Langkah kaki mereka terhenti pada kantin sekolah.
Sial! Bia menelan ludah.
Aroma dan rupa jajanan yang disuguhkan begitu menggoda imannya.
"Kau mau?" Felix menoleh pada Bia.
Ia sempat memerhatikan bagaimana Bia menelan saliva yang kini masih memenuhi mulutnya.
"Oh tidak kok." Bia menggeleng.
"Aku bisa makan jajanku. Ini enak." Dustanya. Bia sadar, ia sendiri bosan dengan jajanannya.
"Nak Bia. Sini biar bapak tukar jajanmu, kau boleh pilih jajan mana yang kau mau." Tawar seorang bapak kantin yang sedari tadi memerhatikan kedunya.
Untuk sepersekian detik terlihat seutas senyum di wajah Bia. Namun, sedetik kemudian senyum itu memudar. Ia menyadari wajah ibu kantin yang bertolak belakang dengan sikap suaminya itu.
"Tidak usah Pak. Tidak apa-apa." Tolak Bia.
"Eh ayo tidak apa-apa, bapak juga ingin coba kok." Bujuk bapa kantin padanya.
Bia mencuri pandang pada Ibu kantin. Ia tahu, si ibu kantin memang tidak begitu menyukainya. Alasannya sepele, terkadang Bia menjadi pesaing dagangannya.
Selain itu, Bia juga dikenal sebagai murid penuh kontroversi. Jelas itu bukan tanpa alasan. Dibalik semua yang terjadi, faktor ekonomi menjadi penyebab utama Ia jarang memiliki waktu untuk mengerjakan tugas dan pastinya tak cukup dan untuk membayar SPP.
"Aduh bagaimana ya pak, saya sebenarnya tidak enak. Tapi, ya kalau bapak mau coba, saya bisa apa. Ini enak kok. Asli."
Kali ini Bia memilih untuk tidak menolak. Bibirnya tersungging, senyum kemenangan tergambar di wajahnya. Sesekali Ia melirik Ibu kantin yang melempar tatapan tidak senang padanya
"Awas kalau sampai ku temukan racun di sana ya." Ancam Ibu kantin padanya.
"Oh tenang bu. Bia ini anak baik kok. Saya kan murid Ibu Elsa. Mana mungkin saya sejahat itu. Kalau ibu tidak percaya, sama saja seperti ibu meremehkan didikan ibu Elsa kan. Hehe." Katanya dengan sengaja, memancing atensi Ibu Elsa yang kebetulan melintas.
Sontak sang wali kelas menoleh. Peka saat namanya dibawa-bawa. Wali kelas yang dikenal kaku dan menjadi musuh bebuyutan Bia itu mengernyit heran bercampur tidak senang. Sadar segelintir murid menertawakannya termasuk Bia.
"Sudah ambil yang mana yang kau mau." Bapak kantin mempersilakan Bia.
Bersamaan denga itu, dirinya juga mengambil beberapa dari kotak jajan Bia.Bia mengangguk kemudian mengambil beberapa jajan dan tak lupa satu nasi bungkus.
"Terima kasih pak." Ujar Bia tersenyum pada Bapak Kantin.
Sedetik kemudian Bia melirik pada sang istri. Berbeda dengan suaminya, Ibu kantin masih bertahan untuk tidak memberikan sedikit senyum pada Bia. Meski begitu, Bia tak lupa turut mengucap terima kasih.
"Terima kasih juga Bu." Ucapnya.
"Hemm." Sahut singkat Ibu Kantin yang terdengar tidak ikhlas.
Bia tak mau terlalu ambil pusing. Ia memilih belalu dari sana diikuti Felix yang mengekor di belakangnya.
Dalam perjalanan menuju kelas, Felix tak henti tersenyum. Ia tak henti menganggumi sosok Bia. Meski sebagian orang menganggap remeh gadis itu, namun Felix melihat sosoknya dari sudut pandang yang berbeda.
Bia mengambil suapan terakhir dari jajan yang ia lahap. Mulut kecilnya kini penuh sementara telapaknya ia tepuk-tepuk merontokkan remahan yang menempel di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...