-- Typos's --
---
Lintang duduk di halte depan sekolah, menunggu jemputan Langit yang berjanji akan menjemputnya pagi tadi.
"Sialan, kejadian panggilan papa itu udah 24 jam lalu, sedangkan gua masih malu sampai nggak berani natap langsung kalau ngomong," gumamnya pelan. Rupanya Lintang masih gelisah tentang hal konyol itu.
Tak lama kemudian, mobil Langit datang. Mau tak mau, Lintang masuk ke dalam mobil. Suasananya sangat canggung. Lintang merasa malu karena panggilan itu, sementara Langit masih memikirkan Lintang dan mimpinya yang aneh.
Langit melirik ke arah Lintang. Sejak kemarin, Lintang menjadi pendiam dan menghindari obrolan, mungkin karena malu.
"Ngga ada paku," kata Langit tiba-tiba.
"Hah? Maksud?" tanya Lintang bingung.
Langit tersenyum, matanya tetap fokus pada jalan di depannya. "Ngga ada paku, kenapa harus malu."
"Sumpah," Lintang menatap Langit tak habis pikir. "Jokes lo tua banget tau ngga?" Sarkasnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Lo mau manggil gua papa? Ayah? Atau..." Langit mulai menggantungkan kalimatnya.
"Atau?!" Lintang menoleh cepat ke arah Langit, matanya membelalak.
Langit tersenyum miring tanpa membalas tatapan Lintang. Dia mendekatkan wajahnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, kemudian berbisik, "Daddy."
"Gila sudah! Ngga ada yang waras sialan," gerutu Lintang, wajahnya memerah. Langit terbahak melihat ekspresi Lintang.
"Panggil gua kaya biasa aja, Om atau langsung nama juga boleh. Atau kalau mau manggil kakak, abang, atau apa bebas ngga ada yang ngelarang." kata Langit sambil tersenyum.
Lintang hanya mengangguk. "Gua belum bilang makasih, makasih ya Om udah mau nampung gua. I mean—"
"Ngga perlu berterima kasih, gua malah seneng karena gua hidup sendiri selama ini. Setidaknya gua ada babu gratis, iya ga sih?" Langit tertawa.
Lintang menatap Langit tak percaya. "Ada ritual cancel pemindahan kartu keluarga kagak?" katanya sebal.
Langit kembali tertawa.
- - -
Kehidupan Lintang benar-benar berubah drastis. Fasilitas yang diberikan Langit tak main-main. Kini, ia hidup dengan segala kemewahan dan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kehidupan Langit pun turut berubah. Apartemennya yang dulu sepi, hanya dikunjungi oleh Riki dan Fathur, kini berubah menjadi tempat berkumpul anak-anak geng motor Never. Suasana apartemen menjadi lebih ramai, diisi dengan banyak canda tawa.
Namun, ada sesuatu yang semakin tumbuh dalam diri Langit—perasaan yang semakin hari semakin besar terhadap Lintang. Hampir tidak terbendung.
"Lintang atau Bintang, dua-duanya beneran beda." kata Riki dengan nada pedas.
Langit menghela napas. "Gua tau mereka beda. Tapi gua ngga bener-bener ngeliat Bintang di Lintang. Gua bener-bener nanam perasaan ya untuk Lintang, karena dia Lintang."
"Beri gua alasan," Fathur menimpali.
Langit berdecak mendengar ucapan Fathur. "Banyak perbedaan Lintang juga Bintang, gua juga sadar mereka adalah orang yang berbeda
Gua pernah mikir buat ngga terus stuck di Bintang, karena gua ini manusia yang masih hidup. Gua ada pemikiran untuk lanjutin hidup, dengan siapapun itu. Terus lo tau ngga sehari setelahnya apa? Lintang muncul. Awalnya tentu gua mikir dia Bintang dan ngga ngebiarin gua buat move on dari dia.
Tapi semakin gua banyak interaksi sama dia, tinggal bareng, dan merhatiin hal kecil yang dia lakuin, gua mulai jatuh. Maksud gua, Lintang yang bener-bener pemarah, sedikit berandalan karena baru sebulanan diadopsi udah ada keluhan bolos beberapa kali, lebih banyak omong dan gampang ngadu, gua jatuh cinta.
Gua ngga membanding-bandingkan. Kalau ditanya gua masih cinta Bintang, gua ngga mau munafik dan bilang ngga. Tapi bukan berarti Lintang jadi pilihan karena Bintang ngga ada. Gua beneran—jatuh cinta."
Fathur dan Riki saling menatap, mentransfer pemikiran lewat telepati semu. Helaan napas Riki terdengar, kemudian ia menatap Langit dengan lekat.
"Tapi apa Lintang menerima? Apa rencana lo?" tanya Riki.
---
To be Continued.
Lapak Kritik, Saran dan Diskusi :
