Istirahat berlangsung, sebagian siswa berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, ada pula yang memiliki urusan lain selain mengisi perut.
Seperti Bia contohnya.Sesuai permintaan bu Elsa kemarin, Bia benar-benar mendatangkan Ayah ke sekolah.
Lewat sorot matanya, tersirat kebahagiaan kala mengetahui Ayah benar-benar menepati janjinya untuk datang pagi ini.Berjalan mengantarkan Ayah untuk pulang, Bia sedikit bernafas lega. Pada akhirnya ia bisa membayar tagihan SPP beserta buku-bukunya.
"Ayah." Panggil Bia lembut.
Ayah menoleh.
Dilihatnya Bia tertunduk. Ada keraguan di wajahnya. Ia tak langsung melanjutkan kalimat.
"Emm.." Beberapa detik kemudian Bia mengangkat kepalanya.
"Aku pikir aku tidak perlu bersekolah di sini. Di sini terlalu mahal. Selain itu..." Kalimat Bia terhenti kala menyadari Ayah menggeleng cepat.
"Tidak bisa. Kau harus tetap sekolah di sini. Di sekolah terbaik! Harus seperti saudara-saudara Ayah." Ujar Ayah sembari menepuk bahu Bia.
Tak lupa ia memberikan senyum hangat, berharap putri sulungnya akan tetap bersemangat.
"Ayah pulang ya, kasihan Bagas sudah mulai kepanasan." Pamit Ayah pada Bia.
Tangannya mencoba menghalau terik yang menyorot wajah Bagas. Ya, tentu saja Ayah tak luput membawa Bagas ke sekolah. Jelas karena tidak ada siapapun yang akan menemaninya.Bia melirik pada adik sulungnya. Menyadari itu, Bia mengangguk. Mempersilahkan Ayah untuk pulang, lalu melambaikan tangannya.
"Hati-hati ya Yah." Katanya pada Ayah.
"Pasti! Sampai jumpa di rumah!" Ayah melambaikan tangannya, untuk kemudian beranjak dari tempat.
Tepat saat Ayah menjauh, terdengar derap langkah seseorang berlari mendekatinya.
Seseorang memangilnya dari arah belakang. Dari suaranya, tergambar kekhawatiran.
"Bia! Kau tidak apa-apa?"
Sang empunya menoleh ke sumber suara. Meski sejujurnya, tanpa menoleh pun Ia mampu menebak siapa pemilik suara itu.
"Felix, jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Ok?!" Tuturnya usai berbalik badan.
Ia hanya tidak ingin siswa polos itu terlalu mencemaskan dirinya.
"Sungguh?" Felix memastikan.
Untuk beberapa detik, ia menatap luka pada kedua sudut bibir Bia. Ia tahu gadis itu tidak benar-benar baik-baik saja. Gadis itu mengangguk. Mencoba menutupi semuanya dengan senyum palsu yang ia berikan.
Felix tersenyum tipis. Setali tiga uang, ia berpura-pura meyakini bahwa Bia baik-baik saja.
"Jajanmu?" Celetuk Felix tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Bia melirik, teringat akan sesuatu.
"Oh iya, aku belum sempat menjajakan. Tapi kebetulan tadi pagi ada satu pelanggan. Emm pelanggan yang baik hehe. Aku sebut dia Ocean Eyes." Begitu ucap Bia sembari berangan-angan.
"Ocean eyes?" Felix mengernyit.
Lalu dijawab anggukan cepat oleh Bia.
"Dia memiliki mata yang sangat indah. Matanya biru. Jernih seperti laut." Terang Bia sekali lagi, masih dalam kondisi berangan-angan mengingat sosok yang ditemuinya tadi pagi.
Melihat antusias Bia bercerita, Felix sontak tersenyum.
"Kedengarannya kau sangat takjub."
"Hehe." Bia tersipu, ia kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Eh sudah dulu ya, aku tiba-tiba ingin buang air." Ujar Bia sembari memegangi perutnya.
Tak mau menunggu respon dari Felix, Bia segera mengakhiri pembicaraan.
"Aku duluan ya. Daa~" Pamitnya pada Felix seraya melambaikan tangan.
Felix merasa agak kecewa. Entah mengapa ia merasa Bia seakan-akan sengaja menghindarinya. Rasa sepi seketika menyelimuti batinnya.
