BAB 32 KABAR GEMBIRA

3 0 0
                                    

Hari berlalu, Bia merasakan ada sesuatu yang janggal terjadi pada Galih.

Belakangan ini, paman itu tampak tak bersemangat.

“Paman kenapa?” Tanya Bia sembari meletakkan kopi hangat di atas meja. Lalu mengambil posisi duduk di atas kursi.

Yang ditanya tak menjawab. Tampak dirinya mengusap wajah.  Kepalanya menengadah menatap langit-langit bersandar pada kursi.
Selang beberapa detik, Galih membenarkan posisi duduknya. Ia kemudian menggeleng. Lalu meraih cangkir berisi kopi hangat.

“Oh, iya aku lupa membawa cemilannya.” Ujar Bia.

Baru mengambil satu langkah menuju dapur, seseorang tiba-tiba menghentikan gerakannya.

“Tunggu.”

Bia menoleh pada Galih yang kini memperhatikan area bokong Bia dengan seksama.

“Kenapa?” Bia bertanya.

Galih beralih pada kursi kayu yang sempat diduduki Bia. Sebuah bercak merah tercetak jelas di sana,  persis seperti yang ada pada celana Bia.

“Kau kedatangan tamu bulanan ya?” Celetuk Galih pada Bia.

“Tamu bulanan?” Bia berpikir keras.

Ia menggeleng dengan yakin.

“Tidak ada. Aku tidak punya tamu bulanan.” Lanjutnya polos.

“Jangan bercanda. Lihat itu” Galih menunjuk pada bercak di kursi yang Bia tinggalkan.

“Dan itu.” Lanjutnya menunjuk pada bokong Bia.

Bia ikut fokus pada apa yang dimaksud Galih. Dirinya kemudian mendekati kursi, lalu mengamati bercak itu.

Penasaran, ia mencolek bercak itu dengan telunjuknya. Dirabanya dengan jemari,  lalu diciumya.

Wajahnya meringis, mencium aroma amis. Seketika itu juga Bia menoleh. Melirik pada bokongnya. Wajahnya berubah panik menyadari bercak darah tercetak pada celananya.

“Aduh bagaimana ini?!”

Bia kebingungan. Menoleh beberapa kali ke kursi dan dapur, ia memutuskan untuk mengambil lap.

“Bersihkan dulu dirimu baru bersihkan itu.” Tegur Galih dengan santai.

“O-oh, b-baiklah.” Sahut Bia agak ragu.

“Emmm itu..” Bia menggaruk tengkuknya.

Melihat gerak-gerik Bia yang tidak Biasa,  Galih dengan cepat menangkap maksud anak asuhnya itu.

Ia mengeluarkan selembar uang kertas lalu diberikannya pada Bia.

“Hehe.. terimakasih.” Ucap Bia setelah menerimanya. Tanpa menunggu lama, Bia bergegas menuju pintu. Namun urung saat Galih kembali menegurnya untuk kesekian kali.

“Kau tidak berpikir akan keluar dengan keadaan seperti itu kan?” Tanya Galih memastikan.

Bia terdiam. Ia terlihat berpikir. Apa yang dikatakan Galih ada benarnya.

“Lalu bagaimana?” Tanyanya dengan polos.

Galih menghela nafas.

“Minta saja adikmu membelinya.”

“Oh iya juga ya.” Sahut Bia lagi.

Segera ia berlari ke kamar. Meminta Barra untuk melakukan sebuah misi penting untuknya. Tak perlu bernegosiasi lama, Barra keluar kamar untuk menjalankan tugasnya tanpa sebuah keterpaksaan.

Memandang Barra yang menghilang dari balik pintu, Bia tak kuasa menahan senyum di wajahnya.

Pipinya bersemu merah jambu. Ia tersipu. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya secara tiba-tiba.

SUARA BIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang