"Oh sayang. Iya, kakak sudah di sini." Tangan Bia sigap mengambil alih Bagas dari pangkuan Barra.
Selain tidak tega membiarkan Barra kerepotan mangsuh Bagas, Ia juga tidak sampai hati mendengar jerit tangis Bagas. Kedua adiknya tampak letih menunggunya pulang sejak tadi.
"Terima kasih ya ka Barra sudah jaga Bagas." Ujarnya dengan suara yang dibuat-buat. Suaranya terdengar menggemaskan, seolah-olah Bagas sedang berterima kasih pada Barra.
Bia mengambil posisi berdiri. Tangan kirinya menopang tubuh Bagas yang dibalut sewek sementara tangan kanannya memegangi dot berisi air hangat. Bagas menghentikan tangisnya. Mulut kecilnya sibuk mengenyot dot yang berisi air hangat.
Maklum, sang kakak tak mampu membeli susu untuknya. Bisa membeli gas untuk memasak saja sudah cukup bagi Bia untuk saat ini.
"Kak, lapar." Barra memasang wajah melas sementara tangannya memegangi perut.
Bia terdiam. Sejenak, Ia berpikir. Ada rasa bersalah pada raut wajahnya. Ya, dia tak menepati janjinya pada sang adik. Dirinya memang pulang tanpa membawa makanan. Hasil jualannya telah habis untuk ia gunakan untuk membeli gas.
Tidak ada pilihan lain. Jika tidak membeli gas, tentu dirinya tidak akan bisa merebus air untuk Bagas. Begitu juga ia tidak akan bisa memasak gorengannya untuk dijual lagi.
Tak berselang lama, suara gerbang yang tergeser menarik perhatian mereka.
"Ayah pulang." Seru Ayah memasuki rumah.
"Ayah!" Kedatangan Ayah disambut gembira oleh Barra.
Jelas, dalam hati Barra berharap sosok yang ditunggu itu pulang membawa sesuatu. Ayah tersenyum. Sebuah bingkisan besar ia letakkan di atas meja sementara tubuhnya ia posisikan duduk di kursi.
Aroma wangi yang menyeruak dari dalam bingkisan itu membuat Barra tak sabar untuk membukanya. Tak mau menunggu berlama-lama, segera ia membukanya. Sesuai dugaan, isi dari bingkisan itu adalah makanan.
"Wah, ayam goreng!" Seru Barra dengan girang. Binar matanya memantulkan beberapa potong ayam goreng yang siap memanjakan lidahnya. Barra sumringah. Lidahnya bergerak membasahi bibir.
Ayah tersenyum lebar. Batinnya terselimuti rasa bangga telah berhasil membuat putranya bahagia.
"Kau senang?"
Pertanyaan Ayah dibalas anggukan cepat oleh Barra.
"Hehe syukurlah." Katanya seraya mengusap pucuk kepala Barra.
Sedetik kemudian Ayah tersadar. Sejak kedatangannya, ia tak mendengar suara Bia sama sekali. Meski sosoknya bergabung bersama mereka sejak tadi, namun putri sulungnya itu tak berkomentar apapun.
Ayah menoleh.
"Eh ayo Bia, ambilkan piring. Kita makan bersama ya." Ajak Ayah pada Bia yang sedari tadi hanya berdiri mematung mengamati mereka.
Sadar putri sulungnya tak langsung menjalankan perintahnya, Ayah mengernyit tipis. Agak bingung dengan gelagat Bia. Ia dapati putrinya masih berdiri menatapnya. Pandangannya sulit dipahami. Tak ada kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
"Bia." Panggil Ayah sekali lagi pada Bia.
Kali ini suara Ayah berhasil menyadarkan Bia dari lamunan. Bia menoleh.
"Oh ba-baik. Tunggu sebentar." Jawabnya gelagapan. Ia segera berjalan menuju dapur untuk mengambilkan peralatan makan.
Beberapa detik berlalu, Bia kembali dengan beberapa piring di tangan kanan. Tangan kirinya masih sibuk menopang tubuh Bagas yang kini mulai terlelap. Bibirnya sesekali mengenyot, meski sebetulnya tidak ada lagi dot terpasang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...