"Oh, y-ya dada." Balas Felix pada Bia yang kini mulai mejauh. Dengan terpaksa ia melambaikan tangan Bia.
Sesuai dugaan Felix, langkah kaki Bia bukan lagi terhenti pada toilet sebagai tujuan awalnya. Melainkan, Ia lebih tertarik pada sebuah ruangan kosong yang terletak beberapa meter dari toilet siswi.
Samar-samar Bia mendengar suara isak tangis seorang gadis di sana. Bulu kuduk Bia berdiri untuk beberapa saat. Namun sedetik kemudian, rasa merinding itu menghilang bersamaan dengan terdengarnya suara lelaki di ruangan yang sama.
Penasaran, Bia memutuskan untuk mendekat.
"Kau tahu kan, Aldo sudah tahu rahasia kita. Dia bisa saja menyebarkan video itu jika kau tidak berhati-hati."
Bia mengernyit. Berusaha mempelajari kalimat yang terlontar dari mulut si lelaki. Merasa ada yang tidak beres, Bia lantas menempelkan kepala pada tembok ruangan itu.
Sementara matanya berusaha mencuri pandang melalui celah-celah pintu yang renggang. Berharap ia mendapat petunjuk siapa yang di dalam sana.
"Satu lagi, Bapak akan tetap memberimu ranking pertama jika kau bisa merahasiakan ini semua." Lajut si lelaki terdengar mendominasi.
Netra Bia yang semula menyipit, seketika itu juga terbelalak lebar. Ia terkejut bukan main.
Seorang lelaki dewasa berseragam guru tengah mendekatkan wajahnya pada seorang siswi seusianya. Menyisakan jarak beberapa senti diantara keduanya.
Siswi berseragam putih biru itu tampak tertekan, berbanding terbalik dengan lelaki dewasa yang terus menyudutkan.Syok, Bia lantas menarik diri. Ia menyandarkan tubuh dan kepalanya pada tembok, sementara tangannya menutup mulut. Berusaha kuat meredam suara saking terkejutnya.
Bia menggeleng tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya."Alana?" Bisiknya seorang diri.
"Pak Dimas." Lanjutnya lagi, masih bermonolog seorang diri.
Tak mau percaya dengan apa yang telah dilihatnya, Bia kembali mengintip. Berharap jika semua itu adalah kekeliruan. Dengan penuh kehati-hatian Bia bergerak. Berjaga-jaga agar yang diintai tak menyadari kehadirannya.
SRAKK!
Sial! Sebuah plastik mika yang entah dari mana datangnya tanpa sengaja terinjak kaki Bia.
Sontak kedua targetnya menoleh. Aktivitas mereka terhenti.
Merasa diawasi, Pak Dimas bergegas berjalan menuju sumber suara untuk kemudian membuka pintu lebar-lebar. Berharap ia akan menangkap basah siapapun yang memergokinya. Dan yang pasti, Ia tak akan sudi memberi ampun.
Lepas dari terkaman si penjahat anak berkedok guru, Alana cepat-cepat memutar otak.
Diam-diam dan dengan penuh kehati-hatian, segera ia beranjak tanpa mau menunggu lagi.Sementara Pak Dimas, harapannya pupus. Tidak ia temukan seorang pun di sana.
Ia menatap jengkel ke sekeliling. Tangannya mengepal kuat begitu bernafsu untuk menghantam sesuatu. Sayang, mata kepalanya hanya menjumpai sebuah batang tanaman yang bergerak menggesek tembok.
"Sialan!" Umpat Pak Dimas seraya memukul daun pintu.
Kesal tak menjumpai apapun, Pak Dimas lantas berbalik badan. Maksud hati mendekati Alana, namun sekali lagi semesta tidak berpihak padanya.
"Bocah sialan!" Pak Dimas tak kuasa menahan amarahnya. Kepalan tangannya kali ini menghantam keras di atas meja. Matanya nyalang, mengutuk Alana yang telah berani mengibulinya.
Langkah cepat Alana dalam pelariannya terhenti saat seseorang berhasil menggapai tangannya dengan tiba-tiba.
Alana memekik saking terkejutnya. Bersandar pada tembok, nafas memburu. Sorot matanya penuh ketakutan.
"Sstt.. ini aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...