Tok Tok Tok
Terdengar suara pintu diketuk. Galih cepat-cepat melangkah membuka pintu. Sesuai dugaan Galih, meski kadang suka mengeluh, sahabat yang juga atasannya itu tak pernah bisa mengatakan 'tidak' pada Galih. Ya, dirinya benar-benar datang setelah beberapa menit ditunggu.
"Masuklah." Galih mempersilahkan Willy masuk.
Namun yang dipersilakan membeku, tak berkutik. Ia terbelalak memandang ke arah jam dua belas, tepat di meja makan yang terbuka searah pintu masuk.Seorang anak gadis berseragam putih biru dan seorang anak laki-laki berseragam putih merah duduk berhadapan memandang polos padanya, sementara mulut mereka sibuk mengunyah sarapan.
"Selamat pagi paman." Sapa Barra sekali lagi dengan ramah.
"Oh, ya selamat pagi." Sahut Willy tersenyum simpul.
Galih menangkap bingung dari wajah Willy.Jelas saja, beberapa detik tercenung, Willy kemudian melirik tajam pada Galih. Menarik kerah pakaian Galih dengan satu tangan, nyaris mencengkeram leher sahabatnya itu.
"Bagaimana bisa kau sembunyikan anak gadis di sini?!" Bisiknya setengah menahan geram.
"Kau yang memintaku mengadopsi." Bisik Galih membela diri.
"Tapi bukan berarti seorang anak gadis seperti dia." Sahut Willy masih berbisik.
"Kau tidak lihat aku bahkan membawa satu paket." Galih menatap tajam pada Willy. Kesal sahabatnya itu lebih dulu menghakiminya tanpa tahu asal-muasalnya.
Mendengar itu, Willy lantas melirik ke arah dua bocah yang ada di meja makan.
"Satu lagi ada di kamar." Imbuh Galih.
"Kau serius?"
"Jangan anggap remeh gadis itu. Dia cukup licik. Bukan aku yang memanfaatkannya. Tapi dialah yang sebenarnya memanfaatkan dan seperti menghipnotisku." Ucap Galih meyakinkan. Keduanya masih memusatkan perhatian pada dua bocah di meja makan sana.
"Bergabunglah dengan mereka. Akan ku jelaskan." Imbuh Galih melanjutkan.
Willy mengalihkan atensinya kembali pada Galih. Untuk beberapa saat, Ia meneliti air muka lelaki di hadapannya itu. Ekor mata Galih menangkap dirinya tengah diperhatikan, ia kemudian ikut menaruh perhatiannya pada Willy. Tatapan mata mereka beradu.Kali ini Willy memilih melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar, lalu memberi kesempatan sahabatnya itu untuk mejelaskan.
Ia berjalan mendekati dua bocah itu. Kemudian mengambil posisi di samping Barra, meski sejujurnya wajah kebingungan tak mampu ia sembunyikan.Fokusnya ia berikan pada Bia lalu beralih pada Barra dan begitu seterusnya.
"Aku minta bantuanmu. Atur jadwalku supaya aku bisa bertugas sore selama Bia sekolah." Galih memberanikan diri membuka pembicaraan. Ia kini duduk di samping samping Bia, berhadapan dengan Willy.
Willy tak langsung menjawab. Ia tampak berpikir keras.
"Tidak semudah itu." Imbuhnya.
"Aku tahu." Ucap Galih sembari menempatkan kedua lengannya bertumpu pada meja. Kepalanya dicondongkan kedepan. Memandang serius pada Willy."Tapi hanya kau yang bisa melakukannya. Kau tahu kan kalau-." Galih menahan kalimatnya kala dering alarm terdengar menyela pembicaraan mereka. Menandakan anak-anak asuhnya harus segera bergegas berangkat sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...