penuh kecemasan, memikirkan Lintang yang tiba-tiba hilang begitu saja.
Di kejauhan, suara benturan dan teriakan terus menggema, menciptakan suasana yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang redup hanya menambah keangkeran bangunan tua itu.
Setiap bayangan yang bergerak menambah ketegangan, seolah-olah bayangan tersebut bisa menjadi ancaman kapan saja.
Piyan berusaha menjaga kewaspadaannya, meskipun hatinya ikut terguncang oleh kekhawatiran Langit. Mereka berdua tahu bahwa waktu tidak berpihak kepada mereka.
Semakin lama mereka menunggu, semakin besar kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi pada Lintang dan Renata ibunya.
"Mau ga mau, harus cepet nemuin mereka," bisik Langit dengan suara serak. "Ga ada waktu lagi."
Hanya berselang beberapa menit, Langit menerima notifikasi dari Riki yang mengabarkan bahwa ia telah menemukan lokasi Lintang.
Tanpa membuang waktu, Langit segera masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Piyan, meninggalkan kericuhan di bawah tebing.
"Di mana?" tanya Piyan dengan suara penuh urgensi.
"Hotel, kalau nggak salah bawah tanahnya itu markas anak-anak Blaze," jawab Langit.
Piyan berpikir keras setelah mengetahui bahwa lima anggota Blaze yang terjerat kasus perundungan dengan Lintang adalah anak-anak pejabat alias orang kaya. Terlebih lagi, saat melihat pertarungan di bawah tadi, motor dari kubu Blaze tampak mewah dan elit. Itu bukanlah hal yang aneh.
"Kita nggak punya backingan loh," kata Piyan dengan nada khawatir.
"Gua bukan orang miskin, Yan," jawab Langit tegas tanpa melirik Piyan. "Kita bukan orang miskin kayak pas masih SMA dulu, yang kalau luka-luka obatnya cuma obat merah UKS. Sekarang, rumah sakitnya pun bisa kita sewa pribadi."
Piyan mengangguk, ia memahami maksud Langit. Riki, Fatur, Hafiz, dan Yusuf ikut terlibat bukan hanya karena kasus ini mengingatkan mereka pada Bintang, tapi ini adalah kasus penculikan remaja 17 tahun dan ibunya yang sakit dalam artian sakit.
Melapor ke polisi itu akan semakin rumit, bahkan sangat rumit. Namun Fatur tetap melaporkannya karena pekerjaannya memudahkan Ia berhubungan dengan pihak kepolisian.
Langit mempercepat laju mobilnya, khawatir akan Lintang, Piyan mengerti tentang masa lalu Langit, bahkan setelah kejadian itu, tim inti Never langsung segera tau.
"Lintang nggak akan apa-apa," kata Piyan mencoba menenangkan.
"Lo yakin?" tanya Langit, memancing keraguan.
Piyan hanya diam, membuat Langit tersenyum miring karena tahu bahwa Piyan hanya mencoba mengalihkan perhatiannya dari kecemasan yang semakin memuncak.
Langit memacu mobil lebih cepat, melintasi jalan-jalan yang semakin sepi, menuju hotel yang disebutkan Riki. Pikiran Langit penuh dengan skenario buruk yang mungkin terjadi pada Lintang dan ibunya.
Tapi di balik ketakutan itu, ada tekad yang kuat untuk menyelamatkan mereka, apapun resikonya.
"Tunggu gua, tang."
----
To be Continued
Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :
sial, pengen buru buru ending.
