BAB 4 OPTIMIS UNTUK BARRA

19 1 0
                                    

Ayah menelan saliva, lehernya terasa tercekat. Ia sadar tak ada yang salah dari kalimat Bia.

Ayah tertunduk malu. Merasa bersalah, lantas ia bangkit dan beranjak dari tempat. Berharap kali ini akan ada pekerjaan yang bisa ia lakukan dan pulang membawa banyak uang untuk Bia.

Tepat saat sang Ayah menghilang dari balik gerbang, Bia menepuk-nepuk bokong Bagas. Diperhatikannya wajah sang adik. Beruntung adik bungsunya itu tak terkena lemparan sepatu. Sesekali Bia mengajaknya berinteraksi, berupaya menghentikan tangisnya.

Sambil menimang, Bia mengusap kepala Barra untuk tidak menangis.

"Sudah jangan menangis."

Barra tak menjawab. Ia mengusap kedua pelupuk matanya seraya mengangguk.

Bia kemudian melangkahkan kakinya ke dapur. Berinisiatif membuatkan susu untuk Bagas.
Dibukanya toples yang tergeletak di atas meja. Bia mendengus kesal. Tak ada butiran susu yang tersisa.

Tak kehabisan akal, Bia memilih merebus air hangat. Mengambil panci untuk diisi air, Bia kemudian meletakkannya di atas tungku.

Malangnya, tabung gas berwarna hijau untuk rakyat miskin itu tak juga memantikkan api. Bia merunduk, memerhatikan tungku itu. Tak kunjung juga ia dapati nyala api di sana.

Bia lantas berjongkok, fokusnya tertuju pada tabung bewarna hijau di sana.

"Ck!" Decaknya kesal.

Tabung itu telah kosong.

Bangkit dari sana, Bia kemudian menggigit bibir bawahnya. Beruntungnya setelah beberapa menit berlalu, adik bungsunya itu menghentikan rengekannya. Begitu juga dengan Barra. Seolah-olah mereka memahami kesulitan yang di hadapi sang kakak.

Ia memijat kepalanya, teringat akan dagangannya yang masih tersisa banyak hari ini. Bia memutar otak. Dirinya tak ingin bertopang dagu membiarkan kedua adiknya kelaparan hingga malam nanti.

Menunggu Ayah pulang pun belum tentu dapat diandalkan. Menyadari kedua adiknya sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya, Bia membulatkan tekadnya.

"Barra." Panggilnya meminta Barra mendekat.

"Kakak titip adik sebentar ya. Nanti kalau kakak dapat hasil banyak. Kakak belikan lauk enak." Bujuk Bia pada Barra.

Sang adik tak langsung menjawab. Ia menggigit ujung jarinya.

"Emm.. tapi jangan lama-lama ya kak." Pintanya pada Bia.

Bia tersenyum, lalu mengangguk menyanggupi. Tangannya mengusap-usap kapala Barra.

"Janji." Katanya mengulurkan kelilingking.

**

Sesuai ucapannya pada Barra, Bia berkeliling menjajakan dagangannya. Namun sejauh Bia melangkah, tak kunjung ia temukan pembeli.

Penat, langkahnya terhenti pada jalanan kota. Netranya berkeliling, tampak segerombolan orang-orang berkumpul di satu tempat. Beberapa diantaranya membawa spanduk dan ada pula yang menbawa toa.

"Kami minta turunkan harga BBM dan Gas!" Teriak seseorang yang membawa toa.

"TURUNKAN!" Sementara yang lainnya kompak berseru mengikuti.

Melihat hal itu, Bia tak kehabisan akal. Ia tak mau melewatkan momen begitu saja. Bukan, bukan untuk belajar berdemo.

Bia menepi, berbaur bersama orang-orang dewasa yang tak dikenalnya.

Di tengah-tengah lautan manusia, Bia berdiri menjajakan dagangannya. Sekali dua kali beberapa orang mengabaikan. Tapi tekadnya bulat. Ia akan kembali dengan membawa makanan enak untuk Barra.

Optimis, Ia yakin betul sebagian dari mereka pasti ada yang kelaparan. Maklum, dari wajah-wajah kusut yang ditunjukkan, tampaknya sudah sejak tadi pagi mereka berdiri. Begitulah kira Bia menerka-nerka.

"Hei Nak. Beli gorengannya ya." Panggil seseorang dari belakang.

Bia menoleh.

Seseorang mengulurkan selembar uang kertas padanya. Detik itu juga binar mata ditunjukkan Bia. Bibirnya membentuk lengkung indah.

"Yes." Begitu serunya seorang diri. Segera Bia mendekat. Dengan wajah bahagia, Bia begitu bersemangat melayani pembeli itu.

SUARA BIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang