Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya satu kedipan mata lalu Bia kehilangan segalanya.
Dalam perjalananya kali ini Bia kembali seorang diri. Tidak ada Ibu Elsa yang mendampingi sebab semua terjadi dengan mendadak. Sementara sang wali masih sibuk mengurusi kewajiban lainnya.
Beruntung, Bia adalah anak yang mandiri. Tak malu bertanya, maka ia tiba ditempat tujuan tanpa ada kendala yang berarti.
Berjalan menyusuri koridor dengan gontai, bahunya memikul tas ransel yang belum sempat ia bawa ke rumah. Sengaja, sebab ia tahu tidak ada siapapun di sana. Dia tak ingin merasakan sunyi suasana rumah.
Tepat di depan ruang di mana Barra dirawat, Bia menghentikan langkahnya. Ia jumpai Galih berdiri menatap iba padanya.“Paman.” Panggilnya lirih.
Galih mempercepat langakahnya menghampiri Bia. Berjongkok di depannya, ia lantas mengusap pipi gadis itu selayaknya seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.
“Kenapa kau di sini? Dimana Elsa?”
Bia menunduk. Sulit rasanya mengatakan.
“Maafkan aku paman. Aku tidak bisa melanjutkan. Aku didiskualifikasi.” Ucap Bia dengan wajah tertunduk.
Galih menatap pilu pada Bia. Ia kemudian merentangkan kedua tangannya, lalu mendekap Bia dalam pelukannya.
“Tidak apa-apa. Kesempatan lain menunggumu nak.” Ucapnya sembari mengusap punggung bocah itu.
Bia mengangguk, dadanya terasa sesak.
Untuk beberapa detik mereka saling melepaskan kesedihan dalam pelukan itu. Sebelum akhirnya Bia menarik tubuhnya dari pelukan Galih.
Sadar segelintir orang yang berlalu-lalang memerhatikan. Bia tak ingin berita-berita yang mencuat pada publik itu semakin digemborkan dengan spekulasi tidak benar.
“Masuklah, kau pasti merindukan Barra dan Bagas.” Ajak Galih mempersilakan Bia masuk.
Bia mengangguk lesu lalu melangkah masuk ke dalam. Ruangan itu terasa dingin. Ia dapati Barra masih terbaring tak berdaya di sana.
Hatinya hancur. Ia tak tahu kapan sang adik akan kembali tertawa seperti sediakala. Tak jauh dari Barra terbaring, Galih menempatkan Bagas di atas kursi dengan balutan kain.
Galih tak ada pilihan lain, tak ada orang lain yang menjaga Bagas di rumah selain dirinya. Meminta bantuan Willy tentu tidak bisa dilakukan setiap waktu.
Bia termenung. Larut dalam pikirannya. Entah apa yang semesta ingin ajarkan padanya. Bia hanya berusaha menjalaninya.
**
Hari ini Bia dan Galih memenuhi panggilan pihak penyidik untuk dimintai keterangan. Sesuatu yang tak pernah sekalipun mereka bayangkan akan berurusan dengan pihak-pihak itu.
Betapa terkejutnya Bia menyadari sosok yang begitu ingin ia hapus dari kehidupannya tiba-tiba saja hadir begitu saja.
Wanita paruh baya bergaun cokelat dengan dandan mentereng itu menatap Bia dengan pilu.
“Bia! Nak! Ibu rindu nak! Kemana saja kau selama ini?!” Sapanya pada Bia meronta-ronta.
Tak tanggung-tanggung, ia merengkuh erat tubuh ringkih Bia.
Bia menggeleng. Ia tidak senang. Ia tak merasakan ketulusan pada perangainya.“Lepaskan aku! Hentikan! Aktingmu sangat bagus! Tapi aku tidak akan tertipu!” Bia mendorong kuat tubuh wanita itu.
Galih yang sejak tadi ada di sana hanya menatap bingung. Mencoba mempelajari. Siapa dan mengapa wanita itu di sana?
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Ficção Adolescente"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...