Khawatir sang murid gelap mata, Pak Jean segera memutar otak. Gerbang yang terkunci tak lantas membuatnya menyerah dan berserah menanti mukjizat dari Tuhan.
Ia melipat kemeja batiknya. Menampakkan otot-otot yang menghiasi lengan tangannya. Sigap, dirinya mengambil posisi memanjat gerbang itu. Aksi heroik ia lakukan. Hingga tibalah ia diatas sana.
Dan Krek..!
“Ah Sial!” Umpatnya dalam hati.
“Pak celananya robek.” Felix menyadari seraya mendongakkan kepala menatap sang guru.
Pak Jean berdeham. Berusaha sebisa mungkin mempertahankan imej kerennya. Persetan dengan celananya, ia lebih mengkhawatirkan Bia saat ini.
Sang guru lantas melompat dari sana. Mendarat dengan posisi sempurna, ia segera berlari menghampiri Bia.
Tanpa berbasa-basi Pak Jean merebut pecahan botol itu dari tangan Bia.Gadis itu sempat terkejut, lalu berontak.
"BERIKAN PADAKU!" Pinta Bia pada pak Jean.
"Tidak! Tidak boleh!" Ujarnya, sembari menyingkirkan botol itu di sudut lantai.
Kini Pak Jean berjongkok, hatinya teriris melihat kondisi Bia yang memprihatinkan. Bocah itu terlihat sama seperti pertama kali ditemuinya. Tidak. Kali ini lebih menyedihkan.
Kini ia tahu dari mana luka-luka yang menghiasi tubuh ringkih muridnya itu berasal. Gadis belia itu hanya berdiri pasrah.
“Kau tidak apa-apa nak? Ayo. Bapak akan mengobati mu.” Tangan besar Pak Jean mengusap wajah mungil Bia.
“Heh! Siapa kau?! Beraninya sembarangan mengajak pergi anakku. Aku ibunya. Kau tidak menghargaiku sama sekali.”
Pak Jean menoleh. Ia kemudian berdiri memunggungi Bia. Tangannya memberikan ancang-ancang untuk melindungi Bia dari tindak kejam sang Ibu.
“Oh, jangan-jangan kau juga pernah meniduri Bia ya?”
“Astaga, bicara mu.” Spontan Pak Jean tak menyangka dengan perkataan wanita paruh baya itu.
Ibu berjalan mendekat. Membangun suasana menegangkan bagi Pak Jean dan Bia.
Gelagatnya seakan ia mampu mengendus aroma uang dari tubuh Pak Jean hanya dari jarak lima langkah.
“Sepertinya kau lebih memiliki banyak uang ketimbang penculik itu. Hah, berapa kau mau bayar dia? Aku pusing. Sudah tidak bisa lagi mengaturnya. Bawa saja dia pergi dan beri aku uang. Percuma merawatnya jika dia tidak bisa menghasilkan uang untukku.”
Pak Jean memiringkan kepalanya.
“Apa?” Ia mengernyit.
“Menghasilkan uang? Dia bernyawa. Bukan barang yang bisa kau jual belikan. Tega sekali menjadikannya objek investasi kotormu.” Tutur Pak Jean melanjutkan.
“Hahah.. investasi katamu?” Ibu tertawa.
“Ya. Memang benar. Memang kenapa? Aku orang tuanya. Sejak dalam kandungan aku merawatnya. Tentu saja ketika dia mulai tumbuh dewasa dia harus memberikan balas budinya padaku! Lebih-lebih saat aku sudah tidak bisa melakukan apapun. Tentu saja dia harus bisa menghasilkan uang untukku. Apa itu salah? Semua orang tua akan melakukan itu. Pakai logikamu nak. Memang apa lagi yang diinginkan orang tua jika bukan ingin investasi dari sang anak? Anak itu sebuah investasi. Kita akan menggunakannya ketika mereka dewasa. ” Lanjutnya kini dengan menatap tajam pada pak Jean. Nada bicaranya menggurui dan penuh penekanan.
Pak Jean menggeleng. Miris dengan penjelasan wanita itu.
“Cara berpikirmu sudah sangat melenceng.”
![](https://img.wattpad.com/cover/371380596-288-k449473.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...