Bia menepuk kedua tangannya usai mengatur jualannya di atas meja kayu yang tidak seberapa lebar. Sementara belum ada pembeli datang, Bia memutuskan berjalan-jalan sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling pasar.
Pasar tempat Bia berjualan memang tidak besar, namun lokasinya yang strategis membuat pasar ini cukup ramai dikunjungi masyarakat sekitar.
Langkah Bia terhenti, sedetik kemudian matanya melebar.
"Bu! Bu! Hati-hati dupanya nanti kena barang yang mudah terbakar."
Teriaknya pada seorang pedagang sayur yang biasa menyalakan dupa sebelum mulai berjualan.
Sayangnya, kali ini Bia melihat posisi dupanya cukup dekat dengan barang-barang yang mudah terbakar. Niat dalam hati hanya ingin memberitahu agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.Bia berdesis kesal. Bibir atasnya ditarik membentuk sudut. Kesal sebab pedagang itu tak mengindahkan sarannya.
Tak ingin ambil pusing, Bia kemudian menggelengkan kepala lalu memutuskan kembali menuju meja di mana ia berjualan.
Beberapa menit berlalu. Bia melanjutkan aktivitasnya melayani pembeli. Rasa syukur ia ucap berulang kali karena pagi ini pembeli silih berganti berdatangan.
"TOLONG!!! TOLONG! API! API!" Teriakan pedagang sayur itu mengalihkan perhatian Bia.
Ia menoleh ke sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat warna merah dan kepulan asap memenuhi los di seberang sana. Kobaran si jago merah menjilat-jilat, melahap apapun yang ada di dekatnya.
Beberapa orang dengan panik mengemasi dagangannya. Tak ingin lapaknya ikut menjadi korban. Namun, berbanding terbalik dengan Bia. Bukannya panik, bocah itu tak lekas membereskan daganganya.
"Itulah karma selalu judes sama pembeli. Lihat penunggunya marah kan." Gerutunya dengan kesal menyinggung pedagang itu. Saking kesalnya, Bia sampai-sampai tak peduli dengan pemikiran pembeli yang saat ini ada di hadapannya.
Ya, pembeli yang sebetulnya ingin segera lari dari sana, namun ia juga menginginkan gorengan Bia.
Kalau diingat-ingat memang diantara pedagang yang lain, Ibu itu lah yang paling tidak bersahabat dengannya. Tak hanya itu, Bia seringkali tidak diizinkan menawar. Jelas itu membuatnya kesal.
"Apinya belum sampai sini Pak. Jangan panik, ini gorengannya." Ucap Bia kini beralih fokus pada pembeli. Tangannya mengulurkan sebungkus gorengan.
"Engg i-iya, cepat kembaliannya." Pembeli itu mengangguk mencoba mempercayai Bia meski sebetulnya ia sendiri panik. Sesekali melirik ke arah api itu berasal, lalu segera setelah Bia memberikan kembalian, tanpa sepatah kata pembeli itu kabur menyelamatkan diri.
Tak menunggu lama, nyaring sirine pemadam kebakaran terdengar mendekat ke lokasi. Beberapa orang terlihat panik menyelamatkan dagangannya. Beberapa juga memberikan akses untuk pemadam kebakaran untuk menjinakkan si jago merah.
Di saat yang lain segera menyingkir dari sana, entah apa yang ada di pikiran Bia. Ketika orang lain panik berteriak "API! API!"
Bocah pemberani itu dengan santai menjajakan dagangannya seolah tidak terjadi apa-apa.
"DONAT! DONAT!"Ketika orang lain berteriak "KEBAKARAN! KEBAKARAN!"
Bia sekali lagi berteriak.
"YOK YANG TAHU! YANG TAHU!"Ketika orang lain berteriak "TOLONG! TOLONG!"
Nyali Bia tak juga menciut.
"BAKWAN! BAKWAN!" Serunya.Tak ada sedikit rasa takut di wajahnya. Lempeng dan tak terganggu.
"Hei minggir! Ini bahaya." Suara berat seorang petugas damkar menarik perhatian Bia.
Bia menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang pria bertubuh jangkung dan tegap berdiri dengan seragam lengkap di sana.
![](https://img.wattpad.com/cover/371380596-288-k449473.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...