-- Typo's --
--
Lintang Selatan, mirip sekali dengan mantan kekasihnya dari segi wajah, postur, dan masalah keluarga. Langit pernah berpikir, dan berandai dengan harapan penuh kepada Tuhan.Jika Tuhan memberikan kehidupan kedua untuk Bintang, Langit ingin Bintang hidup di keluarga dan lingkungan yang layak. Lingkungan serta Keluarga yang membuatnya nyaman, merasa dilindungi dan dapat berekspresi dengan bebas.
Meskipun yang Langit tau, Lintang memiliki ekspresi yang tidak palsu. Lintang dan Bintang memiliki kesamaan yang pasti selain wajah, yaitu ketulusannya, serta kebaikan hatinya.
Langit terus memandangi wajah Lintang, dimana terdapat banyak luka tambahan namun bibirnya masih terus mengulas senyum. Kemudian tatapannya mengedar, kamar Lintang begitu rapi.
Barangnya hanya sedikit, namun dindingnya penuh akan sertifikat penghargaan dan juga ada satu lemari yang penuh dengan piala dan piagam. Langit yakin, kepintarannya pun mirip sekali dengan Bintang.
Di depannya ada meja mini, berisikan biskuit, kopi dan coklat panas. Beberapa buah-buahan yang lumayan segar, ternyata di belakang rumah Lintang ada tanaman buah.
"Maaf seadanya, gua ngga bisa nyuguhin om makanan berat." Katanya.
Langit menghela nafas, "Sedari kapan?"
"Apa?"
"Mama lo?"
"Sedari kecil udah kecanduan alkohol, tapi konsumsi obat-obatan baru pas gua SMP kelas 8, dikasih Ayah. Katanya biar teriakannya ngga ngeganggu gua belajar, haha."
Lintang sedikit gugup, terlihat sekali dirinya malu menceritakan hal tersebut.
"Ngga ada pembantu kah?"
Lintang mendongak, menatap Langit dengan ekspresi kebingungan. "Ngga, biaya lagi dong. Gua yang ngurus mama sedari kecil, entah dari kapan. Mungkin dari pas masuk TK, jadi kalau bisa gua kenapa harus pembantu?"
"Dari TK? Lo sekolah, sambil ngurus mama lo?" Langit mengernyit bingung, sedikit terkejut.
Lintang mengangguk mengiyakan, "Mama ngga begitu terus kok, kadang kalau lagi normal ya kaya ibu biasanya. Masak, nonton, nyiram tanaman."
"Jadi tugas lo apa aja?"
"Apalagi? Sekolah, belajar, ngurus mama kalau mama lagi kaya tadi. Mama ke trigger kalau lagi panik doang om, kalau ngga mah ya yaudah biasa aja. Kadang mama baik, kadang ya begitu lah. Kadang normal, kadang teriak-teriak."
"Sekolah, ngurus mama? Ngurus rumah juga dong?"
Lintang mengangguk pelan "Iya. Nyuci, masak, setrika, beresin rumah." Katanya, membuat Langit tercengang. Karena dulu Bintang dibantu oleh pembantu, Ayahnya pun cukup kaya raya dengan rumah yang lumayan besar.
"Lo ngga pernah main keluar gitu?" Lintang menggelengkan kepalanya, kemudian dia tertawa kecil "Jangan ngeledek gua bang, gua sebenernya ngga pernah liat gunung ataupun laut. Sungai aja baru liat pas SMP, soalnya arah jalan pulang sekolah ngelewatin jembatan diatas sungai."
---
---
---
"Kan, gua juga yakin lo pasti kaget sama apa yang gua ceritain.""Dunia sebercanda itu." Kata Riki, Ia hampir menangis mendengar apa yang Langit ceritakan perihal Lintang dan keluarganya. "Gua pikir, Bintang sama si Mahen udah paling kasian idupnya. Ternyata ada yang lebih kasian lagi, mana sembilan sepuluh sama si Bintang."
"Kenapa ngga lu angkut aja si Lintang?"
"Kalau Bintang bapaknya ngga peduli sama sekali, bapaknya si Lintang noh. Gua liat pake mata kepala gua sendiri, tu bapak-bapak posesif ege."
"Lah, elu aja kaga posesif ya sama si Bintang." Ucap di Fatur, namun Riki senggol pundaknya kemudian berbisik "Lo kaga inget pernah diancam karena Lo terlalu deket sama si Bintang kah?" Yang dimana membuat Fatur tersenyum manis.
Langit menghela nafas, "Susah. Yang harus dibenerin bokapnya dulu, baru mamanya habis itu Lintang. Gua kayanya mau... Perjuangin Lintang."
"Karena kasian, atau karena mirip Bintang?"
Langit menatap Riki, menghela napas kasar, punggungnya Ia sandarkan sepenuhnya pada sofa. "Keduanya termasuk, sisanya karena gua ngerasain perasaan yang sama ketika awal gua suka sama Bintang. Lebih baru, dan lebih kerasa sensasi butterfly nya."
"Since When?"
"Pertemuan kedua, gua bener bener nolak Lintang dan Bintang itu sama. Perasaan nya pun ngga tertuju karena dia mirip Bintang, tapi karena dia Lintang. Makanya gua denial mulu, sekarang malah ngakuin."
Fatur dan Riki saling menatap, mereka sudah tak lagi muda. Bahkan tadinya mereka pikir, Langit hendak menjadikan Lintang sebagai anak. Tapi sepertinya, salah?
"Kenapa ngga lo angkut anak aja?"
"Lo pikir gampang ngambil dia dari kedua orang tuanya?"
"Gua kalau jadi lo, gua bunuh orang tuanya, terus gua ambil tuh si Lintang buat gua jadiin anak." Kata Riki, Fatur mengangguk setuju. Tangannya mengambil Chiki yang tersedia di meja dan mulai memakannya,
"Tapi aslinya gempur tiap hari as pasangan, iya ngga?" Riki mengangguk setuju.
Setelah itu, bantal sofa yang lumayan keras melayang pada wajah mereka.
---
To be Continued...
Lapak Kritik, Saran, dan Diskusi :
Bintangnya juseyo~
